Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Daun-daun Gugur dari Pohon Ingatan

Anusapati berkarya dengan ingatan akan pohon-pohon yang lenyap. Wujud sikap "individualisme etis"-nya.

1 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Daun-daun Gugur dari Pohon Ingatan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG pamer terasa benar lengang. Hanya ada "dedaunan" berserak di lantai, yang seakan-akan terbawa angin entah dari mana. Belasan batang pohon tergantung berjejer di langit-langit, terbang membubung bersama akar-akarnya di atas kepala kita. "Kebanyakan orang yang datang ke pameran ini bertanya, ’kok, cuma begini?’," ujar penjaga pameran. Memang, di ruangan itu hanya tersaji secuil representasi bentang alam yang terasa hening: pepohonan, beberapa lembar "daun" yang tersebar di lantai, serta dua buah gambar bersahaja tentang siluet pohon yang dipajang berjauhan.

Pameran yang "kok, cuma begini" itu adalah "Plantscape" karya Anusapati yang digelar di ROH Projects, Jakarta, pada 24 Maret-14 April 2018. Hampir semua karya yang dipamerkan dibuat pada tahun ini, kecuali dua gambar di atas kertas yang dikerjakan dengan pensil arang. "Karya" yang membutuhkan tempat paling luas dan khususlangit-langit galeri tadiadalah 15 batang pohon sungguhan. Tanaman keras itu jenis cendana India yang dibeli Anusapati dari pemilik kebun yang tergesa menjual tanahnya tak jauh dari studio kerjanya di Yogyakarta. "Pohon-pohon itu sudah tidak berguna. Hanya untuk kayu bakar," ujar Anusapati. Setelah tercerai dari tanah tempatnya tumbuh yang jauh, pohon-pohon itu kini merayakan kematiannya yang kedua di ruang pameran.

Sejak 1980-an, kita mengenal istilah "seni rupa lingkungan" di dunia seni rupa. Seni rupa lingkungan adalah wacana atau kesadaran baru di kalangan seniman untuk keluar dari keterpencilan seni. Seni dapat memperoleh kembali perannya atau keutuhan maknanya dengan mengaitkan diri dengan alam, berada di tengah alam bebas, atau peduli dengan alam. Semacam dorongan atau imperatif ekologis mulai terasa mendasari berbagai praktik seni rupa, bahkan sebelum istilah itu kerap digunakan para seniman.

Pada 1974, misalnya, Bonyong Munni Ardhi menggelar lembaran plastik di sepanjang Pantai Parangtritis, Yogyakarta, dan menyatakan sikap estetikanya sebagai bermain-main dengan "konsep alam terbuka". F.X. Harsono membuat pagar tripleks sepanjang satu kilometer di lokasi yang sama sambil mencatatkan pesan kehancuran ribuan hektare hutan tropis di Indonesia pada 1982. Gendut Riyanto menciptakan penanda peristiwa pengusiran burung-burung di sebuah bentang persawahan di Tegalrejo, Yogyakarta. Pada 1980, agenda lingkungan hidup menjadi perhatian pemerintah, dan terbentuklah lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Pada 1996-1997, perupa Tisna Sanjaya membuat aksi menanam dan membagi-bagikan ratusan benih pohon jengkol untuk menghijaukan beberapa kota di Indonesia, yang dimulai pada tindakan protesnya atas pembangunan jalan yang melenyapkan keteduhan jalur hijau di Bandung. Itulah yang disebut karya "instalasi tumbuh".

Dibandingkan dengan praktik seni rupa lingkungan umumnya, tak tampak sikap provokatif pada pameran "Plantscape" Anusapati. Kecuali "memindahkan" belasan pohon cendana India betulan ke dalam ruang pameran. Karya lainnya adalah cetakan-cetakan daun dan potongan cecabang pohon dengan menggunakan teknik electroplating. Teknik penyepuhan dengan berbagai jenis logam ini mampu menduplikasi bentuk-bentuk dengan tekstur yang halus menyerupai wujud aslinya. Di bawah barisan pohon yang melesat ke langit-langit di ruang pameran itu, kita mesti merunduk dan menikmati sensasi cetakan daun-daun mati dan gugur yang menipu mata kita. Inilah representasi puitis pada bentang kehidupan alam yang disajikan Anusapati (Plantscape, 2018).

Permukaan yang tipis, terkoyak, robek, kering, busuk, dan sedikit melengkung menghadirkan peristiwa dedaunan gugur di suatu bentang alam bersahaja yang entah di mana. Dua gambar di atas kertas yang berdiri memanjang pada dua dinding luas yang menampilkan siluet tajam pepohonan adalah sejenis ilustrasi lain mengenai ruang atau jarak pandang yang menjauh. Itulah gambar yang masing-masing bertajuk Seri Kebon Karet #4 (2018, 244 x 122 sentimeter) dan Shadow #10 (2012, 300 x 150 sentimeter).

Bentang pemandangan secuil pada "Plantscape" menghadirkan pengalaman baru: kita berada di ambang kehidupan alam yang mencari lahan bagi pertumbuhan atau hidup. Akar-akar pohon cendana itu kini menjulang sama tinggi dengan hutan menara kaca di Jakarta yang tampak dari dalam galeri. Siluet keteduhan pepohonan yang menggoda digambar dengan aranglambang kematianhanya berupa bayang-bayang keteduhan di kejauhan, mirip ilusi.

Maka, kalau bukan sejenis "seni rupa lingkungan" yang mendorong kesadaran kolektif, melakukan provokasi di tengah alam atau ruang publik, apakah yang disodorkan Anusapati?

Grace Samboh, yang menulis teks di brosur membedakan antara daya ingatan (memories) dan kenang-kenangan (remembrance) atau semacam nostalgia. Kekuatan ingatanlah yang lebih bermakna dan yang pertama-tama menggugah Anusapatilahir di Solo pada 1957kembali pada beragam jenis pohon di masa lalunya yang kerap dijumpai di kebun teman-teman masa kecilnya (dari kecapi, jengkol, jambu monyet, sampai durian). Daya ingatan yang bersifat personal ini membawa Anusapati pada berbagai kemungkinan tafsir tentang alam di masa kini, lebih dari sekadar fakta kenangan mengenai jenis pohon langka. Kenangan hanya menggugah lagi tempat di masa lalu yang kini tiada.

Kekuatan ingatan menuntun Anusapatilulusan Pratt Institute’s School of Art and Design, Amerika Serikatmenyaksikan berbagai peristiwa baru, termasuk penebangan pohon-pohon cendana yang sudah dianggap "tidak berguna". Personalitas ingatan ini tampaknya membedakan Anusapati dari dorongan kolektif "seni rupa lingkungan" dengan apa yang mungkin bisa kita sebut dengan "individualisme etis". Sikap yang belakangan ini berupaya mencari ketepatan ungkapan yang cukup bernalar antara apa yang dirasakan seniman dan bentuk-bentuk ekspresinya.

Di ruangan yang lain, kita menyaksikan beberapa "patung" kenangan dari pepohonan masa lalu si seniman (As I Can Recall, 2018). Cecabang pohon, berdaun, berbunga, dan berbuah disajikan di dalam kotak-kotak kaca seperti di dalam museum. Agaknya inilah bentuk kenang-kenangan, representasi yang sudah lama dibayangkan Anusapati sejak ia menemukan wahana kayu untuk karya-karya patungnya pada 1990-an. "Patung-patung" hasil sepuhan logam yang dihadirkan rebah di dalam kotak kaca ini mengekalkan pengalamannya tentang pepohonan dan kebun-kebun, sebanyak atau seluas apa pun, yang perlahan-lahan lenyap digantikan oleh jalanan, bangunan, kampung, atau kota.

Barangkali kebetulan, boleh jadi juga tidak. Representasi ingatan akan bentang alam bersahaja pada pameran "Plantscape" dihadirkan ketika ratusan pohon di jalur hijau sepanjang ruas Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, dicabut untuk penataan trotoar yang baru. Dorongan etis-personal pada karya Anusapati membuat kita merenungkan kembali dengan lebih khidmat dedaunan gugur yang "kok, cuma begitu" dalam pameran ini.

Hendro Wiyanto, Penulis Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus