Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUMAT siang pertengahan Agustus lalu, sepulang sekolah, Kadek Ardika, 10 tahun, tekun mengolah perak berbentuk batangan-batangan kecil yang ia pipihkan dan kemudian dipotong-potong. Setelah itu, Ardika membakar potongan-potongan tersebut. Ketika perak mulai meleleh, ia membentuknya menjadi bola-bola kecil. Nantinya benda-benda itu akan dipasang menjadi satu rangkaian perhiasan, seperti liontin, kalung, dan gelang, dengan motif jawan—salah satu motif khas kerajinan perak Desa Celuk, Sukawati, Gianyar, Bali.
Ardika, siswa kelas V sekolah dasar, merupakan generasi termuda Desa Celuk yang mendapat pelajaran mengolah perak. Meski kerajinan perak Celuk sedang terpuruk, ia beruntung karena datuknya, Wayan Suweta, 67 tahun, masih bersemangat mengajarkan ilmu yang telah turun-temurun selama ratusan tahun itu. "Sejak tiga bulan lalu saya membuka kelas khusus mengolah perak agar anak-anak muda di sini mengenal asal-usul mereka," kata Suweta, pemilik Bali Silver Class.
Menurut Suweta, peserta kelas memang baru empat orang. Mereka belajar setelah pulang sekolah atau pada hari libur. Selain mereka, sudah ada turis yang tertarik ikut hingga kelas ini memberi gairah baru di Celuk, juga pada sejumlah perajin tua yang sering diminta mengajar.
Boleh dibilang, tanpa terobosan seperti Suweta itu, Desa Celuk yang terkenal sebagai sentra kerajinan perak khas Bali akan tinggal kenangan. Masa kejayaan Celuk telah berlalu, dan kerajinan perak berangsur-angsur ditinggalkan. Tamu-tamu dagang, istilah bagi wisatawan yang berbelanja dalam jumlah besar untuk dijual kembali ke negaranya, makin jarang tampak. Sebagian besar art shop, toko barang seni, berubah menjadi gedung-gedung antik yang sepi pengunjung.
Membincangkan perak Bali tak bisa lepas dari desa seluas 247,56 hektare itu. Setiap hari Celuk menghasilkan aneka jenis barang kerajinan perak, dari yang bermotif sederhana hingga yang disepuh emas, dengan kisaran harga ratusan ribu rupiah sampai puluhan juta rupiah.
KERAJINAN perak Celuk berawal pada sekitar 1915. Ketika itu seorang penduduk dari klan Pande, Nyoman Gati, belajar pengolahan barang kerajinan di Kerajaan Mengwi, Badung. Setelah mahir, dia pulang ke Celuk untuk mengajarkan keterampilannya kepada keluarga dan para tetangga.
Barang-barang kerajinan yang dihasilkan masih sebatas keperluan upacara adat dan agama serta perhiasan keluarga raja dari Puri Ubud dan Sukawati. Bentuknya antara lain bokoran, sangku, caratan, gagang keris, dan aksesori busana.
Pada 1935, perajin perak di Celuk bergabung dengan perkumpulan seni Pita Maha di Ubud—yang berpusat di Puri Peliatan. Selain dibimbing Raja Ubud, perkumpulan ini mendapat bimbingan dari Rudolf Bonnet, seniman asal Belanda. Perkumpulan ini kemudian membantu para seniman meningkatkan kreativitas dan mempromosikan karya mereka.
Langkah besar terjadi pada 1952, ketika Wayan Regeg membuka art shop pertama yang diberi nama Sura. Merek itu diambil dari nama anak sulungnya, I Wayan Sura. Ini merupakan langkah berani karena pada saat itu turis yang datang ke Bali masih sangat jarang. Mereka datang ke Bali menggunakan kapal yang berlabuh di Buleleng.
Hotel pun baru ada satu di Denpasar, yakni Bali Hotel. Langkah Regeg kemudian diikuti sejumlah perajin lain yang ikut membuka art shop, meski lebih menyasar warga lokal yang menggunakan perhiasan bagi keperluan upacara adat dan agama.
Perkembangan itu sempat terhenti setelah peristiwa politik 1965—yang diikuti banjir darah di Bali. "Ketika itu banyak pembunuhan di Bali dan situasi sangat mencekam," ujar Made Kitha, 67 tahun, tokoh Desa Celuk. "Ekonomi masyarakat kacau-balau dan kerajinan perak terhenti seketika."
Situasi baru normal kembali pada 1970-an. Pembukaan Hotel Bali Beach di Sanur dan pencanangan tahun wisata oleh pemerintah memberi berkah luar biasa bagi desa ini. Wisatawan asing berdatangan dan menjadikan perhiasan perak sebagai cendera mata favorit. Art shop tumbuh dengan cepat.
Setiap enam bulan, bertepatan dengan perayaan tumpek landep, upacara untuk menghormati alat-alat dari besi, selalu muncul art shop baru. Sepanjang jalan raya Celuk berderet bangunan baru yang masih berdiri hingga kini.
Sebagian tamu yang datang adalah turis dagang. Mereka langsung berkunjung ke rumah-rumah perajin untuk membeli dalam jumlah besar, guna dijual kembali ke negaranya. Pembelian pun tunai. "Saat itu bangun tidur kita sudah disodori uang," kata Wayan Wiasta, cucu Nyoman Gati, pemilik Gottama Gallery. Di tempat ini mereka juga bisa melihat langsung pembuatan perhiasan perak oleh para perajin.
Tren baru itu menimbulkan ide membuat usaha yang terpisah dengan art shop. Rumah-rumah perajin sekaligus dijadikan tempat berjualan dengan papan nama "Silversmith". Dimulai oleh I Wayan Kantor, yang mendirikan Five Silver Smith pada 1976, usaha ini merebak sehingga hampir semua rumah di Celuk mengikutinya. Dalam satu rumah bisa terdapat 10-15 perajin. "Sejak pagi sampai malam, suara palu berdentang memipihkan perak terdengar di desa ini," ujar Wiasta, mengenang masa itu.
Ketut Wira Bawa, 51 tahun, pengusaha perak Celuk, mengingat saat itu anak-anak sudah belajar mengolah perak sejak di sekolah dasar. Seusai sekolah, mereka belajar di rumahnya sendiri atau di suatu kelompok hingga pukul 16.00, sehingga saat itu tak ada satu pun anak yang bermain di jalanan. Umumnya, setelah sekitar dua tahun belajar, mereka telah menguasai pembuatan satu jenis perhiasan dan mulai dijual. Karena itu, anak-anak muda Celuk kurang berminat sekolah tinggi atau menjadi pegawai negeri.
Kemakmuran melimpah itu membawa gaya hidup mewah. "Kalau ada mobil seri terbaru di Bali, yang membeli pasti orang Celuk," kata Made Kitha. Saat itu Celuk sejajar dengan Desa Mas, Gianyar, yang menjadi pusat kerajinan patung, dan Ubud sebagai pusat lukisan. Biasanya ketiga tempat itu menjadi satu paket wisata favorit, dimulai dengan berbelanja perak di Celuk, membeli patung di Desa Mas, serta berburu lukisan dan makan siang di Ubud.
HINGGA 1990-an, Celuk masih dipagut kemakmuran. Setelah itu, keadaan mulai berubah. Penjualan perak di art shop ataupun pemesanan di Silversmith terus menurun. Ternyata para perajin yang pada 1970-an direkrut dari luar Celuk mulai membuka usaha sendiri di tempat asal masing-masing. Para tamu dagang pun makin cerdik dengan mencari perajin yang mau menjual dengan harga murah. Bahkan para turis ada pula yang ikut-ikutan membuka usaha di daerah lain di Bali dengan mengambil perajin dari Celuk.
Para perajin Celuk terlambat menyadari keadaan ini. Sibuk bersaing dengan tetangga sendiri, mereka melupakan tantangan yang semestinya dihadapi bersama. "Benar-benar sudah tidak sehat, bahkan ada yang menggunakan cara-cara ilmu spiritual," ujar Wayan Wiasta. "Ada juga yang sampai linglung karena tamunya direbut oleh art shop lain dengan mengandalkan komisi yang lebih besar bagi pemandu wisata dan sopir."
Persaingan di antara art shop memang keras. Hal ini tampak dalam sistem komisi yang naik terus untuk para pemandu wisata dan sopir. Pada 1960-an, menurut Wayan Sura Seputra, generasi pertama yang mewarisi art shop di Celuk, sebetulnya sudah ada komisi bagi sopir yang mengantar tamu. "Tapi sekadar ucapan terima kasih dan hanya sekitar sepuluh persen dari penjualan," katanya.
Pada 1990-an, pemandu, sopir, dan perusahaan travel terus menekan sehingga komisi melejit bahkan sempat mencapai 50 persen dari penjualan. Ketika itu mulai terjadi art shop yang ramai pengunjung adalah yang berani memberi komisi paling besar. Situasi itu membuat pemilik art shop menggagas berdirinya Bali Art Shop Association untuk mengontrol sistem komisi. Tapi organisasi itu ternyata tak efektif di lapangan. Apalagi setelah adanya pengusaha travel yang membuat art shop sendiri dan mengarahkan tamunya ke sana.
Situasi itulah yang menjadi alasan I Wayan Sura mengambil langkah drastis: menutup art shop-nya. Pemilik Toko Sura yang merupakan pionir art shop di Celuk itu kemudian memilih usaha di bidang penyediaan sarana transportasi wisata. Kini usahanya itu cukup sukses. "Padahal, pada 1998, usaha art shop sebetulnya masih bagus, tamu masih ramai. Tapi saya melihat ke depan sudah tidak prospektif lagi," ujarnya.
Kini Celuk menampilkan tampang yang membuat kita prihatin. Kejayaannya sebagai sentra kerajinan perak khas Bali meredup. Ada art shop yang jadi "rumah hantu", rumah toko, pasar oleh-oleh, atau tempat berjualan pecel lele. Meski beberapa masih ramai pengunjung, sebagian besar hidup segan mati tak mau. "Tak sebulan sekali ada tamu. Kami hanya menunggu waktu," kata Made Kitha. Apalagi anak-anaknya sudah memiliki usaha lain dan sepertinya enggan melanjutkan art shop-nya.
Di tengah situasi kerajinan perak yang memprihatinkan, belakangan ada orang-orang di desa itu sangat yakin dan optimistis Celuk akan bangkit kembali. Wayan Wiasta, misalnya, justru membuka art shop baru. "Lebih tepatnya semacam bengkel kerja dan tempat menyimpan koleksi lama. Kebetulan anak saya tertarik juga melanjutkan," ujarnya. Wiasta tak rela kerajinan perak Celuk yang telah berusia 100 tahun itu hilang ditelan zaman bersama seluruh keindahannya.
Ada juga yang masih bertahan dengan mengandalkan alternatif pasar domestik, seperti Anom Gallery milik I Kadek Anom Astabrata. "Harga barangnya memang lebih murah dibanding pasar untuk turis asing. Tapi yang penting bisa membiayai operasional," katanya. Anom mengkombinasikan penjualannya dengan perhiasan emas yang diminati penduduk lokal Bali. Belakangan, ia mengembangkan usaha dengan mendirikan minimarket dan rumah sakit.
Semangat untuk bangkit itu juga ditunjukkan oleh anak-anak muda Celuk. Pada 2009, mereka mendirikan Celuk Design Centre, guna terus memperbarui desain perak dan membangun jaringan pemasaran. Pada Agustus lalu, mereka menggelar Celuk Jewelry Festival. Selain pameran, festival itu diisi dengan seminar tentang digital marketing, fashion jewelry show, dan peluncuran kampung UKM digital.
Ketua panitia, Ketut Widi Putra, menyatakan mereka menyadari kesalahan di masa lalu dengan lemahnya kebersamaan. "Kini harus bersatu di era persaingan global dengan menguasai teknologi dan Internet," ujarnya.
Rofiqi Hasan (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo