Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bicara Pun Tak Lepas

Orang Rohingya Dan Muslim Dibungkam. Bicara Dengan Orang Asing Bisa Membuat Mereka Berurusan Dengan Aparat.

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MESKI pagi baru pukul 08.15, panas sudah menyengat di tubuh kami yang baru memasuki kawasan Rohingya dan warga muslim lainnya di pinggiran Sittwe (Sittway). Sadak Hosain membuka percakapan. "Semalam polisi mendatangiku," katanya. Menurut warga Desa Dapaing ini, sekitar 20 menit polisi itu bertanya-tanya tentang orang asing yang jadi tamunya. Siang harinya, Sadak bersama Tempo berkeliling ke berbagai sudut kawasan yang penuh dengan kamp pengungsi lokal (internally displaced persons), baik yang terdaftar maupun tidak.

"Dia bertanya siapa kamu, untuk apa kamu ke sini, dan lain-lain," kata pemuda 20 tahun itu, Sabtu dua pekan lalu. Dia menjawab sembarangan.

Tak hanya kebebasan bergerak atau bepergian yang dicerabut dari masyarakat Rohingya dan muslim di kawasan Rakhine, terutama di Sittwe. Berbicara pun tak boleh sembarangan, terutama kepada orang asing. Sadak pernah terpaksa bersembunyi beberapa hari karena dia dicari-cari aparat keamanan setelah berbicara dengan delegasi masyarakat internasional.

Amin Sarif, 18 tahun, juga menyatakan hal serupa. "Kami tidak boleh bicara kalau ada delegasi datang," kata warga kamp pengungsi Baw Du Pha 2 yang kini bekerja di sebuah organisasi kemanusiaan yang membantu para pengungsi Rohingnya dan muslim lainnya ini.

Pengekangan juga berlaku untuk kumpul-kumpul. Tentu bukan kumpul di warung yang bisa ditemukan di pinggiran jalan tak peduli waktu-kecuali malam. Kumpul-kumpul yang dimaksud ini seperti yang dilakukan tokoh komunitas Rohingya dan mantan politikus Partai Demokratik Nasional untuk Hak Asasi Manusia, Kyaw Hla Aung, pada April dua tahun lalu. Saat itu ia diminta dokter UNICEF mengumpulkan orang di masjid untuk pemberian vaksin polio. Rupanya, informan memberi tahu polisi bahwa dia mengorganisasi warga untuk melempari kantor imigrasi dengan batu. "Sehingga mereka menjadikannya kasus bagi saya," katanya.

Bukan lagi sekadar ditanya, pada Juni 2013 ia harus menjalani hukuman penjara satu setengah tahun. Karena ada ampunan dari pemerintah, ia hanya menjalani hukuman hingga November.

Menurut Kyaw Hla Maung, ada banyak informan di kawasan muslim. "Karena itu, keluarga saya selalu khawatir bila ada orang asing datang," katanya. Padahal begitu banyak jurnalis asing atau orang asing lain yang menemuinya. Tapi pria 75 tahun ini tak peduli meski polisi kadang mendatanginya. Ia tetap selalu menerima siapa pun yang ingin menemuinya di kediamannya di Desa Thet Kae Pyin, tempat dia dan keluarganya menempati rumah panggung bambu di tanah pinjaman milik seorang juragan penggilingan beras. Di rumah ini, bila kita menginjaknya, bunyi krengket-krengket kencang terdengar.

Tokoh Rohingya lain yang juga selalu menjadi incaran jurnalis dan masyarakat internasional adalah Aung Win. Ia tinggal di Aung Mingalar, "kantong" muslim di tengah Kota Sittwe, seperti ghetto bagi masyarakat Rohingya. Untuk menemui orang-orang asing itu, ia kerap menggunakan jam belanja di pasar "kawasan muslim" yang memang dijadwalkan setiap hari selama satu-dua jam dengan pengawalan polisi.

Orang-orang Rohingya yang tak tinggal di Rakhine pun menjadi korban upaya pembungkaman tak langsung ini. Misalnya Abu Tahay, tokoh Rohingya di Yangon yang menjabat Ketua Partai Uni Pembangunan Nasional. Pada pemilihan umum 2010, kemenangannya dibatalkan komisi pemilu gara-gara ia dituduh mengecam pemerintah dan partai berkuasa dalam isu Rohingya. Padahal, "Saya hanya berbicara tentang pembatasan yang diberlakukan bagi masyarakat Rohingya," katanya.

Memang banyak yang bernyali besar, nekat. "Saya memutuskan berbuat untuk masyarakat di sini," kata Aung Win. Sadak malah lebih keras. "Kalaupun harus mati, saya yakin mati syahid."

Namun bukan hanya warga Rohingya atau muslim yang "bermasalah" bila berbicara atau membantu orang asing. Beberapa orang Rakhine yang kebetulan bersama Tempo pasti langsung berkata, "Sebaiknya Anda buka jilbab." Penutupnya: "Mungkin Anda tak mendapat masalah, tapi kami yang akan mendapat masalah."

Purwani Diyah Prabandari (sittwe, Myanmar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus