Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manna Bajo ta Bajoa
Manna tidung ta tidua, tidung Karaeng
Bajoa disomba tonji
Intinya, kendati dia telah tinggal di istana, Bajo tetap harus dihormati juga.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang Bajo sekarang sering berpantun saat melaut. Anak-anak juga melontarkan pantun ketika sedang bermain di pantai. Sambil bermain ombak, mereka akan berteriak, "Buse-buse lepo dibuse, anak samo mo mandi nanta". Bila diterjemahkan kira-kira berarti, "Dayung-dayung perahu didayung, anak Bajo mau mandi di pantai." Pasangan suami-istri pun kerap berpantun. Sang suami biasa menyelipkan menyebut kata ombak, angin, atau laut saat ia mengajak istrinya bercinta. "Kami memang biasa berkomunikasi dengan pantun," ujar Jufri, yang jebolan sekolah menengah pertama.
Jufri termasuk yang percaya keampuhan sebuah pantun dalam pergaulan. Dia juga berharap bisa mengikuti jejak tetangganya, Hafid. Dulu, saat remaja, Hafid sering melempar pantun saat berpapasan dengan gadis bersampan. Suatu saat ada seorang gadis yang mau membalas pantunnya dengan hangat. Mereka pun bersampan beriringan. Baru menjelang sampai rumah, perahu saling berpisah karena pacaran masih dipandang tabu. Hubungan Hafid dengan dara pujaannya itu berlanjut ke pernikahan dan sekarang mereka sudah dikaruniai empat bocah.
Memang, tidak selalu seorang gadis menanggapi rayuan pemuda. Tapi Jufri sudah menyimpan pantun pamungkas bila sang gadis diam saja. Dijamin, ini bisa membuat merah kuping si perawan. Bunyinya?
Sungguhlah manis buah papaya
Lebihlah manis buah semangka,
Sungguhlah manis gadis bersampan
Tapi sayangnya ompong giginya
Nurkhoiri, Darlis Muhammad (Banggai)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo