Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Arus Balik dan Arus Rantau

Tidak ada catatan pasti kapan tradisi arus balik muncul. Kemunculannya barangkali selaras dengan munculnya tradisi pulang ke kampung halaman atau mudik.

7 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Arus Balik dan Arus Rantau

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tidak ada catatan pasti kapan tradisi arus balik muncul. Kemunculannya barangkali selaras dengan munculnya tradisi pulang ke kampung halaman atau mudik. Pertanyaan yang timbul kemudian: jika mudik adalah lema yang ditujukan untuk makna kembali ke kampung halaman dalam arti pulang ke tempat muasal, apa sejatinya yang dimaksud dengan arus balik?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Uniknya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, makna arus balik yang lazim digunakan untuk merujuk pada aktivitas kembali ke kota perantauan tidak kita temukan. KBBI V malah mengartikan arus balik sebagai "arus di bawah permukaan laut yang mengalir berlawanan arah dengan arus di permukaan (istilah geografi)" dan "arus permukaan laut yang berlawanan arahnya dengan arus permukaan tempat sekitarnya".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pramoedya Ananta Toer memberi judul eposnya Arus Balik (1995). Arus balik yang dimaksud di sini adalah berbalik arahnya arus dari utara menuju selatan. Arus yang dimaksud adalah penjajahan yang bersifat ekspansif dan segenap perantinya, termasuk ideologi dan kebudayaan.

Begini Pram menulis: "Biar aku ceritai kalian. Dahulu, di zaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya-semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali."

Arus balik adalah "berpulangnya" arus dari utara ke selatan. Jelas, arus itu sejatinya berasal dari selatan dan bergerak ke utara. Namun, belakangan, arus tersebut kembali atau balik dari utara ke selatan. Itulah arus balik. Pertanyaannya: bagaimana dengan makna arus balik yang berkembang belakangan ini? Di sinilah letak keunikannya. Arus balik yang kerap kita dengar hari ini sejatinya memiliki kejanggalan-kalau tidak mau disebut memiliki cacat logika.

Arus balik digunakan sebagai penanda aktivitas kembalinya manusia urban dari kampung halaman ke tempat kerja mereka (kota). Mereka beringsut meninggalkan kampung halaman untuk beradu nasib di perantauan. Seperti kata seniman Sujiwo Tejo (2017), semestinya frasa yang tepat digunakan untuk merujuk pada aktivitas pergerakan manusia urban tersebut adalah "arus rantau", yakni arus yang membawa manusia ke perantauan, bukan arus balik.

Frasa arus balik, jika digunakan untuk merujuk pada aktivitas kembali ke kota tempat bekerja, pada gilirannya akan melahirkan pemahaman bahwa seolah-olah asal-muasal para perantau adalah kota. Padahal yang terjadi sebaliknya: asal mereka adalah kampung atau desa. Natijahnya, menamakan aktivitas kembali dari kampung halaman sebagai arus balik merupakan kekeliruan konsep yang sangat mendasar.

Frasa arus balik justru lebih tepat digunakan sebagai penanda aktivitas pulang kampung. Sebab, subyek bergerak dari kota tujuan ke kampung halaman tempat dia berasal. Sementara itu, pergi dari kampung halaman untuk mencari nafkah, penghidupan, atau apa pun disebut dengan arus rantau.

Mendadak saya teringat pada sebuah lagu Koes Plus berjudul Kembali ke Jakarta. Dalam sebuah liriknya, Koes bersaudara bersenandung: "Ke Jakarta aku kan kembali…." Lagu ini mengandaikan subyek berasal dari Jakarta, padahal fenomena urbanisasi itu pergerakan penduduk dari kampung atau desa ke kota. l

Fariz Alniezar
Pengajar linguistik di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia; Lurah di Komunitas Literasi Omah Aksoro, Jakarta

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus