Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bogor – Juru Bicara Komite Warga Sentul City (KWSC) Deni Erliana mengatakan adanya biaya pemeliharaan dan perbaikan lingkungan (BPPL) di kawasan Sentul City seperti tinggal dalam sebuah apartemen, meski status pembeliannya adalah rumah milik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kita hidup di rumah sendiri, di negara yang merdeka, tapi kita dijajah oleh korporasi,” kata Deni dikonfirmasi Tempo, Sabtu 6 Juli 2019. Menurut Deni, PT Sentul City melalui anak perusahaannya, PT Sukaputra Graha Cemerlang (SGC), menarik BPPL kepada setiap warga dengan perhitungan Rp 2000 per meter persegi dari total luas tanah yang dimiliki.
“Belum lagi ditambah PPN dan denda jika telat pembayaran yang mencapai 20 persen. Tapi yang dibersihkan (oleh SGC) kan hanya jalan depan rumah kita, dalam pekarangan dan rumah kita kan kita bersihkan sendiri,” kata Deni.
Rekan Deni, Gembong Triatmo Darsono, mengatakan peruntukan item yang menggunakan iuran BPPL oleh pihak Sentul City dianggap tidak logis. “Misalnya pemeliharaan jalan utama. Itu kan sudah untuk komersial, rekreasi dan proyek mereka, masak dibebankan ke kita,” kata Gembong ditemui Tempo di rumahnya.
Gembong mengaku tidak terlalu mempermasalahkan soal nominal BPPL, namun dirinya juga meminta agar hak masyarakat yang tinggal di Sentul City dapat dipenuhi sesuai dengan poin pemasaran.
“Contoh lainnya, Sentul City bilang air yang mengalir adalah air yang siap minum, ternyata kenyataannya airnya keruh, dan bau kaporit. Masak kayak gitu layak minum,” ucap Gembong.
Sebelumnya, Juru Bicara PT. Sentul City, Alfian Munjani, mengatakan sejak awal pengembangan kawasan Sentul City menggunakan konsep township management. “Hunian di Sentul City ini kan dari awal ingin mengembangkan kota mandiri dengan konsep township management, namun ada sejumlah warga yang mengatasnamakan Komite Warga Sentul City (KWSC) menggugat Sentul City terkait konsep itu,” kata Alfian, kepada Tempo Sabtu 15 Juni 2019.
Deni mengatakan, tidak masalah dengan konsep kota mandiri tersebut sepanjang ada dasar hukumnya. “Persoalannya kan kota mandiri atau township managament itu belum ada UU dan dasar hukumnya. Sebagai warga negara yang baik kita akan taat dan patuh pada UU dan peraturan yang memang sudah di terbitkan oleh pemerintah, jangan semaunya sendiri,” kata Deni.
Hingga kini PT. Sentul City belum kunjung melaksanakan putusan Mahkamah Agung (MA) bernomor 3415 K/Pdt/2018 terkait pengelolaan secara mandiri pemeliharaan dan perbaikan lingkungan. Dan malah mengeluarkan Circular bernomor : 0021/CS-SGC/VI/19 tertanggal 28 Juni 2019.
Dalam circular tersebut disebutkan bahwa PT. SGC belum menerima salinan resmi putusan kasasi tersebut dan tetap akan mengeluarkan tagihan atas pelayanan bulan Juni 2019 dengan pertimbangan akan melayani warga yang tetap berkomitmen dan secara sukarela tidak mengikatkan diri terhadap putusan kasasi tersebut.
Padahal, MA telah memutuskan PT Sentul City dan PT Sukaputra Graha Cemerlang (SGC) melakukan perbuatan melawan hukum dan harus membiayai pemeliharaan prasarana, sarana dan utilitas di kawasan Sentul City, sampai ada penyerahan ke Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, PT Sentul City dan PT SGC tidak berhak untuk menarik biaya pemeliharaan dan perbaikan lingkungan (BPPL) dari warga karena bertentangan dengan ketentuan hukum.