Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Inspirasi Alam Motif Jawan

Motif dasar desain perak Celuk terinspirasi dari alam. Masih enggan mengurus hak cipta.

12 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RANGKAIAN jejawanan (bola-bola kecil) dengan ukuran kian mengecil itu mirip sulur tunas pohon pakis aji yang menjalar panjang dan melengkung di ujungnya. Bentuk sulur itu terlihat indah ketika terangkai dalam aneka perhiasan seperti cincin, liontin, kalung, dan gelang. Itulah motif bun jejawanan, salah satu motif dasar yang secara komunal dikuasai para perajin perak di Desa Celuk, Sukawati, Gianyar.

Ada pula liman paya, yang mirip sulur buah pare layaknya gulungan spiral yang mengerucut di ujung. Lalu stirilisasi atau peniruan buah gondo yang mirip tetesan air, yang juga menjadi dasar kekhasan motif kerajinan perak Celuk. "Semua motif dasar memang diserap para leluhur dari alam sekitar," kata Made Megayasa, Ketua Celuk Design Centre.

Hingga akhir 1970-an, motif dasar itu masih sangat kental dan mendapat respons yang hangat dari pasar di Bali ataupun yang diekspor ke mancanegara. Desain Bali dianggap eksotis dan unik serta sulit ditemui di negara lain. Pergeseran mulai terjadi pada awal 1980-an, ketika turis datang dan mereka tak sekadar berbelanja.

Mereka memberi masukan tren desain global. Sering kali mereka memberi contoh barang yang sedang laku di pasar global dan kemudian perajin Celuk mengkombinasikannya dengan warna lokal. Beberapa model yang populer adalah jawan geplak berupa bola-bola pipih, motif bun dengan corak yang minimalis, dan gaya plin (kilap).

Motif kerajinan perak juga dipengaruhi bahan bakunya. Pada masa kolonial hingga 1960-an, perak yang diolah berasal dari koin zaman Belanda yang dilebur. Saat itu yang menonjol adalah kerajinan emasnya. Perak hanya menjadi alternatif untuk golongan kurang mampu atau sebagai alat upacara.

Keadaan berubah setelah turis berdatangan. Mereka justru lebih meminati perak. Bersamaan dengan itu, bahan baku perak mulai memasuki pasar Bali dan umumnya dipasarkan pedagang Tionghoa di Denpasar atau Singaraja.

Kualitas bahan baku yang lebih bagus membuat perhiasan bisa berpadu dengan permata, intan, dan emas. Sampai akhirnya perajin bisa mengakses perak produksi PT Aneka Tambang yang kadarnya terjamin. Hanya, harganya mahal sehingga pasar perak tradisional yang berasal dari penambangan liar tetap mendapat tempat.

Sebetulnya para perajin perak Celuk memiliki keunggulan dan inovasi sendiri. Namun mereka enggan mengurus hak ciptanya karena merasa selalu punya ikatan dengan motif dasar yang diwariskan leluhur. "Dalam motif, mereka pasti ada nuansa yang berasal dari corak dasar Celuk," ujar Megayasa. Itu sebabnya mereka justru senang bila perajin lain meniru dan mempelajari karyanya.

Kreativitas perajin perak Celuk juga sempat menurun karena saat itu mereka terjebak pada produksi massal. Barang-barang dari Celuk, yang semula identik dengan karya seni, akhirnya jatuh sekadar barang kerajinan dan bisa dikerjakan siapa pun untuk memenuhi kebutuhan pasar.

Ketika turis asing yang membuka usaha kerajinan di Bali kian banyak, mereka juga ikut mempengaruhi masalah desain perak Celuk. Mereka rajin mendaftarkan hak cipta untuk desainnya, meski dalam karya pengusaha asing itu kerap ditemukan corak Bali.

Sekretaris Asosiasi Perak Bali Wayan Wijaya mengatakan pihaknya pernah menemukan desain yang mirip dengan patra punggel, yang umumnya ada dalam arsitektur Bali dan dalam barang kerajinan. Namun, ketika diterapkan pada desain perak, hak ciptanya didaftarkan oleh orang asing. "Kalau sudah begini, kita kebingungan juga bagaimana mempersoalkannya," kata pemilik toko barang seni Puspa Mega itu. Dia yakin masih banyak desain sejenis yang dipatenkan tanpa sepengetahuan orang Bali.

Atas dasar keprihatinan itulah, pada 2009, sejumlah anak muda mendirikan Celuk Design Centre. Untuk perlindungan motif-motif komunal, mereka berusaha agar Desa Celuk memperoleh status Indikasi Geografis melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ini suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberi ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. "Kami merasa, sebagai sentra kerajinan perak tempat sebagian besar penduduknya bekerja di bidang ini, Celuk memenuhi syarat," ujar Megayasa.

Pada 2012, upaya itu terganjal karena Celuk tidak memiliki pertambangan perak. Dan tahun ini status itu akan diperjuangkan lagi karena ada masukan bahwa penggunaan bahan-bahan tradisional alami dalam proses produksi bisa menjadi dasar status itu. Misalnya, buah piling-piling sebagai bahan perekat, buah asam dan belimbing wuluh untuk pembersih, buah lerak untuk pencucian, serta pohon amplas untuk menghaluskan barang. "Kalau ada status itu, otomatis karya-karya komunal akan terlindungi secara hukum," katanya.

Mengenai hak cipta, tutur Megayasa, pihaknya tetap mendorong perajin Celuk mengurusnya. Tahun ini bahkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah membantu proses pengurusan tanpa biaya. Untuk mengantisipasi keengganan perajin, Celuk Design Centre melakukan inventarisasi dan dokumentasi dalam bentuk buku. Celuk Design Centre juga akan merintis pendirian museum kerajinan perak Celuk. "Jadi, kalau ada yang nakal menjiplak desain khas Celuk lalu mengurus hak ciptanya, bisa dikonfirmasi dengan mudah," ujar Megayasa.

Celuk Design Centre kerap melakukan pelatihan agar anak-anak muda Celuk tetap bersedia berlatih kerajinan perak, termasuk mengembangkan desain dan pemasarannya melalui Internet. Belakangan, pelatihan ini juga diminati mahasiswa asing yang mengikuti program pelatihan Excursion Student Tropical Living, bekerja sama dengan Universitas Udayana. Ada juga kerja sama dengan lembaga pengembangan desain, seperti Yayasan Mutu Manikam, Institut Seni Indonesia Denpasar, dan Jurusan Desain Institut Teknologi Bandung.

Langkah itu membuahkan hasil. Celuk Design Centre mendapat kepercayaan untuk mengikuti berbagai pameran di dalam dan luar negeri. Salah satunya di Tokyo Gift Show pada 2011 dan 2012. Pada 2013, Celuk Design Centre mendapat kepercayaan mendesain bros perak, cendera mata untuk para delegasi Konferensi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Setahun kemudian, mereka mendapat order membuat cendera mata peserta Konferensi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Nusa Dua.

Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus