Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Bertaruh Najaf karena Sadr

Pasukan koalisi membumihanguskan Najaf. Inilah serangan terbesar Amerika—sejak awal invasi pada Maret 2003—ke kota suci pemeluk Syiah sedunia itu.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

p>Seperti kucing dengan sembilan nyawa, Muqtada Sadr dengan tenang mendada maut yang rapat menerkamnya di kompleks makam Imam Ali. Di luar bangunan itu bertebaran 2.000 marinir plus 1.800 anggota pasukan militer Irak dengan senjata lengkap. Tujuan mereka satu: membabat pasukan Mahdi pimpinan Muqtada Sadr sekaligus menuai nyawa imam Syiah itu. Pengejaran Muqtada, 33 tahun, adalah bagian dari pertempuran pasukan koalisi melawan pasukan Imam Mahdi di Najaf, Kamis pekan silam.

Dibumihanguskan oleh serangan tank, pesawat tempur, dan tembakan senjata, Najaf tiba-tiba beralih rupa menjadi medan perang yang terbungkus pekatnya tabir asap. Ratusan rumah luluh-lantak. Bangunan terbakar di mana-mana. Lolong tangis manusia yang terkena peluru dan granat pecah di berbagai penjuru kota. Inilah serangan yang menewaskan jumlah terbesar warga Irak sejak invasi Amerika ke negeri itu menjelang akhir Maret 2003. Hingga Jumat malam, jumlah nyawa warga sipil Irak yang melayang di Najaf sudah menembus angka 170 orang. Yang luka-luka sekitar 600 orang lebih.

Warga kota yang masih selamat lintang-pukang mencari perlindungan. Sembari para penempur di kubu milisi Mahdi memilih bertahan bersama pemimpinnya. Muqtada Sadr sudah terluka parah di dada, kaki, dan lengan. Tapi, dalam kawalan seribu anggota pasukan milisi, ia tetap mengangkat senjata walau sudah terpojok ke bangunan makam.

Sembari menitikkan air mata, Muqtada menyerukan jihad sampai mati. Serangan koalisi ke Najaf pada hari itu bermula di kawasan rumah Muqtada. Pasukan koalisi menduga rumah yang letaknya tak jauh dari makam Imam Ali itu menjadi markas besar milisi Mahdi. Menjawab serangan, anggota milisi meluncurkan granat (RPG), dan baku bunuh pun kian menjadi.

Juru bicara milisi Mahdi, Shaikh Ahmad al-Shaibani, mengutuk keras operasi bumi hangus tersebut. "Itu rumah yang penuh kedamaian, bukan barak militer," kata Ahmad. Operasi yang menempatkan rumah Sadr sebagai target utama itu diharapkan menjadi aksi pamungkas untuk mengakhiri konflik di Najaf. Pasukan koalisi menduga seluruh anggota milisi akan meletakkan senjata bila Muqtada Sadr terbunuh.

Pertempuran pada pekan silam adalah babak kedua konflik bersenjata antara pasukan koalisi dan kelompok Sadr sejak April lalu. Gencatan senjata sempat terjadi, meski tanpa skema penyelesaian yang jelas. Dua pekan silam sempat pecah pertempuran besar. Dan "perang gerilya" terus berkepanjangan.

Kapten Marinir AS, Carrie Batson, melansir telah membunuh sekitar 360 milisi. Tapi klaim itu dibantah juru bicara kelompok Sadr, Sheikh Ahmad al-Shaibani, "Jauh lebih kecil dari angka itu," ujarnya.

Pagi sebelum operasi bumi hangus digelar, Perdana Menteri Iyad Allawi menyerukan tawaran damai. Allawi, yang juga penganut Syiah, berharap agar anggota milisi menyerahkan senjata. "Pemerintah menginginkan mereka segera bergabung ke pangkuan masyarakat dan mendapat amnesti," kata Allawi. Perdana Menteri juga menyesalkan tindakan Sadr mengungsi ke makam Imam Ali. Allawi menilai, Sadr menggunakan kesucian makam itu sebagai tameng perang.

Serangan tersebut mengundang kritik pedas dari Wakil Presiden Irak, Ibrahim Jafari, terhadap pasukan koalisi. "Membunuhi penduduk sipil bukan langkah tepat membangun Irak baru. Dampaknya amat negatif," kata Ibrahim. Dalam wawancara dengan kantor berita BBC di London, Ibrahim menuding pasukan koalisi telah menyalahi komitmen. "Seharusnya mereka memakai pendekatan dialog, bukannya menebar timah panas," Ibrahim melanjutkan.

Dalam salah satu analisisnya, kolumnis BBC, Roger Hardy, menulis betapa konflik Najaf menjadi pertaruhan kredibilitas pasukan koalisi sekaligus pemerintahan Irak pimpinan Allawi. "Kemampuan Allawi mengatasi krisis internal bakal diuji," demikian Roger menulis. Satu hal, jika konflik Najaf berkepanjangan, bahkan sampai merusak makam Imam Ali bin Abi Thalib, dipastikan pertempuran bakal meluas ke seluruh negeri. Muqtada terhitung jeli ketika memilih mengungsi ke makam suci itu.

Gubernur Najaf, Adnan al-Zorfi, mengundurkan diri sehari setelah operasi bumi hangus. Adnan khawatir peperangan bakal merusak bangunan makam dan masjid suci. Maklumlah, kota ini ibarat "Mekah"-nya kaum Syiah seluruh dunia. Banyak kalangan sudah memastikan kaum Syiah akan merancang pembalasan bila tempat-tempat suci itu sampai disentuh Amerika.

Gareth Stansfield, pakar Timur Tengah dari London, mengatakan begini: "Dampaknya bukan sekadar kerusakan fisik, tapi simbol kelakuan buruk Amerika di Najaf yang mungkin tak bakal mereka maafkan." Pendapat Stansfield tidak berlebihan. Sehari setelah penyerangan, ribuan rakyat di Basrah dan Bagdad turun ke jalan. Mereka berdemonstrasi dan meneriakkan yel-yel kebencian: "Hidup al-Sadr. Amerika dan Allawi orang kafir."

Ulama besar Syiah, Ayatullah Ali Sistani, yang sedang berobat di London, segera dipanggil pulang. Menurut saudaranya, Husein Sharistani, ulama itu diminta mengeluarkan fatwa penghentian perang. Tapi, di kabinet Allawi, suara justru terpecah-pecah. Menteri Pertahanan Hazem al-Shalan, misalnya, justru bangga atas penangkapan 1.200 anggota milisi. Kebanyakan mereka bukan orang Irak dan tak bisa berbahasa Arab. "Operasi militer (di Najaf) akan tetap berlangsung sampai mereka menyerah," kata Shalan.

Di lain pihak, Brigadir Jenderal Erv Lessel, Wakil Direktur Operasi Pasukan Koalisi, mencoba meredam kecemasan para penganut Syiah. Dalam pernyataannya kepada pers akhir pekan lalu, pilot tempur Angkatan Udara Amerika ini menjamin tak ada pasukan koalisi yang beroperasi di dekat makam Imam Ali di Najaf dan Masjid Ali di Kufah. "Atas izin Perdana Menteri Allawi, operasi militer kami lanjutkan untuk menjaga keamanan penduduk dan masa depan Irak," kata Lessel.

Menumpas pasukan Mahdi dan Muqtada Sadr memang bukan hal sulit bagi pasukan koalisi. Ibarat tinju, ini duet kelas bulu melawan kelas berat yang hasil akhirnya mudah ditebak. Yang jauh lebih sulit ditebak adalah pembalasan pemeluk Syiah di antero jagat bila makam Imam Ali sampai luluh-lantak terkena mortir.

Rommy Fibri (BBC, Aljazeera, Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus