Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nestapa Para Gipsi Laut

Gara-gara "pembangunan", daerah tangkapan ikan orang Bajo menyempit. Mereka bisa semakin tak ramah terhadap laut.

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SYAHDAN, dulu ada seorang putri yang cantik dari Kerajaan Malaka. Karena akan dikawini oleh saudara kandungnya sendiri, dia memutuskan untuk melarikan diri. Dikawal oleh teman-temannya, sang putri mengelilingi perairan Nusantara. Di tengah samudra, tiba-tiba perahu itu hanyut diseret gelombang. Dan akhirnya si putri dan rombongannya terdampar di Sulawesi Selatan, tepatnya di Kabupaten Bajoe. Karena tak tahu ke mana larinya sang putri, ayahnya memerintahkan agar anak buahnya mencari putri itu ke segala penjuru Nusantara. Mereka dilarang kembali ke kampung halaman sebelum sang putri ditemukan. Tak kunjung membuahkan hasil, para pencari terpaksa mengelana ke sana-kemari. Gara-gara itulah, menurut Busta Kamindang, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tengah, suku Bajo tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Mereka juga tinggal di Nusa Tenggara, Filipina Selatan, bahkan Sabah, Malaysia. Di Sulawesi sendiri, suku Bajo tersebar di beberapa wilayah, termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Nasib orang Bajo yang berjumlah ratusan ribu di Sulawesi Tengah beragam. Kendati mereka masih menggantungkan hidupnya pada laut, di beberapa daerah kehidupan orang Bajo agak lumayan baik karena ikan-ikan yang mereka tangkap kian mahal harganya. Sayangnya, sebagian orang Bajo sekarang kerap memakai bom saat mencari ikan. Tak sedikit pula yang menyelam menggunakan kompresor untuk mencari teripang di dasar laut. Hanya, di sejumlah perkampungan, kehidupan suku Bajo amat mengenaskan. Sebutlah Desa Kolo Bawah yang dihuni sekitar 2.000 warga Bajo. Berimpitan dengan wilayah Kabupaten Banggai, desa ini sebenarnya masuk dalam Kabupaten Morowali. Boleh dibilang perkampungan ini termasuk termiskin di kabupaten tersebut. Kendati listrik sudah masuk di sana, taraf kehidupan mereka tak beranjak membaik. Sudah miskin, kini warga Kolo Bawah tertimpa kecemasan pula. Ini gara-gara rencana PT Exspan Tomori Sulawesi membangun dermaga seluas 4 hektare di kawasan Laut Tiaka, sekitar permukiman mereka. Jadwal operasi anak perusahaan PT Medco Jakarta yang bergerak dalam bidang pengeboran minyak itu sudah dipatok per Juni 2003. Bila rencana itu terwujud, sekitar 500 meter kawasan Tiaka bakal tak boleh disentuh nelayan. Pembangunan pabrik minyak itu akan mempersempit ladang rezeki warga suku Bajo. "Itu sama saja hendak membasmi suku Bajo secara perlahan-lahan," kata Lamuddin, tokoh suku Bajo di Banggai. Sebenarnya, orang Bajo di daerah itu masih bisa mencari ikan di tempat lain. Hanya, itu akan memerlukan perjalanan cukup lama, sehingga waktunya hanya dihabiskan untuk mendayung. Orang Bajo memang tak bisa dipisahkan dari laut. Sebagian besar hidup mereka dihabiskan untuk mencari ikan. Alam laut telah menempa hidup turun-temurun suku Bajo. Biasa berpeluh di terpaan angin laut, tubuh mereka rentan terhadap udara darat dan tak siap untuk berkebun atau bertani. "Saya pernah mencoba berkebun, tapi hanya bertahan beberapa bulan. Saya sakit-sakitan bila lama tak terkena angin laut," kata Lamuddin. Gelisah, warga suku Bajo di Desa Kolo Bawah pernah memprotes rencana pembangunan tersebut. Cuma, protes mereka bakalan ditelan angin laut. Soalnya, Gubernur Sulawesi Tengah Aminuddin Ponulele telah mendukung pembangunan Exspan itu, dengan alasan agar provinsi itu maju sejajar dengan provinsi lain. "Kenapa harus ditolak?" kata Aminuddin. Siapa pun tentu setuju dengan pembangunan, termasuk orang Bajo. Tapi solusi untuk mengatasi hidup suku Bajo di Kolo Bawah perlu disediakan pula. Susah sekali memisahkan mereka dari laut. Soalnya, orang Bajo sudah terbiasa hidup dalam rumah-rumah kayu beratap rumbia yang terapung di laut. Menangkap ikan merupakan satu-satunya cara untuk menghidupi keluarga. Mereka bagaikan kaum gipsi di laut yang agak terasing dari gemuruh derap perubahan sosial-ekonomi di daratan. Dikhawatirkan pula, jika lahan tangkapan ikan mereka kian menyempit, orang Bajo akan semakin ganas. Mereka akan menggunakan segala cara yang paling mudah untuk menangkap ikan, termasuk dengan memakai bom. Cara ini sudah dipakai nelayan Bajo di berbagai daerah di Sulawesi Tengah. Berbahaya dan merusak lingkungan. Tapi siapa yang pantas disalahkan? KMN, Darlis Muhammad (Banggai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus