Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kegentingan Memaksa Setelah 212

Pemerintah mencabut izin pendirian Hizbut Tahrir Indonesia. Masih bisa diadukan ke pengadilan.

24 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAKHIR sudah Hizbut Tahrir Indonesia. Organisasi kemasyarakatan Islam yang menyerukan pendirian khilafah islamiyah selama 23 tahun itu resmi dibekukan izinnya oleh pemerintah pada Rabu pekan lalu.

HTI menjadi organisasi pertama yang termakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Karena aktivitasnya, organisasi yang didirikan mahasiswa Institut Pertanian Bogor itu dianggap anti-Pancasila. "Karena sudah menjadi gerakan, ia melanggar perpu itu," kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada Kamis pekan lalu.

Perpu tersebut sesungguhnya lahir enam bulan lalu. Pemicunya adalah demonstrasi besar umat Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016-yang sering disingkat menjadi 411 dan 212-yang menuntut agar Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dipenjarakan karena mengutip Al-Quran dalam pidatonya. Para pendemo menilai pengutipan Al-Maidah ayat 51 oleh Basuki di Kepulauan Seribu pada September 2016 sebagai penistaan.

Menurut seorang pejabat di Istana Negara, Presiden Joko Widodo risau oleh pro-kontra di masyarakat atas demo tersebut. Publik terbelah antara pendukung dan pengecam demonstrasi karena motornya adalah Rizieq Syihab, pemimpin Front Pembela Islam yang acap bertindak anarkistis, yang kini buron dengan tuduhan membuat konten pornografi.

Presiden Jokowi lalu meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto membuat kajian dasar hukum organisasi-organisasi umat Islam yang cenderung radikal. Sejak Maret itulah Wiranto mengumpulkan ulama dan akademikus di kantornya untuk memenuhi permintaan tersebut. Salah satu yang diundang adalah Indriyanto Seno Adji, guru besar dari Universitas Krisnadwipayana.

Ketika ditanya, Seno Adji meminta Tempo menghubungi Romli Atmasasmita, ahli hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung, yang kini menjadi Staf Khusus Menteri Wiranto. "Ada pembahasan-pembahasan, tapi kapan mulainya saya lupa," kata Romli. "Harus cek notulensi."

Menurut Romli, pembahasan para ahli hukum dan ulama tersebut menyangkut kelompok-kelompok Islam radikal yang mengkampanyekan kekerasan dan ideologi negara di luar Pancasila. Mereka mengelompokkan organisasi semacam ini dengan kategori "meresahkan". HTI masuk kelompok ini.

Kesimpulan rapat itu, menurut Romli, lalu dikaji secara internal oleh pejabat serta staf Kementerian Koodinator Politik, Hukum dan Keamanan. Ada usul pemerintah memakai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan untuk mencabut izin organisasi-organisasi itu. Kesimpulan ini diumumkan Wiranto pada 8 Mei lalu sebagai dasar pembekuan HTI.

Pengumuman itu pun memicu reaksi publik. Pemerintah dianggap otoriter dengan memberangus kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi meski pembekuannya tetap melalui pengadilan. "Dihitung-hitung, jika memakai undang-undang ini, prosesnya bisa mencapai 458 hari," kata Romli.

Solusinya adalah merevisi undang-undang tersebut. Romli tak sepakat karena akan memakan waktu dan belum tentu Dewan Perwakilan Rakyat memprioritaskan perubahannya. Ia pun mengusulkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Dasarnya adalah ayat 1 Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Romli, pemerintah dibolehkan menerbitkan perpu jika ada "kegentingan yang memaksa".

Pada 2009, Mahkamah Konstitusi menerbitkan putusan Nomor 138 yang menguraikan syarat-syarat kegentingan memaksa: masalah hukum tak bisa diselesaikan karena tak tertampung dalam undang-undang. Wiranto lalu mengundang lima ahli hukum untuk membahasnya, delapan hari setelah pengumuman pembekuan HTI.

Untuk menunjukkan "kegentingan memaksa", Jaksa Agung Muda Intelijen Adi Toegarisman memutar banyak video rapat-rapat akbar HTI yang mengkampanyekan khilafah islamiyah-pemerintahan internasional berdasarkan hukum Islam. Naskah konstitusi HTI juga didiskusikan. "Sebagai organ pemerintah, kami bertugas mempelajarinya," kata Adi.

Dengan bukti-bukti itu, lima ahli hukum tata negara yang diundang Wiranto sepakat dengan usul Romli. Pemerintah pun cukup syarat menerbitkan perpu untuk membekukan HTI. Jika memakai jalur pengadilan, selain lama, tak efektif. "Yang untung pengacara HTI karena sidangnya panjang," seorang ahli hukum berkelakar.

Selama sepekan, Kementerian Politik membahas perubahan-perubahan pasal dalam Undang-Undang Ormas. Maka, pada 10 Juli 2017, Presiden Joko Widodo menandatangani naskah itu menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017. Dengan perpu ini, pemerintah berhak mencabut izin sebuah organisasi tanpa harus ke pengadilan.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan jalur pengadilan tetap terbuka. Organisasi yang izinnya dibekukan masih bisa menggugat keputusan itu dengan meminta pertimbangan hakim. "Jadi tetap demokratis," ujarnya.

Pengacara HTI, Yusril Ihza Mahendra, ragu terhadap kegentingan memaksa yang diyakini pemerintah. Menurut mantan Menteri Kehakiman ini, sepekan setelah perpu itu terbit, tak terlihat ada tanda-tanda kegentingan nasional. "Sudah sepekan tak ada ormas yang dibubarkan," ucapnya.

Pemerintah menjawabnya dengan pengumuman pencabutan izin HTI pada Rabu pekan lalu. HTI dianggap melanggar pasal 59 ayat 4 huruf c, yang menyebutkan pemerintah berwenang membekukan organisasi yang "menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila".

Ismail Yusanto, juru bicara HTI, menilai keputusan itu sewenang-wenang. Ia menganggap tuduhan pemerintah tidak jelas. "Kami juga tak mendapatkan peringatan," tuturnya.

Yusril Ihza bersiap menggugat keputusan itu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Sebelumnya, dia mengajukan uji materi atas Perpu Ormas ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Yusril, aturan ini berbahaya karena bisa digunakan pemerintah untuk membungkam ormas yang berseberangan dengan penguasa.

Reaksi muncul dari pelbagai penjuru. Kampus Romli Atmasasmita mengeluarkan rilis yang menilai perpu tersebut membatasi hak publik untuk berserikat dan berkumpul. Amnesty International juga mengeluarkan pernyataan resmi bahwa aturan itu tak sesuai dengan penegakan hak asasi manusia.

Adapun Menteri Wiranto tak ambil pusing atas berbagai kritik itu. Menurut dia, jika HTI tak terima dengan pembekuan itu, mereka bisa menggugatnya ke pengadilan sehingga hakim bisa menilai keputusan pemerintah tersebut. "Jadi tak usah diributkan," katanya. l Gadi Makitan, Istman M.P.,

Yohanes Paskalis Pae Dae, Aditya Budiman


Hak Negara Vs Hak Berserikat

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 memodifikasi dan menghapus beberapa pasal di Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan. Yang paling utama adalah dihilangkannya ketentuan bahwa pemerintah harus menempuh proses pengadilan untuk membubarkan sebuah organisasi.

Menurut Asisten Deputi Bidang Materi Hukum Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Heni Susila, diharuskannya pemerintah menempuh proses pengadilan untuk membubarkan ormas tak sesuai dengan asas contrario actus. Dalam hukum administrasi negara, asas ini menyebutkan institusi negara yang mengeluarkan izin juga berhak mencabut izin.

Dengan begitu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Dalam Negeri-dua institusi yang menurut undang-undang bisa menerbitkan izin pendirian organisasi-berhak mencabut izin yang telah mereka keluarkan untuk sebuah organisasi, tanpa perlu proses pengadilan.

Sebenarnya, menurut Heni, pemerintah ingin menerapkan asas itu dalam Rancangan Undang-Undang Ormas. Saat pembahasan, DPR tidak setuju karena menilai pemerintah akan otoriter. "Pemerintah akhirnya berkompromi dengan membuat pembubaran ormas lewat pengadilan," ujarnya.

Sanksi dalam Perpu Ormas

Pelanggaran kelompok I (pasal 59 ayat 1 dan 2): peringatan tertulis, penghentian kegiatan, lalu pencabutan izin.
» Menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintahan.
» Menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau bendera ormas.
» Menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain atau partai lain.
» Menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
» Mengumpulkan dana untuk partai politik.

Pelanggaran kelompok II (pasal 59 ayat 3 dan 4): langsung pencabutan izin
» Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan.
» Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.
» Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial.
» Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
» Menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang.
» Melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
» Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus