Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bertarung Menembus Mancanegara

12 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETUT Deni Ariyasa, 42 tahun, satu di antara pebisnis perak di Celuk, sangat gusar akan banyaknya pengusaha asing yang menguasai ekspor perak dari desanya itu. "Dari sepuluh besar eksportir perak dari Celuk, hanya dua yang orang Bali," katanya. "Pengusaha asing itu menguasai akses pasar karena unggul dalam hal tren desain, penguasaan teknologi, serta permodalan."

Para perajin dan pengusaha perak di Bali lebih berfokus pada penjualan retail di toko atau penjualan partai besar tanpa brand dari pembuatnya. Akibatnya, bukan nama pembuatnya yang terkenal di luar negeri, tapi nama si pembeli. "Saya sedih sekali. Setiap pameran di luar negeri, nama perak Bali diwakili oleh brand-brand asing, padahal yang mengerjakan perajin-perajin kita," ujarnya. "Kalau ada nama Made, Ketut, atau Wayan, pasti akan menggetarkan."

Persaingan itu juga makin berat karena munculnya turis-turis petualang yang mengumpulkan perajin, kemudian mereka memberi modal untuk membuat kerajinan perak. Otomatis mereka tidak dikenai pajak karena tak berbadan hukum dan tak menggunakan visa kerja. "Ekspor pun dilakukan menggunakan agen pengiriman barang," kata Deni.

Situasi itu kemudian memicu Deni merintis penjualan dengan brand namanya sendiri, Deni Jewelry. Bersama mitranya dari Amerika Serikat, dia membuka toko dan kantor perwakilan sendiri di Virginia. Penjualan dalam jumlah besar masih dia layani dengan perjanjian bahwa barang yang dibeli akan dijual menggunakan namanya. "Kalau tidak mau, akan saya tolak," ujar Deni, yang kini memiliki 40 perajin. Soal hak cipta, dia juga rajin mendaftarkannya di Amerika karena prosesnya lebih cepat dengan biaya US$ 55 (sekitar Rp 700 ribu) dan bisa berlaku di seluruh dunia.

Deni berencana membagi pengalamannya membuat brand sendiri itu dengan para pengusaha lokal Bali. "Sebetulnya bukan hanya bantuan uang yang dibutuhkan, tapi juga pengetahuan di lapangan agar tahu apa yang harus dilakukan," katanya.

Sebetulnya pasar luar negeri bagi kerajinan perak Bali masih terbuka lebar. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bali, nilai ekspor perak Bali rata-rata meningkat 4,7 persen setiap tahun. Pada 2015, nilainya telah mencapai US$ 27,6 juta (sekitar Rp 360,3 miliar). Sedangkan pada 2016, hingga Juni lalu telah mencapai US$ 11,1 juta (sekitar Rp 144,9 miliar). Lima negara tujuan utama ekspor perak dari Bali adalah Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jerman, dan Australia.

Pebisnis perak dari Bali, Desak Nyoman Suarti, 65 tahun, yang telah memiliki brand namanya sendiri, menyebutkan pasar Amerika sebenarnya belum pulih benar sejak serangan ke menara kembar World Trade Centre pada 11 September 2001. "Khususnya untuk pasar kelas atas yang menghargai nilai seni cenderung makin sempit," ujar pengusaha yang berbisnis perak sejak 1980-an itu.

Itu sebabnya, kini Suarti juga membidik pasar menengah dengan memasarkannya melalui department store dan home shopping. Dia juga membuat variasi produk peraknya, bukan hanya untuk perhiasan, melainkan juga buat alat-alat rumah tangga, seperti piring buah dan tempat lilin.

Suarti tak terlalu risau akan persaingan dengan pengusaha asing di Bali. Sebab, pasar dunia terdiri atas berbagai segmen dengan kecenderungan yang beragam. "Jadi tinggal kemampuan dan keberanian untuk menembus pasar dengan berbagai strategi," katanya. "Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri bisa membantu menjadi ujung tombak dalam soal itu."

Sekretaris Asosiasi Perak Bali Wayan Wijaya mengatakan keunggulan perak Bali terletak pada desainnya yang unik dan sulit ditiru perajin dari negara lain. Meski negara pesaing bermunculan, seperti Cina dengan produksi massalnya serta Thailand dan India, pasar internasional masih memberi tempat bagi produk Bali. "Sentuhan tangan juga mendapat penghargaan yang lebih tinggi," ujarnya.

Yang menjadi soal bagi perajin yang melayani penjualan besar seperti di Celuk adalah bahan baku perak yang berkualitas. Bahan ini tersedia di PT Aneka Tambang dengan kadar 99,9 persen. Namun harganya lebih mahal daripada harga di pasar internasional. "Sebab, dikenai pajak pertambahan nilai 10 persen," ucapnya. Akibatnya, dari segi harga, kerajinan perak Indonesia kalah bersaing dengan negara lain.

Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, perajin akhirnya membeli perak yang dihasilkan penambangan rakyat. "Pemasoknya banyak dan datang ke rumah-rumah," kata Wijaya. Untuk mengukur kualitasnya, perajin harus melakukan tes kadar uji yang biayanya sekitar Rp 500 ribu per item. Ini wajib dilakukan apalagi jika barangnya akan diekspor ke negara yang mensyaratkan kadar perak minimal 92,5 persen. "Seperti di Swiss. Kalau di bawah itu akan diminta mengganti label kualitasnya atau dikembalikan ke negaranya disertai denda," ujar Wijaya.

Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus