Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI hadapan bentangan kolam renang berukuran Olimpic itu, pemilik klub renang Apollo tersenyum kepada coach Fara. Dia menyampaikan bahwa ada satu tempat bagi perenang klub mereka untuk ikut bertanding di Asian Games. Fara tersenyum lebar. Tapi senyumnya menghilang ketika si bos mengatakan sebaiknya yang dipilih seseorang yang "mewakili kita".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu artinya dia harus memilih Andre (Gerdi Zulfitranto), perenang berkulit sawo matang yang sering terlambat datang dan rajin membawakan kopi dan penganan. Sementara itu, atlet asuhannya yang paling prima dan lebih layak terpilih adalah Kevin (Raymond Sumitra Lukman), anak muda keturunan Tionghoa yang pendiam dan sering datang pukul 3 pagi untuk berlatih renang karena sukar tidur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini Lola Amaria mengajak empat sutradara lain, Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo, bekerja sama menyutradarai sebuah film dengan tema yang penting, tema yang muncul dalam beberapa tahun terakhir: identitas Indonesia.
Begitu banyak kekisruhan dalam 20 tahun terakhir, dari meningkatnya intoleransi agama dan etnis hingga pertanyaan ulang tentang bentuk negara.
Maka Lola Amaria beserta empat sutradara lain merasa harus mengingatkan kembali lima sila Pancasila. Untuk generasi saya, tentu saja yang teringat adalah kelas-kelas Pendidikan Moral Pancasila yang membuat kami lebih sering melamun ke luar jendela berharap bisa ikut bermain basket dengan murid kelas lain. Artinya, di masa lalu, pendidikan Pancasila, sebagaimana pun pentingnya, tak pernah menarik karena eksekusi pemerintah Orde Baru yang tidak kreatif.
Film ini, meski mengesankan judul yang agak verbal, ternyata menyajikan cerita yang mengalir tentang sebuah keseharian di keluarga kelas menengah Jakarta.
Fara (Prisia Nasution), pelatih yang dalam keadaan bimbang tadi, adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Ibu mereka berada di tepi kematian. Setelah sang ibu wafat, setiap anak menghadapi berbagai persoalan masing-masing: perbedaan agama, harta warisan, hingga politik perbedaan etnis, seperti yang dihadapi Fara di tempatnya bekerja.
Tentu kita memahami betul apa yang hendak disampaikan film ini memang penting: persoalan intoleransi agama dan etnis yang memekik-mekik dengan garang dan sudah memakan korban; persoalan konservatisme yang merebak tidak hanya menghakimi perbedaan keimanan, tapi juga mencapai kekerasan dan pembunuhan.
Keprihatinan tim Lola Amaria adalah keprihatinan kita semua. Sekarang yang penting: bagaimana cara para sineas bercerita dengan tema sebesar itu.
Teknik bercerita film ini yang ditangani lima orang cukup lancar dan menimbulkan keinginan tahu. Apa yang akan dilakukan ketiga bersaudara yang dihadapi problem: Fara dengan bos yang korup, Aryo yang ditinggal partner bisnisnya dan harus mengulang bisnis dari awal, serta si bungsu Adi, yang peka dan berbakat musik serta sangat dekat dengan ibunya, harus belajar berdiri menghadapi perundungan dan berani menyatakan fakta yang disaksikannya dalam sebuah peristiwa.
Bahwa kemudian semua persoalan diselesaikan dengan akhir yang melegakan dan membahagiakan adalah sesuatu yang dibutuhkan pada suasana yang tengah muram ini. Tapi ada beberapa adegan jalan keluar terasa (terlalu) mudah. Fara mendadak dipanggil bos pelatnas untuk memperlihatkan tidak semua orang korup dan tak semua hidup berakhir kelam. Persoalan tingkah laku anak-anak pembantu juga terselesaikan dengan happy ending yang hampir muskil mengingat berkali-kali rakyat kecil divonis hukuman berat untuk kesalahan yang kecil. Adegan pengadilan? Terjadi debat seru antara penuntut umum dan kuasa hukum anak Bi Ijah. Agaknya para sineas tak ingin menggambarkan adegan pengadilan Indonesia yang realistis, yang lazimnya cuma membacakan dakwaan dan pleidoi yang bikin ngantuk.
Di luar catatan itu semua, film Lima adalah sebuah upaya mengingatkan kembali apa yang dulu pernah dibangun oleh para founding father: bahwa Indonesia terdiri atas berbagai suku, etnis, dan keimanan.
Leila S. Chudori
LIMA
Sutradara:
Lola Amaria, Shalahuddin Siregar,
Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, Adriyanto Dewo
Skenario:
Titien Wattimena, Sekar Ayu Massie
Pemain:
Prisia Nasution, Yoga Pratama,
Ken Zuraida, Dewi Pakis
Produksi:
Lola Amaria Production
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo