Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nama Pun Masalah Politik

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 2012, tak lama setelah konflik komunal berdarah di Rakhine antara masyarakat muslim, terutama Rohingya, dan nonmuslim, terutama Buddha Rakhine, Ko Ko Hlaing masih menganggap enteng masalah di negara bagian termiskin kedua di Myanmar itu. Saat berbicara dengan kawannya, Kepala Penasihat Politik Kantor Presiden Republik Uni Myanmar yang kini berusia 59 tahun ini menganggapnya "hanya seperti sepotong kue", dibandingkan dengan banyaknya masalah lain di Myanmar.

Mantan tentara ini salah perhitungan. Tiga tahun kemudian, dampak konflik yang menyebabkan tewasnya 192 orang dan menyebabkan lebih dari 140 ribu orang mengungsi itu-kebanyakan muslim Rohingya-bukannya hilang. Masalah "kecil" itu kini justru menempatkan Myanmar kembali menjadi target tekanan masyarakat internasional, termasuk dari Thailand, Malaysia, dan Indonesia, yang ikut ketempuhan banjir penumpang kapal gelap yang kebanyakan warga Rohingya. Di kantornya yang tenang di kawasan Bahan, Yangon, Selasa pekan lalu, Ko Ko Hlaing, yang saat itu mengenakan pakaian tradisional sarung dan hem, menjelaskan kepada Purwani Diyah Prabandari dari Tempo berbagai isu mengenai masalah Rohingya.

Setelah tekanan keras masyarakat internasional, terutama dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand, apa yang telah dilakukan pemerintah Myanmar?

Yang pasti, kami berupaya menyelesaikan masalah ini. Seperti diminta negara-negara yang terkena dampak dari orang-orang ini bahwa kami harus menangani akar masalahnya. Tapi akar masalah ini sangat rumit.

Rumit bagaimana?

Sebenarnya ini karena masalah kemiskinan yang sangat akut. Di Myanmar, masalahnya lebih rumit: kemiskinan dan politik. Kami tetap mencoba menyelesaikan masalah ini semampu kami. Namun pemerintah tak bisa menyelesaikannya sendiri dalam waktu cepat.

Bagaimana rencana penyelesaiannya?

Kami memiliki rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Untuk jangka pendek, sekarang ini ada sekitar 100 ribu orang yang tinggal di kamp-kamp pengungsi (internally displaced persons). Kami perlu membantu mereka. Kemudian, kami akan menyelesaikan konflik komunal di Rakhine. Pada waktu bersamaan kami mempertimbangkan penempatan (resettlement) dan reintegrasi orang-orang di kamp tersebut. Ini sangat sensitif, terutama pada masa yang cukup politis sekarang ini.

Kenapa tak dilakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok masyarakat itu dulu?

Kami tengah merencanakannya, tapi perlu waktu. Juga situasi sekarang sangat sensitif dengan merebaknya nasionalisme masyarakat Buddha.

Mengapa hal itu terjadi, bahkan sekarang masalahnya berkembang tak lagi sebatas masalah Rohingya, tapi terhadap muslim keseluruhan?

Ada dua hal. Pertama, meningkatnya ekstremisme Islam. Saat pemerintah Taliban menghancurkan patung Buddha di Afganistan pada 2001, itu cetusan. Masyarakat Buddha di seluruh dunia merasakan sebuah kehilangan. Myanmar adalah negeri dengan populasi biksu Buddha sangat besar, sekitar 500 ribu dari total 51 juta penduduk. Mereka tak tahan melihat perlakuan menyedihkan terhadap tempat suci tersebut. Itulah kenapa masyarakat Buddha memiliki sentimen negatif terhadap muslim pada umumnya.

Kedua, selama kami masih di bawah rezim militer, rakyat harus tunduk pada perintah militer. Meski terjadi konflik sporadis, kami masih bisa mengendalikannya. Tapi, setelah pemerintah baru, pintu politik terbuka. Rakyat bebas bicara. Kebencian pun tumbuh semakin subur. Hingga kemudian terjadi insiden pada 2012 di Rakhine.

Tapi sebelumnya juga sudah ada kebencian atau ketegangan di antara kedua komunitas.

Sejarah kebencian di antara kedua komunitas sudah panjang. Bahkan sebelum perang dunia. Pada masa Perang Dunia II, komunitas muslim pro-Inggris melawan Jepang, yang didukung Pasukan Kemerdekaan Burma, tempat banyak orang Buddha Rakhine bergabung. Kemudian pada masa pembentukan Pakistan, masyarakat muslim di Buthidaung dan Maungdaw ingin lepas dari Burma dan bergabung dengan Pakistan Timur (Bangladesh), dengan membentuk kelompok mujahidin. Itulah kenapa warga Rakhine alergi dengan kelompok tersebut. Dari waktu ke waktu, dua masyarakat mengalami ketegangan.

Tapi bagaimana pemerintah tetap membiarkan orang Rohingya seperti terpenjara?

Itu memang tantangan terbesar kami. Namun kalau kami menempatkan mereka ke tanah mereka dulu, sebelum mengungsi di kamp, itu bisa jadi akan mengundang pertumpahan darah lagi. Tanah mereka berada di kawasan yang bertetanggaan dengan orang-orang Rakhine non-muslim. Masyarakat internasional juga telah mendesak kami untuk tak membuat segregasi. Tapi integrasi juga berbahaya untuk saat ini.

Kenapa tidak pelan-pelan melakukan rekonsiliasi, kemudian mengembalikan mereka ke tanah masing-masing?

Kembali ke masalah kepercayaan di antara dua komunitas. Menurut saya, semua akan normal lagi karena mereka saling bergantung dalam urusan ekonomi. Niat kami adalah menjembatani kedua komunitas tersebut. Sebelum itu, kami perlu mengambil tindakan, seperti proses verifikasi. Pada saat yang sama, pembangunan dilakukan.

Verifikasi untuk kewarganegaraan warga Rohingya?

Sebelumnya, banyak orang di Rakhine memiliki kartu identitas sementara yang disebut kartu putih. Sekarang pemerintah telah mematikannya. Kami sedang dalam proses verifikasi untuk para pemegang kartu putih. Kalau memenuhi syarat menjadi warga negara sesuai dengan undang-undang imigrasi tahun 1982, mereka akan mendapat kartu kewarganegaraan penuh.

Yakin mereka bisa mendapatkan kewarganegaraan, karena orang Rohingya tak percaya?

Menurut undang-undang imigrasi atau kewarganegaraan tahun 1982, kami menerima mereka yang tinggal di wilayah kami sebelum kemerdekaan pada 1940-an. Kami memberikan pilihan, kembali ke tanah leluhur atau tetap di sini. Kami membuka kesempatan untuk mendapatkan kewarganegaraan. Menurut saya, mereka hanya tak percaya bahwa bila mereka menerima (status) etnis Bengali, mereka tak akan dikirim ke Bangladesh. Padahal tidak demikian.

Masalahnya tadi, tidak percaya kepada pemerintah....

Sebenarnya ini bukan hanya masalah orang-orang itu dengan pemerintah. Jujur, di negara kami, tingkat kepercayaan masyarakatnya terbilang rendah, bahkan antara warga mayoritas dan pemerintah. Kepercayaan antarmasyarakat juga demikian. Kami perlu membangun kepercayaan. Tapi, seperti Anda ketahui, politik sangat sensitif dan rumit, sedangkan tahun ini adalah tahun pemilu.

Tapi pemerintah melarang mencantumkan Rohingya sebagai identitas etnis.

Sebenarnya, di negara kami, sebuah nama adalah masalah politik.

Maksudnya?

Setiap orang ingin memiliki identitas. Ada sejarah yang panjang dari nama tersebut. Sikap resmi pemerintah dan penduduk pribumi Myanmar yakin bahwa tak ada nama etnis Rohingya dalam sejarah kami. Sensus pada masa Inggris hanya menunjukkan etnis Chittagong. Nama Rohingya muncul pada 1960-an.

Tapi komunitas Rohingya yakin leluhur mereka sudah berabad-abad ada di Myanmar, terutama Rakhine.

Ada sedikit muslim dari Benggala pada masa raja Rakhine. Saat itu hubungan kuat, orang gampang menyeberang perbatasan. Juga pada masa penjajahan Inggris, ada penyeberangan massal. Jadi penjajah membutuhkan buruh untuk mengembangkan lahan, membangun infrastruktur, juga untuk pertanian. Banyak orang Bangladesh (Benggala timur) datang ke Rakhine.

Jadi etnis Rohingya tetap tak diterima?

Nama itu masih jadi masalah.

Rencana solusinya?

Penyelesaian yang komprehensif tadi, terutama di Rakhine. Sekarang kami juga sedang mempelajari pembangunan zona ekonomi khusus di Kyaukphyu. Juga ada rencana membangun pelabuhan laut dalam dan pembangunan pipa ke Cina. Kami juga bekerja sama dengan India, mengembangkan proyek multimodel transportasi dan logistik. Itu akan membuka lapangan kerja serta membantu pembangunan ekonomi dan sosial Rakhine.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus