Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Fase Baru Peranan Etnis Cina di Indonesia

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIN CHE WEI, C.F.A. *) Penulis adalah Direktur Independent >

The hottest places in Hell are reserved for those who in a period of moral crisis maintain their neutrality.
- John F. Kennedy -

Membicarakan peranan etnis Cina di bidang ekonomi dan politik merupakan tugas yang sangat sulit dan sensitif. Peranan etnis Cina di Indonesia selama puluhan tahun—sejak zaman Belanda sampai era Soeharto—cenderung terfokus di bidang bisnis. Meskipun di sana-sini kita melihat peranannya cukup menonjol di bidang lain seperti hukum, pers, penelitian, olahraga, dan keilmuan, peranan etnis Cina di bidang birokrasi dan politik relatif masih sangat kecil.

Dalam bukunya, World on Fire, Profesor Amy Chua dari Yale University menunjukkan peranan signifikan etnis Cina sebagai market-dominant minorities di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. "Market-dominant minorities" adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan sekelompok etnis tertentu yang mendominasi pasar dan ekonomi. Amy menunjukkan bagaimana pasar bebas telah menyebabkan terjadinya konsentrasi kekayaan secara tidak proporsional di tangan etnis minoritas.

Amy juga mengajukan hipotesis bahwa dengan berlangsungnya demokrasi, di mana kekuasaan secara politis berada di tangan etnis mayoritas, apabila tidak dicermati dengan baik, fenomena market-dominant minorities dan demokrasi dalam bentuk mentah berpotensi menimbulkan konflik antar-etnis yang dapat menyebabkan bencana bagi bangsa ini. Tentu saja kita tidak mengharapkan hal ini terjadi.

Menurut saya, kita juga tidak bisa menggeneralisasi bahwa etnis Cina identik dengan golongan kaya, karena pada kenyataannya tak semua etnis Cina di Indonesia kaya. Bahkan, di beberapa daerah seperti Kalimantan dan Sumatera, banyak juga etnis Cina yang hidup di bawah garis kemiskinan. Data yang akurat sangat diperlukan sebelum kita mengambil kesimpulan adanya fenomena market-dominant minorities.

Dengan berkembangnya reformasi, ada tuntutan agar peranan etnis Cina sebaiknya tidak hanya terfokus pada bisnis semata, tapi juga harus lebih tersebar di bidang-bidang lain. Di zaman Orde Baru, ada anggapan perekonomian didominasi etnis Cina, sebaliknya peranan etnis Cina di bidang politik, militer, dan birokrasi hampir tidak ada. Pemisahan antara kelompok yang mendominasi ekonomi dan yang mendominasi politik, militer, dan birokrasi memerlukan "jembatan" yang mengayomi kepentingan kedua belah pihak. Rezim Soeharto-lah yang menjadi penyambung dua kutub, sekaligus menjadi patron bagi market-dominant minorities sehingga dapat mempertahankan stabilitas kekuasaan cukup lama.

Apabila hipotesis bahwa adanya market-dominant minorities benar-benar ada, di alam demokrasi seperti sekarang hal itu berpotensi menimbulkan krisis etnis seperti yang digambarkan Profesor Chua.

Saya juga mengamati sikap yang selama ini banyak dianut etnis Cina di Indonesia. Beberapa pengalaman buruk, seperti peristiwa G30S/PKI dan kerusuhan Mei 1998 yang berbuntut bencana yang menimpa etnis Cina, mungkin masih menjadi trauma bagi sebagian kelompok ini di Indonesia. Kerusuhan etnis inilah salah satu hal penting yang terus menyebabkan polarisasi kedua kutub terus berlanjut. Di satu pihak, konsentrasi sebagian etnis Cina masih terpusat di bidang ekonomi, sebaliknya keterlibatan di bidang politik, militer, dan birokrasi sangat terbatas.

Akibat pengalaman dan pengkondisian itu, banyak etnis Cina yang bersikap apolitis, yaitu mencoba mempertahankan netralitas dalam politik dan menjauhkan diri dari politik, militer, dan birokrasi. Kecenderungan yang terjadi adalah, apabila mereka menggunakan hak politiknya, hak ini akan dipakai untuk mendukung siapa pun yang dapat menjamin stabilitas dan kelangsungan bisnisnya. Trauma dan cara bersikap seperti itu cenderung mengekalkan polarisasi tersebut.

Saya melihat ada ekses negatif sebagai konsekuensi sifat apolitis itu. Pertama, polarisasi ini memungkinkan suburnya crony capitalism—etnis Cina, khususnya para pengusaha besar, sering menjadi target utama "sumber pendanaan" kegiatan politik tertentu. Sebagai imbalannya, mereka mendapat proteksi dan kemudahan akses usaha. Bahkan, dalam sejumlah kasus, kolusi antara penguasa dan pengusaha menghasilkan debitor-debitor bermasalah yang tidak membayar utangnya secara penuh tapi malah mendapatkan release & discharge (R&D) dan jaminan perlindungan dari tuntutan hukum.

Hal itu menyebabkan kebencian dari etnis mayoritas kian luas. Bagaikan nila setitik rusak susu sebelanga. Seakan-akan atas lobi-lobi inilah pemerintah memakai kebijakan "Dooh Nibor". Dooh Nibor adalah kebalikan kata Robin Hood. Sementara Robin Hood mencuri dari orang kaya dan memberikan rampasannya kepada orang miskin, kebijakan "Dooh Nibor" memberikan release & discharge kepada debitor kaya di atas ongkos rakyat banyak yang harus menanggung utang besar.

Kedua, kelompok etnis Cina sering terlihat tidak mengambil sikap yang jelas di tengah terjadinya krisis moral. Sebagian etnis Cina cenderung tidak mengambil sikap atau berpihak di bidang politik. Mereka cenderung mendukung siapa pun yang dapat memberikan "perlindungan" dan menjamin kelangsungan bisnis mereka. Keterlibatan di dalam politik dikhawatirkan akan menimbulkan masalah bagi bisnis apabila tokoh yang didukung ternyata tidak muncul sebagai pemenang.

Ketiga, keengganan etnis Cina terlibat di luar bisnis menyebabkan kian terkonsentrasinya etnis Cina di bidang bisnis, dan hal ini menyebabkan fenomena market-dominant minorities makin parah.

Menurut saya, kelompok etnis Cina harus lebih menyeimbangkan peranannya. Keseimbangan peran ini penting terjadi antara bidang bisnis dan bidang lain. Prinsip kepentingan negara di atas kepentingan golongan dan kepentingan golongan di atas kepentingan pribadi sangatlah penting.

Affirmative Action sebagai Salah Satu Solusi, tapi Bukan Berdasarkan Etnis Affirmative action mungkin bisa menjadi salah satu kebijakan yang dapat menjawab masalah pelik ini. Tapi, affirmative action seperti apa yang harus diterapkan? Apakah berdasarkan etnis atau berdasarkan kondisi sosial-ekonomi? Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara mengidentifikasi kelompok yang akan tersingkirkan secara efektif dan akurat?

Saya melihat affirmative action berdasarkan etnis mengandung bahaya yang sangat besar. Pertama, tidak semua etnis Cina adalah kaya dan terlibat dalam crony capitalism di masa lampau. Kedua, kebijakan itu dapat mengancam kesatuan bangsa karena hal ini dapat juga merembet ke agama, regional. Ketiga, banyak di antara etnis Cina sendiri yang muak dengan kolusi yang dilakukan sebagian pengusaha hitam dengan penguasa, yang berpotensi menimbulkan problem etnis, sementara tidak semua etnis Cina merupakan bagian dari market-dominant minorities tersebut. Atas dasar itu, sangat tidak adil jika etnisitas dipakai sebagai dasar dalam menentukan kebijakan affirmative action.

Affirmative action policy yang berdasarkan etnis juga counter-productive karena kebijakan ini dapat dengan mudah diterjemahkan sebagai kebijakan "anti-Cina" dan berlaku bagi semua pengusaha keturunan Cina tanpa memandang status sosial-ekonominya. Hal ini juga berpotensi menimbulkan resistansi di kalangan etnis Cina, yang peranan dan partisipasinya sangat penting di dalam revitalisasi ekonomi dan pembangunan di Indonesia.

Apabila kebijakan affirmative action diterjemahkan sebagai kebijakan "anti-Cina", etnis Cina mungkin akan enggan membawa kembali modal, melakukan kegiatan usaha, dan menjalankan roda perekonomian. Karena itu, identifikasi strategi affirmative action, metode, dan komunikasi sangat penting. Penyeimbangan peranan etnis Cina dalam bidang ekonomi, politik, militer, dan birokrasi harus didasarkan pada kesadaran tinggi bahwa hanya dengan suatu tatanan sosial yang berkesinambungan kita bisa mendapatkan Indonesia yang lebih aman dan makmur.

Ekses negatif lain affirmative action berdasarkan etnis adalah individu atau kelompok yang mendapat perlakuan preferensial mungkin cenderung menjadi santai, manja, dan tidak mau berusaha. Hal itu akan kian menjauhkan kita dari tujuan semula untuk memberdayakan secara ekonomi kelompok lain. Apakah kita ingin mendapatkan tatanan masyarakat yang mengalokasikan usaha dan pekerjaan berdasarkan sistem meritokrasi atau berdasarkan etnis?

Menurut saya, pemerintah harus berani membahas dan mengatasi masalah ini karena mengambil sikap diam dan menghindari isu sulit ini bukan langkah yang baik, lantaran tak akan menyelesaikan masalah. Di kemudian hari, soal etnis ini berpotensi menimbulkan masalah yang lebih serius.

Merupakan tantangan bagi kelompok etnis Cina bersama komponen bangsa lain untuk menjawab persoalan yang dihadapi market-dominant minorities dan menyelesaikan masalah kecemburuan etnis. Menurut saya, etnis Cina berada dalam posisi terbaik untuk aktif terlibat menjawab tantangan ini. Peranan etnis Cina dalam merevitalisasi perekonomian nasional sangat penting, tapi lebih penting lagi adalah memberikan jawaban atas problem demokrasi dan market-dominant minorities.

Kunci utama penyelesaian masalah ini adalah peran masyarakat pribumi dan minoritas etnis Cina yang lebih seimbang di bidang ekonomi, politik, militer, dan birokrasi. Profesor Chua mengatakan, kemurahan hati yang sukarela (voluntary generosity) dari market-dominant minorities merupakan salah satu cara terhormat dalam menyelesaikan masalah pelik ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus