Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengajak Uang Tak Berpaspor

Krisis ekonomi tak membuat kekayaan pengusaha keturunan Tionghoa menyusut drastis. Mau sedikit mengubah adat.

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bread and butter mereka sudah habis." Begitu Sofjan Wanandi kerap bertamsil tentang santapan konglomerat Indonesia pascakrisis ekonomi. Hi- dangan itu kini memang tak lagi gampang dijumpai di "meja makan" para pengusaha kakap. Apalagi dalam stok melimpah, seperti pada masa Orde Baru.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memaksa teman-teman Sofjan sedikit berdiet. Kelompok Salim, yang dulu menjadi taipan nomor satu di Indonesia, misalnya, tak bisa lagi menikmati kelezatan Indomobil dan Indocement. Grup Sinar Mas pimpinan Eka Tjipta Widjaya tak lagi menguasai Bank Internasional Indonesia (BII).

Kilang petrokimia Chandra Asri pun bukan lagi milik taipan Prajogo Pangestu. Konglomerat Usman Admadjaja kehilangan Bank Danamon. Sama halnya dengan Sjamsul Nursalim, yang tak lagi pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). Namun sedikit berdiet jelas tak sama dengan jatuh pailit dan jadi kere.

Bagaimanapun, dalam daftar menu para konglomerat itu masih tersaji hidangan "lezat dan bergizi". Salim, contohnya, masih menguasai Indofood, raksasa produsen makanan yang terkenal dengan produk mi instannya. Sinar Mas masih punya banyak proyek properti—kini dikendalikan Franky Widjaya, putra Eka Tjipta.

Prajogo Pangestu pun masih memegang industri hasil hutan terpadu di bawah bendera Barito Pacific. Sofjan juga menunjuk beberapa konglomerat yang bahkan tak terpengaruh badai krisis. Mereka terutama pemilik pabrik rokok seperti Gudang Garam, Djarum, dan Sampoerna.

Para pengusaha keturunan Tionghoa teman-teman Sofjan memang tahan banting menghadapi gelombang. Karakter ini pulalah yang membuat pendahulu mereka mampu mengangkat etnis ini merajai sektor perdagangan di bumi Nusantara, selama ratusan tahun. Tapi, setelah krisis berjalan enam tahun, cengkeraman kelompok usaha besar di berbagai bidang memang agak surut.

Peta modal dan bisnis sedikit berubah. Sektor perbankan kini lebih banyak dikuasai badan usaha milik negara (BUMN) dan investor asing. Sebagian besar manufaktur, yang dulu dikuasai konglomerat, kini banyak diambil alih pemerintah. Namun, "Sektor perdagangan masih tetap dalam genggaman pengusaha keturunan Tionghoa," kata Sofjan.

Kendati tak pernah ada data pasti, para superhartawan yang sebagian besar etnis Tionghoa diperkirakan masih menguasai 80 persen aset nasional. Padahal jumlah mereka hanya 2 persen dari 220 juta penduduk Indonesia. Tentu tak semua orang langsung sepakat dengan angka-angka itu.

Sudhamek, bos Garuda Food, menyebut data itu "terlalu dibesar-besarkan". Ia mengingatkan, peran usaha kecil dan menengah jangan disepelekan. "Merekalah yang membuat ekonomi Indonesia kembali sehat," kata pengusaha yang disebut Sofjan Wanandi sebagai rising star di antara jajaran pengusaha kelas menengah.

Pemain lain yang tak kalah penting dalam percaturan bisnis di Indonesia adalah bank-bank pelat merah. Dalam soal menyulut krisis ekonomi, Sofjan yang juga bos Kelompok Gemala menuding lembaga-lembaga keuangan milik pemerintah itu punya tanggung jawab besar. Soalnya, "Dua pertiga kredit macet berada di bank BUMN."

Sofjan tak menutup mata akan andil konglomerat keturunan Tionghoa memicu krisis ekonomi karena praktek bisnis curang yang dulu kerap mereka lakukan. Tindakan lain yang masih terasa dampaknya sampai sekarang adalah pengungsian modal ke luar negeri.

Christianto Wibisono, lewat Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), pernah menyebut jumlah modal yang hengkang ke luar negeri pada awal krisis ekonomi mencapai US$ 85 miliar. Perlahan dana itu memang mulai kembali. Tapi sekitar US$ 30 miliar diperkirakan masih mengembara di luar negeri, hingga saat ini.

Bayangkan, pada saat Republik menggah-menggih mencari suntikan modal asing, para konglomerat malah menyemaikan investasinya di negeri lain. Sebagian terbesar membangun aneka proyek di daratan Cina, mulai dari properti, kilang pengolahan minyak sawit, pabrik perakitan sepeda motor, kertas, sampai mi instan.

Sofjan Wanandi juga menyebut nama seorang pengusaha properti kenamaan yang membangun realestat di Vietnam. Tapi ia punya alasan bagi tindakan teman-temannya itu. "Mereka sekadar mencari peluang bisnis," katanya. Jadi, jangan kesusu dihubungkan dengan sentimen asal-usul daerah atau etnis.

Ekonom Chatib Basri juga menilai investasi di Cina sebagai sikap lumrah pengusaha mencari keuntungan. Menikmati pertumbuhan ekonomi rata-rata sembilan persen selama sepuluh tahun terakhir, Cina praktis menjadi motor ekonomi penting di kawasan Asia-Pasifik. "Banyak sekali peluang ekonomi di sana," katanya kepada Danto dari Tempo News Room.

Dengan kondisi itu, tak salah bila pengusaha Indonesia rame-rame berinvestasi di negeri Tembok Raksasa. "Uang enggak punya paspor, enggak kenal saudara," ujar Chatib. "Kalau profitnya besar, iklimnya pasti, dia akan ke sana." Maka, baik Sofjan maupun Chatib berpendapat, konglomerat keturunan Tionghoa tak perlu dimusuhi.

Mereka bahkan harus diajak membangun kembali ekonomi Indonesia. Apalagi stok pengusaha di Indonesia tergolong langka. Sofjan punya alasan lain. "Mereka punya network hebat," katanya. Jaringan itu, terutama modal dan distribusi barang, sangat dibutuhkan memompa denyut nadi perekonomian. Untuk "merayu" mereka, tak bisa tidak pemerintah harus menata kembali kebijakan ekonomi yang selama ini membuat mereka masih pikir-pikir menarik dananya dari luar negeri.

Berbagai kebijakan yang membuat pengusaha mengkeret itu sebetulnya sudah sering diulas. Contohnya aturan ketenagakerjaan dan pajak yang kurang fleksibel. Ada lagi soal penegakan hukum yang amburadul, dan berbagai peraturan daerah yang mencekik leher.

Begitu pula kondisi infrastruktur yang menyedihkan. Tenaga listrik, misalnya, tak cukup tersedia. Di luar Jawa, listrik sering byar-pet. Di Jawa sendiri banyak pembangkit dipaksa bekerja tanpa pemeliharaan memadai. Bila akhirnya jebol, bisa dibayangkan gangguannya terhadap mata rantai industri.

Sarana jalan dan lalu lintas? Jangan tanya. Banyak jalan utama rusak berat, sementara pembangunan jalan baru—apalagi jalan tol—bisa dihitung dengan jari. Bila kondisi ini tak diperbaiki, kata Sofjan, "Pengusaha yang bekerja baik-baik sulit mendapat untung." Padahal efisiensi dan kemampuan mereka menyerap tenaga kerja jauh melebihi pengusaha siluman yang sekarang justru banyak mendapat angin.

Tak cuma usaha besar yang butuh kebijakan ekonomi yang bersahabat. Sofjan Wanandi berpendapat, pemerintah mestinya juga menciptakan keseimbangan dengan memberdayakan usaha kecil dan menengah. Dengan demikian akan tercipta tata ekonomi dan kemakmuran yang lebih merata untuk meredam kecemburuan sosial.

Banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah membantu usaha kecil dan koperasi. Misalnya saja mempermudah pemberian izin yang diperlukan untuk berusaha. "Izin untuk pengusaha kecil tak perlu sebanyak (dan semahal) izin buat pengusaha besar," ujar Sofjan.

Contoh lain adalah memudahkan proses pemberian kredit dari bank. Bila perlu, pengusaha kecil bisa meminjam uang dengan agunan berupa ternak kambing atau sapi. Menyediakan ruang pameran dan akses informasi pasar juga bisa sangat membantu usaha si kecil.

Tentu tak semua hal mesti dibebankan ke pundak pemerintah. Untuk menciptakan harmoni dan melumerkan suasana, di antara pengusaha sendiri perlu ada komunikasi yang sehat. Sudhamek terus terang menganjurkan agar pengusaha keturunan Tionghoa mau sedikit mengubah adat.

"Jangan melulu berbisnis," ia mengusulkan. "Aktiflah juga di berbagai kegiatan sosial seperti pendidikan dan keagamaan." Untuk menyingkirkan prasangka rasial, menurut Sudhamek, penegakan hukum tanpa pandang bulu juga sangat diperlukan. "Kalau bersalah," katanya, "tak peduli saudagar pribumi atau keturunan Tionghoa, ya mesti dihukum setimpal."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus