Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bertemu Ayah Akhir Pekan

Setelah kerusuhan 1998, banyak keluarga Indonesia hijrah ke Singapura. Sebagian telah kembali pulang. Tak sedikit yang memilih menjadi bagian dari komunitas komuter.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tunggulah Jumat petang. Singgahlah ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Jakarta. Anda akan menjumpai puluhan eksekutif yang bersiap terbang ke Singapura. Telepon genggam mereka menjerit berdering-dering. Seorang di antara para lelaki berjas itu mendekatkan telepon genggam ke telinga dan berkata, ”Sabar, Sayang, Papi sampai di rumah dua jam lagi. I will see you very soon.”

Merekalah weekend daddies. Ayah yang dinanti setiap akhir pekan. Hari-hari biasa mereka sibuk bekerja dan tinggal di Jakarta. Begitu Jumat petang tiba, mereka segera menghambur ke Bandara Cengkareng untuk menuju Bandara Changi, Singapura. Kemudian, Senin pagi, setelah dua hari tiga malam menghabiskan waktu bersama keluarga di Singapura, mereka terbang lagi ke Jakarta. Siklus komuter pulang-pergi Jakarta-Depok, eh..., Jakarta-Singapura pun berulang.

Pekan lalu, TEMPO sengaja mengikuti perjalanan dan mewawancarai weekend daddies tersebut. Termasuk dalam kelompok keturunan Cina yang hilir-mudik antarnegara ini adalah para bankir, analis pasar modal, konsultan teknologi informasi, dokter spesialis, juga arsitek terbaik yang dimiliki Indonesia. Jadwal komuter yang mirip membuat mereka kerap berada di pesawat yang sama. ”Kita ketemu orang yang sama lagi dan lagi setiap akhir pekan,” kata Lin Che Wei, analis pasar modal yang pernah mendapat predikat sebagai analis terbaik versi Majalah Asia Money, 1997.

Lin Che Wei, Direktur The Independent Research and Advisory, memang rutin menjalani rute Cengkareng-Changi dalam enam tahun terakhir. ”Persisnya setelah kerusuhan Mei 1998,” katanya.

Mata Lin Che Wei menerawang. Dia mengingat kembali hari-hari gelap yang terjadi enam tahun silam. Sebuah tragedi yang kemudian mengubah seluruh wajah Indonesia dengan begitu hebat, antara lain ditandai dengan tumbangnya kursi kepresidenan Soeharto.

Ketika itu, sebagai analis senior di perusahaan sekuritas Prancis, Societe General Securities, Che Wei memiliki banyak sumber informasi kelas A1, sebutan bagi sumber info yang sangat layak dipercaya. Menjelang akhir April 1998, sumber Che Wei dari kalangan militer sudah mengisyaratkan bakal ada ledakan kerusuhan sosial di Jakarta. Dari informasi inilah Che Wei kemudian mengungsikan keluarganya, istri dan dua anaknya, ke Singapura. Tapi, dua minggu berlalu tanpa ada kejadian berarti sehingga Che Wei menganggap situasi cukup aman. ”Keluarga saya kembali ke Jakarta,” katanya.

Tak dinyana tak diduga, datanglah peristiwa jahanam itu. Pada 12 Mei 1998 terjadi penembakan mahasiswa Universitas Trisakti. Sehari berikutnya suhu memanas tak terkendali. Penjarahan, pembakaran gedung, pemerkosaan, terjadi di sudut-sudut Jakarta. Ribuan orang—bukan hanya etnis Cina—terjebak dan terpanggang api yang berkobar-kobar.

”Saya waktu itu masih ada di kantor,” katanya mengenang. Kepanikan mengguncang hebat. Maklum saja, rumah Che Wei ada di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, tepat di belakang rumah taipan kelas wahid Lim Sioe Liong. Massa yang beringas ketika itu sudah beraksi membakar rumah Lim sampai luluh lantak. Sudah tentu hati Che Wei kebat-kebit risau akan keselamatan istri dan dua putri kecilnya.

Syukurlah, mereka selamat. Anak-istri Che Wei luput dari kemarahan massa yang gahar. Petang hari, saat kerusuhan sedikit mereda, Che Wei naik sepeda motor. Dia memandu mobil Kijang yang membawa keluarganya menuju Hotel Mandarin, Jalan Thamrin. ”Saya jadi voor-rijder. Kalau jalan aman, mereka boleh terus,” katanya.

Dua hari menginap di Hotel Mandarin. Che Wei sekeluarga kemudian mengungsi ke Singapura, mencoba menenangkan hati keluarganya yang telah digocoh ketakutan hebat. Sejak itu pula hidup Lin Che Wei berubah. Lelaki 36 tahun ini menjadi bagian dari komunitas komuter yang mondar-mandir Jakarta-Singapura. Sampai kini.

Edward, bukan nama sebenarnya, mengalami kisah pahit yang kurang lebih serupa. Dokter spesialis saraf ini merasa telah berbuat banyak untuk negara. Pada awal tahun 70-an, ketika baru lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Edward langsung ditugaskan sebagai dokter inpres di daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur. Kemudian, pada tahun 1980-an, setelah menamatkan pendidikan spesialis, Edward kembali bertugas di NTT. ”Sebenarnya saya bebas praktek di kota besar. Tak ada kewajiban ke wilayah terpencil lagi karena saya sudah pernah jadi dokter inpres,” kata Edward. Tapi, lantaran ingin mengabdi, Edward tetap memilih sepinya NTT, tempat dokter jauh lebih dibutuhkan.

Awal tahun 1990-an, barulah Edward kembali ke Jakarta. Dan, terjadilah mimpi buruk Mei 1998. ”Saya kecewa dan sedih sekali,” katanya sambil menambahkan, dirinya yakin betul bahwa kerusuhan itu bukanlah murni gejolak sosial. ”Ada orang-orang yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan cara mengorbankan rakyatnya,” kata Edward.

Kekecewaan Edward kian mendalam ketika dia menyaksikan tren sosial yang terus memburuk. Pada November 1998, terjadi peristiwa Ketapang yang diikuti pembakaran sekolah dan gereja di sudut-sudut Jakarta. ”Kami hidup dalam ketakutan,” katanya. ”Anak-anak tidak bisa sekolah dengan tenang. Mereka diliburkan setiap situasi memanas.”

Tak tahan terus hidup gelisah, pada 1999 Edward memutuskan hijrah. Istri dan kedua anaknya, yang masih SD dan SMP, dipindahkan ke Singapura. Edward sendiri masih berpraktek di Jakarta dan hanya sesekali berkunjung ke Singapura. ”Yang komuter justru istri saya. Dia mondar-mandir menengok saya dan anak-anak,” kata Edward.

Sebenarnya, komuter sebagai ekses kerusuhan bukan muncul kali ini saja. Buku Memoar Oei Tjoe Tat mencatat, sebagian keturunan Tionghoa pernah pula menjalani hidup komuter setelah kerusuhan etnis pada Mei-Juni 1946. Episentrum kerusuhan yang awalnya di Tangerang kemudian merembet ke berbagai kota. Kala itu diperkirakan ada 25 ribu orang dari berbagai daerah, antara lain Tangerang, Majalengka, Kuningan, Indramayu, Bobotsari, Gombong, Pekalongan, Tegal, mengungsi ke Ibu Kota. Setelah ketegangan mereda, sebagian mereka merintis kehidupan di Jakarta dan hilir-mudik menyambangi sanak famili di daerah.

Memang, tidak semua pengungsi peristiwa Tangerang tinggal menetap di Jakarta. Seperti juga tidak semua keturunan Tionghoa yang hijrah pasca-1998 menetap di Singapura. ”Banyak yang gagal survive hidup di Singapura,” kata David, bukan nama sebenarnya. Lelaki setengah abad ini aktif sebagai jemaat di Presbyterian Church, Bukit Batok, Street Eleven, Singapura, sebuah gereja yang banyak dikunjungi jemaat Indonesia.

David menjelaskan, ada banyak faktor penyebab kegagalan survival tadi. Selain perbedaan budaya, ongkos hidup di Singapura teramat tinggi. Hidup terasa berat bila si pendatang harus bekerja di Jakarta dengan gaji yang tidak kelewat gurih. Betapa tidak, agar bisa pulang-balik tiap minggu Jakarta-Singapura, dibutuhkan ongkos sekitar Rp 15 juta per bulan hanya untuk fiskal dan pembelian tiket pesawat kelas ekonomi. Beban makin melambung bila yang bersangkutan ketularan gaya hidup 5C ala Singapura, yakni car, credit card, carrier, condominium, dan country club. ”Ssst..., masih ada satu C lagi: concubine alias istri simpanan yang tinggal di Batam atau Jakarta,” kata David sambil terbahak-bahak.

Mengingat mahalnya ongkos hidup dan ekses tak sedap yang mungkin muncul, tak sedikit keluarga hilang keseimbangan. ”You know, ibu-ibu khawatir suaminya punya simpanan,” katanya. Kerisauan semacam ini membuat banyak keluarga akhirnya memilih kembali pulang. ”Sekolah anak-anak juga dipindah lagi ke Jakarta,” kata David.

Tidak semua mereka yang kembali ke Jakarta beralasan ongkos hidup yang mahal. Harsono D. Amidjojo, pengusaha yang memiliki beberapa hotel di Jakarta dan Yogyakarta, misalnya, punya alasan tersendiri untuk balik kandang. ”Saya ingin lebih terlibat dalam proses perubahan menuju Indonesia yang lebih baik,” katanya.

Harsono sempat selama lima tahun pulang-balik Jakarta-Singapura. Anaknya, Steven, 11 tahun, bersekolah di British School di negeri Lee Kuan Yew ini. Tapi belakangan Harsono merasa ada yang kurang dalam kehidupan keluarganya. Dia rindu ingin menanamkan rasa kebangsaan pa-da sang anak. ”Itu tidak bisa dilakukan di Singapura,” katanya. Walhasil, pada 2002 dia memutuskan kembali ke Jakarta. Steven pun pindah sekolah di Jakarta.

Kerusuhan 1998, bagi Harsono, adalah titik balik yang krusial. Pada masa Orde Baru, sebelum tragedi hitam ini, keturunan Tionghoa cenderung hanya bersikap apatis, apolitis, eksklusif, dan kurang peduli pada lingkungan sekitar. Lalu, kemarahan massa—meski mungkin tidak sepenuhnya orisinal—datang menggebrak dan menggugat. ”Kerusuhan itu membuktikan ada yang keliru pada masyarakat kita,” katanya. ”Kita, etnis Tionghoa, dan semua lapisan masyarakat turut bertanggung jawab atas kekeliruan itu.”

Harsono pun melangkah konkret. Dia ingin terlibat mengurai benang kusut persoalan bangsa. Caranya, ”Saya menerbitkan Koranku,” katanya. Koranku adalah media yang membidik pelajar SMP-SMA. Tujuannya bukan semata bisnis tetapi lebih pada menanamkan nilai-nilai moral pada generasi muda. Sejauh ini mingguan Koranku, yang berformat gabungan edukasi dan hiburan, telah terbit 10 edisi dan beredar di 180 SMP dan SMA di Jakarta. ”Cita-cita saya, Koranku ikut memberikan sumbangan dalam pembentukan karakter bangsa,” kata Harsono.

Lin Che Wei seribu persen sepakat dengan Harsono. Malah, hampir pada setiap kesempatan, Che Wei mengimbau kawan-kawannya yang pengusaha Tionghoa agar ikut serta peduli pada masa depan bangsa. ”Jangan cuma mau aman tapi enggak mau melakukan perubahan,” katanya.

Che Wei sendiri mewujudkan keikutsertaannya melakukan perubahan dengan tetap setia berbisnis di Jakarta. Padahal pintu untuk menjadi analis yang menjangkau dunia dengan gaji yang luar biasa terbuka lebar baginya. Dengan tetap berbisnis di Indonesia, Che Wei tetap bisa terlibat aktif, bergandeng tangan dengan wartawan, menyoroti persoalan korupsi dan praktek bisnis yang kotor. Tahun lalu, dedikasi Che Wei mengkampanyekan antikorupsi ini membuahkan penghargaan Suardi Tasrif dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Hanya, lain dengan Harsono, sampai kini Che Wei belum sepenuhnya bisa meninggalkan Singapura. ”Ini soal berat bagi saya,” katanya. Kelangsungan sekolah kedua putrinya, di Nangyang Primary School, adalah alasan utama untuk tetap tinggal di Singapura. Sekolah yang berumur 89 tahun ini punya kelebihan mengajarkan bahasa dan budaya Cina dengan bagus. ”Saya ingin anak saya mengenal akarnya sebagai keturunan Cina,” kata Che Wei. Akar yang sempat tercerabut ketika rezim Orde Baru berkuasa di negeri ini. Bagi Che Wei, menjadi orang Indonesia tidak berarti harus kehilangan akar budaya sebagai keturunan Cina.

Lalu, tidakkah Che Wei kesulitan menanamkan rasa kebangsaan kepada putrinya? ”Saya punya solusi,” katanya. Minimal dua kali setahun keluarga Che Wei berlibur ke Indonesia. Pada saat itulah Che Wei secara intensif memperkenalkan aneka ragam kebudayaan Indonesia kepada kedua putrinya.

Bukan cuma menjadwalkan liburan. Che Wei juga khusus memesan serangkaian lukisan kepada Yuswantoro Adi, pelukis asal Yogyakarta, untuk dipasang di apartemen rumahnya di Singapura. Lukisan-lukisan yang menggambarkan berbagai tahapan penting yang dialami Indonesia, termasuk huru-hara 1998. Tujuannya, ”Agar putri saya tidak lupa pada tanah air tempat dia berasal,” katanya.

Menjadi komuter dan tinggal di Singapura, Che Wei menjamin, tidak akan mengubah diri dan keluarganya menjadi orang asing. ”Hati kami tetap un-tuk Indonesia,” katanya. Jumat petang lalu Che Wei menutup perbincangan dengan bergegas menuju tempat pemeriksaan tiket di Bandara Cengkareng. Katanya, ”Gue mesti buru-buru, ditungguin my family.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus