Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruangan seluas lapangan bulu tangkis itu tampak cerah. Dindingnya dilapisi cat berwarna krem. Sebagian lagi berlapis kaca. Tak ada kesan seram, kendati berada dalam wilayah Divisi Profesi dan Pengamanan, di lantai lima gedung Markas Besar Kepolisian, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan.
Memasuki ruangan itu, setelah melewati petugas piket, terdapat satu pintu menuju ruang tahanan yang terdiri atas dua ruang dilengkapi pendingin udara yang berjajar menghadap ke arah timur. Luasnya masing-masing 12 meter persegi. Di pojok ruangan terdapat kamar mandi dengan pintu bercat cokelat.
Di salah satu bilik itulah Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, bekas Direktur II Ekonomi Khusus di Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian RI, menjalani masa penahanan. Ia diduga menerima suap ketika menyidik perkara pembobolan Bank BNI Cabang Kebayoran Baru pada 2003-2004.
Hanya ada selembar kasur dan sebuah bantal di dalam bilik itu. Di pojok ruangan ada satu meja kecil. Di atasnya terdapat sekeranjang kecil buah-buahan, jus sirsak, dan beberapa botol air mineral. Di dekat bantal ada Alkitab dan beberapa buku rohani. Salah satunya buku berjudul Saat Teduh.
”Sejak masuk ke sini, Bapak rajin membaca Alkitab,” kata seorang sumber Tempo yang pernah mengunjunginya. Di dalam biliknya, sang jenderal berbintang satu itu leluasa menerima tamu. Kebanyakan terdiri atas keluarga dan teman-teman dekat. Jumat pekan lalu, misalnya, ia dibesuk seorang wanita dan tiga pria. Mereka masuk ke bilik Ismoko diantar dua orang petugas piket.
Tak banyak yang tahu, sebelum dihuni Ismoko, bilik tahanan itu sebelumnya ditempati Komisaris Besar Irman Santosa. Bekas Kepala Unit II di Direktorat Ekonomi Khusus Badan Reserse dan Kriminal itu juga diduga menerima suap dalam kasus Bank BNI. Namun, sebelum Ismoko masuk pada 27 Oktober 2005, polisi memindahkan Irman ke ruang tahanan reserse kepolisian Jakarta. ”Supaya mereka tak saling ketemu,” kata sumber Tempo di kepolisian.
Ada pula pertimbangan kepangkatan. Yang satu berpangkat jenderal, satu lagi perwira menengah. Masih kata sumber yang tak mau disebut namanya itu, ”Nggak etis kalau jenderal dan kolonel disamakan ruang tahanannya.”
Selama menghuni bilik tahanan, Ismoko, yang selalu berpenampilan ceria, tak pernah mengeluh. Kepada beberapa kolega yang menjenguknya, ia selalu mengatakan dirinya pasrah. ”Saya bekerja di ladang Tuhan, jadi terima saja,” ujar Ismoko seperti ditirukan sumber Tempo.
Tak ada hari yang terlewat tanpa diisi dengan membaca Alkitab dan buku-buku santapan rohani. Ismoko juga membawa beberapa kaset lagu rohani yang didengarnya melalui walkman. ”Ini hiburan sehari-hari saya,” begitu ia katakan kepada para penjenguknya. Di dalam ruang tahanan, pria 56 tahun ini suka memakai kaus berkerah, dipadu celana panjang atau sarung. Baju-bajunya ia taruh di tas yang diletakkan di pojok kamar.
Selama di dalam tahanan, Ismoko tak suka menyantap makanan berminyak. Ia gemar makanan rebusan. Pada sore hari, di mejanya selalu tersedia dua potong pisang dan kacang rebus. Ia selalu meminta seseorang membelikan makanan favoritnya itu di kantin. Adapun sang istri sering membawakan buah-buahan dan jus sirsak kegemarannya.
Setiap Jumat, seorang pendeta mendatangi ruangan Ismoko. Pendeta itu selalu mengingatkannya agar tabah. Sebuah nasihat yang ia jalani dengan taat. Tak mengherankan, sejak masuk sel, ia tak pernah menderita sakit. Kesehatannya cukup baik karena makanannya pun selalu terjaga. Bahkan bobotnya tak berkurang. ”Saya jalani saja seperti air mengalir, nanti juga akan jelas ke mana larinya,” katanya kepada kolega yang menjenguknya.
Sel sempit yang kini dihuni Ismoko bak bumi dan langit dibandingkan dengan rumahnya yang luas dan nyaman di kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan. Rumah dua lantai itu tampak kukuh dengan dua tiang besar yang menopang atap serambinya. Terlihat paling mewah dibandingkan dengan rumah-rumah lain di daerah itu.
Bagian dalam rumah bercat putih itu sama sekali tak terlihat dari jalan kecil di depannya. Terhalang pintu gerbang dari kayu jati yang tingginya mencapai lebih dari dua meter. Setinggi itu pula pagar yang mengelilingi rumah.Sejak Ismoko mendekam dalam tahanan, rumah dengan gaya arsitektur modern minimalis itu terlihat sepi. Pintu dan jendela, yang semuanya terbuat dari kayu jati, tertutup rapat. Hanya beberapa lampu taman yang menyala memancarkan cahaya berwarna kuning saat hari mulai gelap.Seorang pemuda setengah berlari membuka pintu sesaat setelah Tempo memencet bel. Ketika Tempo menanyakan keberadaan keluarga Ismoko, si pemuda tampak takut menjawab. Kegugupan terlihat jelas di wajahnya. Ia hanya setengah mengintip dari balik pintu gerbang.Ketika Tempo menanyakan siapa yang ada di dalam rumah, ia hanya menjawab, ”Ibu sedang istirahat,” sambil kembali menutup pintu gerbang. Di halaman, dua buah mobil parkir di depan garasi: satu buah sedan Toyota dengan nomor pelat B 1987 ZL, dan sebuah sedan Mitsubishi bernomor polisi B 224 SI.Suasana sunyi juga terlihat di rumah dinas Ismoko, yang terletak di Kompleks Polri Pejaten Blok C Nomor 4. Rumah itu sekarang hanya ditempati sopir Ismoko dan seorang adiknya. ”Dulu Pak Ismoko sekeluarga pernah tinggal di sini,” kata seorang pria yang enggan disebut namanya.
Keluarga Ismoko kemudian pindah karena rumah dinas itu dirasa terlalu kecil, tak mampu lagi menampung ketiga anaknya yang sudah tumbuh dewasa. Termasuk seorang anak laki-laki yang juga menjadi polisi.Luas rumah dinas itu memang cuma 150 meter persegi, seukuran rumah di kompleks perumnas. Di taman yang cuma secuil, tumbuh beberapa pohon yang menaungi sebuah kandang burung yang kosong. Kendati sederhana, sebuah parabola tampak terpasang di depan rumah.
Di teras rumah digantung sebuah bumbung jangkrik. ”Itu untuk makanan arwana,” kata pria itu. Di dalam rumah memang ada sebuah akuarium berisi ikan arwana ukuran besar yang berenang ke sana-kemari.
Lain Ismoko, lain pula Irman Santosa. Sebelum mendekam di tahanan, selama dua tahun terakhir Irman cuma bertempat tinggal di sebuah kamar di Graha Purna Wira, yang terletak di belakang kantor polisi Jakarta Selatan. Istri dan anak-anaknya sendiri tinggal di Medan, Sumatera Utara.
Gedung kepunyaan Yayasan Brata Bakti itu memiliki aula untuk pertemuan, salon, minimarket, restoran Korea, dan sebuah wisma tamu. Irman yang pendiam itu tinggal di kamar standar nomor 27. Kamar itu berukuran 5 x 4 meter. Fasilitasnya terdiri atas 2 single bed, dilengkapi pendingin udara, TV, lemari es mini, dan satu set meja-kursi. Adapun kamar mandinya dilengkapi bath tub.
Tarif kamar itu Rp 132 ribu per malam. Itu harga per Juni 2005. ”Saat Pak Irman tinggal di sini, harga kamar beliau masih Rp 119 ribu per malam,” kata Ronny Prakoso, asisten manajer wisma tamu.
Lantaran Yayasan Brata Bakti dipimpin para purnawirawan polisi, setiap polisi yang menginap memperoleh harga khusus. Wisma tamu itu sebetulnya terbuka untuk umum, tapi yang menginap di sana biasanya anggota kepolisian yang baru datang dari daerah atau baru pindah tugas ke markas besar. ”Mereka biasanya yang belum memiliki tempat tinggal tetap,” ujar Endang Yayat, pegawai wisma tamu.
Petugas wisma tak pernah menanyakan identitas tamu yang menginap secara rinci. Tamu umum cukup menunjukkan kartu tanda penduduk. Untuk anggota polisi, hanya memperlihatkan kartu tanda anggota. ”Kami cuma mencatat nama, pangkat, dan asal kesatuan dinas,” kata Jatnika, pegawai yang lain.
Di kalangan pegawai wisma, Irman dikenal sebagai pribadi yang pendiam namun berwibawa dan disegani. ”Orangnya baik, tidak banyak bicara, seperlunya saja,” ujar Endang. Saking pendiamnya, ia jarang membalas tegur sapa orang. ”Biasanya hanya senyum,” kata Ronny Prakoso.
Irman juga bukan tergolong tamu yang punya hobi memanfaatkan fasilitas olahraga seperti kolam renang, lapangan tenis, atau pusat kebugaran. ”Olahraganya di kamar dengan sepeda statis,” ujar Endang.
Kebiasaan Irman adalah pergi pagi dan pulang selepas magrib. Ronny mengatakan, dalam bertugas Irman selalu mengenakan kemeja biasa. ”Hanya dua kali saya melihat dia memakai pakaian dinas lengkap. Mungkin karena dia dari unit reserse,” katanya.
Pada akhir pekan, istri dan anaknya kadang datang dari Medan dan menginap selama 1-2 hari. Sebaliknya, secara rutin Irman juga kerap pergi ke Medan untuk menjenguk keluarganya. ”Sekitar 2-3 minggu sekali,” ujar Ronny.
Sejak awal 2005, Irman tak lagi mendiami kamar sederhana Graha Purna Wira. Tak diketahui di mana ia tinggal selama delapan bulan sebelum ditahan. Yang jelas, sejak 17 September lalu di harus mendiami kamar yang lebih kecil dan sederhana lagi di kepolisian.
Nugroho Dewanto, Eni Saeni, Lis Yulia, Mawar Kusuma, Thoso Priharnowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo