Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

" kelaparan itu hanya dibesar-besarkan media"

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar mengejutkan itu datang dari Papua. Sebanyak 55 warga Kabupaten Yahukimo, Papua, meninggal karena kelaparan. Berita yang muncul pekan lalu itu mengagetkan banyak orang, tak terkecuali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pelaksana Harian Gubernur Papua Jacobus Perviddya Solossa tidak kalah terkejutnya. Sebagai penguasa Papua, selama ini dia tidak pernah mendapat laporan mengenai soal itu. Setelah melakukan pengecekan, berita itu dikatakannya tidak benar. ”Ada memang yang meninggal, tapi itu bukan bencana kelaparan,” ujar dia. Kandidat Gubernur Papua periode 2005-2010 itu pun sibuk membuat bantahan, termasuk kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri.

”Berita kelaparan” itu bukan satu-satunya soal yang sedang dihadapi Solossa. Keinginan sejumlah masyarakat untuk mengembalikan status otonomi khusus bagi Papua serta pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat menjadi persoalan yang harus diselesaikan di akhir tugasnya sebagai PLH Gubernur Papua. Doktor ilmu sosial pengarang buku Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI itu tentu saja tidak tinggal diam. Sejumlah konsep dia sodorkan, termasuk soal pemekaran wilayah Papua.

Apa yang terjadi di Yahukimo? Bagaimana persoalan pemekaran wilayah di Papua sesungguhnya? Awal Desember lalu, di sela-sela kegiatannya yang padat, Solossa menerima wartawan Tempo Cunding Levi di rumah dinas gubernur di Gedung Negara, Dok V Atas, Jayapura, untuk wawancara khusus. Berikut petikannya:

Ada kasus kelaparan di Kabupaten Yahukimo—mengapa hal itu bisa terjadi?

Berita kelaparan itu hanya dibesar-besarkan media, seolah-olah ada kelaparan massal di daerah itu. Saya menyayangkan berita tersebut. Padahal, tidak seperti itu. Saya sempat kaget setelah ditelepon Menteri Dalam Negeri. Tapi itu sudah direspons langsung oleh pemerintah pusat. Presiden juga sudah mengutus Menko Kesra untuk mengecek di lapangan. Presiden sangat kecewa karena pemberitaan ini telah diketahui dunia.

Bagaimana dengan data 55 orang yang meninggal karena kelaparan?

Mungkin ada data orang meninggal, tapi karena apanya itu belum diketahui dengan baik. Mungkin saja karena kekurangan makan. Tetapi kekurangan makan itu bukan karena bencana kelaparan. Itu karena bahan makanan kurang tersedia akibat gagal panen, ada tanah longsor dan hujan lebat atau faktor alam lainnya.

Setelah kami cek di lapangan, jumlah yang disebut 55 orang itu tak benar. Saya mendapat beberapa data, ada yang 49 dan yang kurang dari jumlah itu. Data orang meninggal yang dikemukakan itu data akumulasi beberapa bulan lalu seperti Juli dan September. Jumlah itu dikumpulkan, jadi seolah-olah ada orang meninggal dengan jumlah banyak.

Informasi yang saya dapatkan, kasus itu terjadi dalam kurun waktu empat bulan. Kemungkinan rata-rata orang yang meninggal itu, satu bulan ada 14 atau 13 orang yang dibagi pada 10 titik lokasi yang dianggap rawan itu. Berarti rata-rata satu bulan pada satu titik lokasi yang meninggal satu atau dua orang saja.

Kondisi wilayah dan masyarakat Yahukimo sendiri seperti apa?

Di wilayah itu curah hujan cukup tinggi. Ini yang mengakibatkan ubi-ubi yang mereka tanam hasilnya tidak berisi. Ubi merupakan makanan pokok masyarakat di sana. Selain itu, mereka ini tinggal di lereng-lereng gunung dan untuk menjangkau mereka sangat sulit. Curah hujan tinggi juga menyulitkan sarana transportasi untuk mendrop bahan makanan ke daerah tersebut.

Dalam kondisi tertentu, masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Yahukimo terkadang mengalami kesulitan penyediaan makanan. Hal itu sering dialami sehingga bukan merupakan kejadian luar biasa. Memang ada kondisi masyarakat yang gizi buruk karena makanan mereka sederhana, namun itu realita, tapi tidak sampai terjadi kelaparan, apalagi secara massal.

Penyebab mereka kekurangan gizi karena kebiasaan masyarakat di desa tersebut. Misalnya, pada musim tertentu hanya mencari kelapa hutan atau bergantung pada alam. Lalu mereka tidak berkebun sehingga, kalau musim telah lewat, maka mereka mulai kebingungan karena tak ada pangan. Tapi yang jelas dari data yang ada dan dari laporan yang saya terima, ternyata tak ada orang yang tergeletak dan mati karena kelaparan. Justru menurut laporan Bupati Yahukimo, Ones Pahabol, semua dalam keadaan baik-baik saja. Bahkan ketika berkunjung ke daerah tersebut, warga ramai-ramai menjemputnya dalam keadaan sehat. Sehingga saya sudah minta bupati untuk segera mengklarifikasi masalah itu.

Apa langkah selanjutnya?

Kami, pemerintah provinsi sudah punya persediaan bahan makanan dan obat-obatan yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan jika terjadi bencana. Di (Kabupaten) Wamena kami juga punya persediaan bahan makanan yang cukup banyak sehingga, ketika hari pertama kami mendengar ada kabar dari Yahukimo itu, kami sudah mengirimkannya sebanyak 56 ton (bahan makanan).

Sebagai pelaksana harian Gubernur Papua, bagaimana Anda melihat otonomi khusus bagi Papua berjalan selama ini?

Pemerintah pusat belum sepenuhnya konsisten memberikannya kepada masyarakat Papua. Baru berjalan beberapa bulan, sudah keluar inpres (baru) dari pusat. Pemerintah pusat selalu berubah-ubah terhadap pelaksanaan otsus di Papua. Saya berharap hal itu tak terjadi lagi.

Apa misalnya?

Soal kebijakan adanya Provinsi Irian Jaya Barat (IJB) yang awalnya juga tak diakui (ketika pemerintahan) Presiden Megawati ketika itu. Hal ini sudah kami sampaikan ke Departemen Dalam Negeri, tapi mereka tak konsisten. Sebab, setelah ada deklarasi pembentukan Provinsi IJB itu, beberapa bulan kemudian dikeluarkan instruksi presiden. Saya melihatnya justru mereka seperti ikut mendukung terbentuknya Provinsi IJB.

Ini bisa merusak segala tatanan di dalam pelaksanaan otsus di Papua. Untung saja kami hadapi persoalan ini dengan baik. Dinamika di dalam wilayah Papua ini sendiri berkembang dengan luar biasa. Bahkan ada yang berniat ingin mengembalikan (pemberian) otsus ke pemerintah pusat.

Mengapa ada yang ingin mengembalikan otsus ke pusat?

Karena pemerintah pusat sendiri memang tak konsisten menjalankan (otsus) kepada masyarakat Papua. Hal itu berkembang mulai 2002-2003. Terakhir ini gema kembalikan otsus itu sudah mulai merembet ke soal lain (permintaan referendum). Itu terjadi karena awalnya masyarakat melihat pemerintah pusat tak serius menangani persoalan di Papua. Saya melihat hal ini sangat dilematis. Pemerintah sendiri suka berubah dalam kebijakannya seperti ini (soal otsus). Sementara dinamika masyarakat sekarang ini bergeser (masih ada tuntutan ingin lepas dari Negara Kesatuan RI).

Selaku gubernur yang mewakili pemerintah pusat di daerah, saya harus memainkan peranan yang terbaik. Kepentingan rakyat harus bisa dibicarakan dengan baik, termasuk kepentingan pemerintah, sehingga rakyat bisa mengerti. Posisi itulah yang saya harus mainkan agar tak terjadi benturan. Sebab, jika tidak, yang korban adalah rakyat sendiri dan termasuk daerah ini juga. Seperti untuk menyelesaikan persoalan (pemekaran) Provinsi IJB dan Provinsi Papua. Sudah ada kesepakatan bersama untuk segera memberi payung hukum. Saya sudah menyurati DPRD Papua dan Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk segera memberi persetujuan agar pemerintah menyiapkan payung hukum bagi penguatan Provinsi IJB.

Anda pernah mengusulkan Papua dimekarkan menjadi lima provinsi—apa pertimbangannya?

Lima provinsi ini sesuai bunyi Pasal 76 di Undang-Undang Nomor 21. Dalam pasal itu dikatakan pembentukan pemekaran Provinsi Papua ke provinsi-provinsi harus berdasarkan persetujuan MRP dengan mempertimbangkan keseimbangan sumber daya alam, manusia, berdasarkan subkultural, letak geografis, pertimbangan ekonomis, dan lain-lainnya. Setelah saya kaji, maka terdapat sekitar lima provinsi.

Provinsi mana saja?

Provinsi Papua Bagian Barat meliputi beberapa kabupaten pemekaran yang ada di sekitar kepala burung dalam peta Papua. Provinsi Teluk Cendrawasih meliputi wilayah Manokwari, Biak Numfor, Teluk Cendrawasih, Teluk Wondama, Teluk Doreri, dan Yapen Waropen atau Serui, Nabire dan kabupaten-kabupaten pemekaran yang ada di wilayah itu. Sedangkan Provinsi Tabi atau Mamta atau Provinsi Papua Bagian Timur meliputi Sarmi, Mamberamo, Kota Jayapura, Keerom, dan sampai Pegunungan Bintang. Lalu Provinsi Pegunungan Tengah meliputi wilayah Pegunungan Tengah, Mimika, dan wilayah lainnya yang ada di sekitarnya. Sedangkan Provinsi Papua Bagian Selatan meliputi wilayah Merauke dan kabupaten-kabupaten pemekaran di sekitarnya.

Apakah pemekaran itu mengakomodasi Provinsi Irian Jaya Barat?

Jelas, sebab seperti yang saya katakan pada rencana Provinsi Teluk Cendrawasih itu ada wilayah Manokwari termasuk kabupaten pemekarannya seperti Teluk Wondama dan lainnya itu. Di wilayah Teluk Cendrawasih ini hampir semua etnis dan latar belakang adat istiadatnya sama. Misalnya pada daerah Serui dan Biak, itu dulunya satu kabupaten saja. Begitu pun di Teluk Wondama, hampir sama dengan orang yang ada di Nabire dan orang yang ada di Moor. Jadi, dari segi suku-suku, jelas tak ada masalah. Namun, pembagian ini baru sekadar wacana yang ada dalam pikiran saya. Pemikiran ini nanti masuk ke MRP. MRP-lah yang nantinya akan membahas soal rencana pemekaran tersebut. Apakah mereka nanti akan membuat pemekaran provinsi ini menjadi lima, enam, atau lebih, terserah saja.

Menurut Anda, pemekaran wilayah harus mendapat persetujuan MRP?

Ya. Seluruh pemekaran provinsi di Papua ini menjadi provinsi-provinsi itu harus melalui persetujuan MRP. Ini yang kami pegang sebagai dasar yang ada dalam Undang-Undang Nomor 21 tentang Otonomi Khusus Papua. Namun, ada juga Peraturan Pemerintah Nomor 54 pada Pasal 73 yang mengatur tentang penataan. Agar payung hukum yang dibuat ini kuat, MRP harus memberikan persetujuan sesuai Pasal 76 di dalam Undang-Undang Nomor 21. Saat ini proses itu sedang berjalan. Nantinya persetujuan MRP akan disampaikan melalui gubernur dan gubernurlah yang menyampaikan kepada pemerintah (pusat) agar Provinsi IJB itu diberikan payung hukum menjadi sebuah provinsi. Jadi, begitu prosesnya.

Apakah pihak yang tak setuju pemekaran IJB karena mereka takut kekayaan alam Papua terbagi ke provinsi baru?

Tidak ada pemikiran seperti itu. Kami justru berpikir supaya mereka itu (pendukung pemekaran IJB) berbicara soal sumber daya alam di pusat (Jakarta). Begini, kalau tidak memakai payung UU Otsus dan memakai UU Nomor 33 menyangkut perimbangan keuangan pusat dan daerah, IJB hanya mendapat 30 persen dari hasil sumber daya alamnya, bukan 70 persen. Jadi, kami justru berpikir riil. Semua yang bicara di sana itu (IJB) sepertinya tidak mengerti undang-undang dan aturannya. Sebenarnya kami ingin pemekaran itu berjalan baik dan Undang-Undang Otsus ini juga berlaku di IJB.

Anda pernah mengusulkan pemekaran Papua berdasarkan payung hukum baru. Apa yang Anda maksudkan?

Memang, dalam orasi saya saat pengantar peluncuran buku saya yang berjudul Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam NKRI itu, saya katakan, kalau memang Provinsi Papua ini dimekarkan supaya kekhususan dalam otsus Papua ini berlaku untuk semua wilayah pemekaran itu, maka perlu ada lembaga yang ditunjuk untuk menangani itu semua. Namun, itu merupakan kewenangan presiden. Misalnya menunjuk Menteri Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang nantinya mengakomodir semuanya, terutama dalam soal pembagian dana otsus ini. Sebab, nantinya siapa yang akan mengatur dana-dana otsus ini. Juga, yang mengontrol tentang kesatuan ekonomi itu. Sehingga tentu harus ada yang mengaturnya. Apakah (lembaga) itu setingkat menteri atau gubernur yang ditunjuk oleh pemerintah pusat.

Dr. Jacobus Perviddya Solossa

Lahir:

  • Sorong, 8 Mei 1948

Istri:

  • Emma Jacomina Maury

Pendidikan:

  • Program studi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Cendrawasih, Jayapura (1986)
  • Magister bidang Ekonomi Pembangunan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2000)
  • Doktor bidang Ilmu Sosial, Universitas Padjadjaran, Bandung (2005)

Karier:

  • Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, Irian Jaya (1978–1985)
  • Ketua Dewan Pengurus Daera Komite Nasional Pemuda Indonesia, Irian Jaya (1982–1993)
  • Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Golkar Irian Jaya (1993–1998)
  • Gubernur Provinsi Irian Jaya (Papua) (2000–2005)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus