Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Betulkah Van Gogh Bunuh Diri?

Loving Vincent, sebuah film animasi tentang pelukis Vincent van Gogh, menarik perhatian. Inilah film yang seluruh gambarnya bertolak dari tiruan lukisan-lukisan Van Gogh, baik dari gaya, karakter, maupun sapuan warnanya. Orang-orang, panorama, obyek-obyek, pohon-pohon, lanskap-lanskap langit, dan ladang gandum dalam lukisan Van Gogh seolah-olah hidup dalam film itu. Yang lebih menarik, angle film ini kontroversial. Film ini mencoba mempertanyakan asumsi yang sudah diterima kalangan umum bahwa Van Gogh mati bunuh diri dengan menembak rusuknya sendiri. Film ini menceritakan hari-hari terakhir Van Gogh menjelang kematiannya.

1 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Betulkah Van Gogh Bunuh Diri?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA Vincent van Gogh bunuh diri? Apa yang terjadi pada hari-hari terakhir Van Gogh? Betulkah seperti diyakini selama ini bahwa Van Gogh menemui maut setelah menembak dirinya sendiri di tulang rusuk? Ataukah ada kemungkinan ia ditembak? Begitu setidaknya pertanyaan yang dicoba diajukan pembuat film terbaru tentang si maestro, Loving Vincent. Dalam Loving Vincent, sutradara Dorota Kobiela dan Hugh Welchman mencoba mengungkap fakta lain dari hari-hari terakhir pelukis Starry Night itu.

Loving Vincent adalah film animasi yang beda dari yang lain. Film ini bisa disebut film pertama di dunia yang menggunakan teknik lukisan secara total. Sosok-sosok tokoh dalam lukisan ini banyak diimitasi dari lukisan-lukisan Van Gogh sendiri. Semua adegan, panorama, lanskap, dan obyek dalam film yang meraih Best Animated Feature Film European Film Awards ke-30 di Berlin, Jerman, ini juga disajikan dengan lukisan-lukisan yang persis meniru gaya melukis Van Gogh. Dilukis di atas kanvas dengan cat minyak oleh sekitar 125 pelukis dari seluruh dunia.

Secara cerita, film animasi ini juga lebih mengejutkan dibanding film-film tentang Vincent van Gogh yang telah ada. Dirilis tahun lalu, Loving Vincent menggunakan pendekatan berbeda. Cerita dimulai justru setelah Vincent van Gogh mati. Van Gogh juga tak menjadi tokoh utama, melainkan sebagai obyek yang menjadi motif penyelidikan tokoh utama dalam film: Armand Roulin.

Setahun setelah kematian Vincnt van Gogh pada 29 Juli 1890, Armand diminta ayahnya mengantarkan surat terakhir Vincent kepada adiknya, Theo van Gogh. Ayah Armand adalah tukang pos Joseph Roulin (Chris O’Dowd) yang selama bertahun-tahun biasa mengantarkan ratusan surat dari Vincent kepada Theo. Perjalanan Armand dan surat itu berakhir menjadi sebuah upaya pemecahan misteri kematian Van Gogh.

Tak semua cerita dalam film ini berlandaskan kisah nyata. Yang menarik adalah tokoh-tokohnya dikembangkan dari orang-orang yang pernah menjadi obyek dalam lukisan potret Van Gogh. Keluarga Roulin, misalnya, pernah dilukis oleh Van Gogh pada rentang 1888-1889 di Arles, Prancis. Van Gogh, yang berteman dekat dengan Joseph Roulin, mendapat izin untuk melukis Roulin; istrinya, Augustine; serta tiga anak mereka, Armand, Camille, dan Marcelle. Armand si sulung saat itu berusia 17 tahun.

Dalam film, baik Joseph maupun Armand muncul dalam wujud persis seperti saat dilukis oleh Van Gogh. Armand kemudian bertemu dengan banyak tokoh lain yang semuanya pernah muncul dalam lukisan Van Gogh. Beberapa sudah sangat dikenal, seperti Père Tanguy dan Paul Gachet. Namun, untuk sejumlah karakter lain, sama sekali tak ada informasi sejarah tentang mereka selain pernah menjadi obyek lukisan potret Van Gogh, seperti Girl in White atau The Zouave.

Sutradara Hugh Welchman dalam sebuah video di balik layar mengatakan sengaja memilih Armand sebagai tokoh utama karena sedikit sekali catatan sejarah tentangnya. "Karena tak banyak informasi tentangnya dalam sejarah, kami bisa mengembangkan karakternya sesuai dengan kebutuhan," ujar Welchman.

Armand diceritakan bertolak ke Paris, Prancis, untuk mengantar surat kepada Theo hanya untuk menemukan bahwa Theo ternyata juga telah berpulang, selang enam bulan saja setelah kematian abangnya. Père Tanguy (John Sessions), seorang pedagang peralatan seni di Montmartre, memberi saran kepada Armand untuk pergi ke Auvers-sur-Oise-desa tempat Van Gogh mati-dan menemui Dr Paul Gachet (Jerome Flynn), yang menangani penyakit Van Gogh pada akhir hidupnya. Di Auvers, Armand bertemu dan berbicara dengan banyak orang yang sempat bertemu terakhir kali dengan Van Gogh. Armand dalam film itu kemudian memiliki kecurigaan bahwa Van Gogh tak mati bunuh diri, melainkan ditembak oleh seorang remaja dengan gangguan mental bernama René Secrétan.

l l l

KEKUATAN utama Loving Vincent tak terletak pada upaya mengemukakan teori baru ini. Yang paling mengagumkan adalah sinematografinya. Seperti dikatakan di atas, puluhan lukisan yang dibuat Vincent van Gogh menjadi medium utama dalam film yang juga masuk nominasi Oscar pada awal tahun lalu itu.

Selain obyek lukisan potret yang menjadi karakter utama, sejumlah lukisan lanskap Van Gogh dijadikan latar cerita dalam film ini. Lukisan Café Terrace at Night, misalnya, menjadi latar tempat berbincang Armand dan Joseph. The Night Café menjadi tempat pertemuan Armand dengan Tanguy. Kemudian, lukisan Wheatfield with Crows menjadi tempat Van Gogh diceritakan menembak diri. Teknik inilah yang membuat Loving Vincent lebih segar dibanding film tentang Van Gogh lain yang pernah dibuat.

Dari segi cerita, Loving Vincent sebenarnya tak cukup dalam menggali sosok Van Gogh. Sosok Van Gogh hanya muncul sesekali dalam adegan kilas balik, yang ditandai dengan animasi monokrom atau dalam dialog para tokoh lain. Di sini, Van Gogh dikenang sebagai seniman pekerja keras bernasib malang yang hampir selesai berdamai dengan penyakit mentalnya. "Dia orang yang sangat baik dan selalu melukis di luar ruangan, bahkan saat hujan turun," begitu kata Adeline Ravoux, putri pemilik penginapan tempat Van Gogh tinggal terakhir kali.

Kegilaan Van Gogh, seperti saat memotong kuping sendiri lalu menghadiahkannya kepada seorang pelacur, sekilas saja disinggung. Begitu pula tentang hubungan dia dengan adiknya, Theo van Gogh. Kita lebih banyak disuguhi aksi detektif-detektifan Armand di Desa Auvers yang indah.

l l l

MEMBICARAKAN kehidupan Vincent van Gogh berarti membicarakan kemiskinan dan gangguan jiwanya. Van Gogh menghasilkan lebih dari 2.100 karya semasa hidup. Terdiri atas 860 lukisan cat minyak serta lebih dari 1.300 lukisan cat air, gambar, dan sketsa. Semua itu ia buat hanya dalam kurun 10 tahun. Tapi, sampai akhir hayatnya di umur 37 tahun, Van Gogh hanya berhasil menjual satu lukisan.

Tanda gangguan kejiwaan Van Gogh pertama kali muncul saat ia bertengkar dengan rekan sesama pelukis, Paul Gauguin. Van Gogh mengejar Gauguin dengan membawa silet dan berujung dengan ia memotong kupingnya sendiri. Potongan kuping itu kemudian dihadiahkan Van Gogh kepada Rachel, seorang pelacur. Sejak saat itu, berbagai gejala terus muncul hingga Van Gogh akhirnya menyetujui untuk dirawat di sebuah rumah peristirahatan di Saint-Rémy-de-Provence. Dua belas bulan di sana, Van Gogh menghasilkan lukisan The Starry Night, Garden of the Asylum, Cypresses, Olive Trees, Les Alpilles, potret para dokter, serta sejumlah lukisan hasil interpretasinya atas karya Rembrandt, Delacroix, dan Millet.

Salah satu film terawal tentang Van Gogh, yaitu Lust for Life (1956), menceritakan kondisi kejiwaannya ini. Film ini dibuat berdasarkan novel biografi yang ditulis Irving Stone pada 1934. Landasan tulisan Stone tak lain adalah surat-surat Van Gogh untuk Theo. Disutradarai Vincente Minnelli, film ini dimulai pada saat Van Gogh (Kirk Douglas) melamar sebagai misionaris, tapi petinggi gereja menilai dirinya tak layak. Van Gogh memohon agar ditempatkan di mana saja, dan akhirnya ia pun dikirim ke komunitas pertambangan miskin di Belgia.

Lust for Life adalah film indah yang membawa kita ke tempat-tempat yang menginspirasi Van Gogh membuat karya. Dari tambang kumuh di Belgia hingga Paris dan Arles di Prancis. Adegan di Paris dan Arles adalah yang paling riang sepanjang film karena menunjukkan bagaimana Van Gogh pertama kali menemukan warna dan teknik impresionis yang menjadi dasar karya-karya legendarisnya. Adegan membuka jendela pada pagi pertama Van Gogh di Arles adalah salah satu adegan paling menggetarkan dalam film ini. Kita juga melihat bagaimana lukisan 82,5 juta dolar Portrait of Dr Gachet dibuat di Auvers.

Sutradara Minnelli dengan dramatis menunjukkan naik-turunnya kondisi kesehatan mental Van Gogh. Dimulai saat munculnya hasrat kepada sepupu sendiri, upaya setengah matinya untuk berteman dengan Paul Gauguin, episode memutilasi telinga, dan seterusnya. Adegan memotong telinga dihadirkan dengan subtil, yakni Van Gogh berdiri di depan cermin, lalu memudar. Film ini meraih empat nominasi Oscar dan membawa pulang satu piala untuk Aktor Pendukung Terbaik. Tak lain untuk Anthony Quinn, yang dengan cemerlang memerankan Paul Gauguin.

Setelah Lust for Life, film tentang Van Gogh kembali dibuat Robert Altman pada 1990. Dalam film Vincent & Theo, sang adik mendapat sorotan yang semestinya. Memang, sosok terpenting dalam hidup Vincent van Gogh tak lain adalah Theo, yang mengemban tanggung jawab sebagai adik, menjual lukisan Van Gogh, sekaligus menyokong finansialnya. Kepada Theo, Van Gogh menumpahkan segala unek-unek lewat ratusan surat. Di surat balasannya, Theo sering menyelipkan uang untuk Van Gogh.

Vincent & Theo tak mencoba mendiagnosis gangguan jiwa Van Gogh ataupun mengungkit motif kematiannya. Film ini mengalir dengan intim serta berfokus menggambarkan hubungan Van Gogh (Tim Roth) dengan Theo (Paul Rhys), yang memungkinkan Van Gogh terus membuat karya. Di sini, kita melihat nasib mengenaskan Van Gogh yang kurus kering tak berdaya, kecuali karena pertolongan adiknya, tapi ingin terus melukis.

Ia tak malu terang-terangan meminta duit kepada Theo untuk membeli kanvas, cat minyak, serta paket lukisan dari Jepang untuk dipelajari. Dan Theo, di tengah segala masalahnya sendiri, sebenarnya juga terobsesi mendukung abangnya berkarya. Adegan mereka tertawa bersama karena candaan yang hanya dimengerti oleh mereka berdua setelah beradu argumen dengan sengit begitu manis dan hangat.

Film ini memuat hampir semua detail kehidupan Van Gogh. Dari masa kecilnya, tragedi kuping, hubungan dengan Theo dan istrinya, interaksi dengan Gauguin, hingga episode menembak diri di tengah ladang gandum lalu mati dua hari setelahnya di atas ranjangnya yang sempit. Altman mengkonstruksi semua itu secara runut tanpa berusaha memasukkan penilaian ataupun kesimpulan.

Tapi film Lust for Life ataupun Vincent & Theo tak menyentuh teka-teki bunuh diri Van Gogh. Dan inilah yang dieksplor dalam film animasi Loving Vincent melalui investigasi tokoh bernama Armand. Dugaan bahwa Vincent van Gogh dibunuh sesungguhnya bukan teori baru. Pada 2011, Steven Naifeh dan Gregory White menulis buku biografi Van Gogh: The Life. Dalam buku inilah pertama kali tercetus kemungkinan Van Gogh ditembak oleh orang lain.

Teori ini disimpulkan dari hasil analisis surat-surat terakhir Van Gogh yang menggambarkan kondisi mental si pelukis yang makin baik sehingga tak mungkin ia mengakhiri hidupnya sendiri. Kendati bersandar pada teori ini, Loving Vincent tak sampai pada kesimpulan bahwa Van Gogh memang dibunuh. Armand dalam film itu memang menemukan fakta baru yang membuat kita bertanya-tanya. Toh, akhir cerita tetap dibiarkan terbuka.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus