Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penjara Rohingya Bertepi Laut

Masyarakat Rohingya di Sittwe tercerabut dari tanahnya. Mereka terkungkung di sebuah sudut kota, tanpa kebebasan bergerak. Tanah isolasi itu bak penjara raksasa bagi mereka. Laporan wartawan Tempo dari ibu kota Negara Bagian Rakhine.

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA tempat istirahat orang-orang Rohingya dan Bangladesh di Kuala Langsa, Aceh Timur, agak sepi pada Selasa malam dua pekan lalu. Hanya beberapa anak muda terlihat rebahan. Beberapa orang mengobrol santai. Sebagian besar sedang sembahyang isya. "Assalamualaikum," Zaidul Haq menyapa.

Pria 25 tahun ini mengaku meninggalkan istrinya, Mominah Begam, 23 tahun, dan tiga anaknya-Nur Habibi, 7 tahun, Ronjambibi, 5 tahun, dan Ainamul Haq, 1 tahun 8 bulan-di kamp pengungsi (internally displaced persons) di pinggiran Sittwe, ibu kota Negara Bagian Rakhine. Negara bagian ini dulu dikenal dengan nama Arakan dan merupakan kawasan dengan populasi Rohingya paling tinggi di Myanmar, yang totalnya mencapai sekitar 1,2 juta orang. Zaidul dan adiknya, Manu, 18 tahun, berniat ke Malaysia. Namun di Kuala Langsa itulah mereka terdampar.

Zaidul, salah satu dari 257 pengungsi asal Myanmar di Kuala Langsa, beberapa waktu kemudian mengisahkan petualangannya berbulan mengapung dari Teluk Benggala dan Laut Andaman hingga terdampar di Aceh. Ia bersyukur bisa tiba di Aceh dengan selamat karena kondisi di kapal mengerikan. Mereka kelaparan dan kehausan. Terkadang terjadi perkelahian antara orang Rohingya dan orang Bangladesh berebut sisa air minum saat sudah di Selat Malaka. Korban pun berjatuhan.

Zaidul bepergian bersama adiknya dan banyak tetangganya dari Sittwe. Di antaranya Rafiqa, 8 tahun, yang terpisah dari kakaknya, Jakar Husain, 13 tahun, saat mereka berlompatan ke laut ketika kapal nelayan datang ke kapal mereka.

"Saya berharap mendapatkan kehidupan lebih baik ketimbang hidup di kamp pengungsi di sana bertahun-tahun, dengan hanya bisa menikmati beras bantuan," Zaidul menjelaskan alasannya. "Lagi pula untuk beraktivitas di sana serba sempit."

****

PANAS matahari begitu menyengat di kawasan muslim-Rohingya dan Kaman-di pinggiran Sittwe (warga setempat menyebutnya Sittway), Jumat dua pekan lalu. Jam menunjukkan pukul 10.30. Seorang pria bersarung dan berkaus cokelat menyalami kami yang tengah mengobrol di halaman rumah panggung M. Rofiq di Latoma Roa, kawasan Rohingya. "Saya ayah Zaidul Haq," kata Abdul Syukur, yang tinggal di salah satu kamp pengungsi Ohn Taw Gyi. "Baru Rabu lalu kami berbicara," ujar pria 50 tahun ini.

Pada pukul 6 sore, ada missed call di telepon selulernya. Begitu tahu, dia segera menuju kafe Internet di Thae Chaung. "Kami bicara lewat Skype." Hal pertama yang dikisahkan anaknya: "Papa, saya baru saja terbebaskan dari kematian. Tidak ada baju di badan saya. Orang-orang menyelamatkan saya, juga membantu saya." Ia pun gembira anak-anaknya selamat, meski terdampar di Indonesia, bukan di Malaysia.

Saat Abdul Syukur berbicara, seorang bocah perempuan berbaju kembang-kembang ungu dan memakai jepit rambut datang. "Ini anak sulung Zaidul, Nur Habibi," Abdul Syukur memperkenalkan bocah 7 tahun itu. Begitu ditunjukkan foto ayahnya dari telepon seluler, Nur Habibi langsung mengusap air mata, menangis. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Rangkulan untuk menenangkannya justru membuatnya lebih sesenggukan.

Istri dan dua anak Zaidul lainnya belakangan menyusul datang. "Saya belum pernah berbicara dengannya," ujar Mominah. Menurut dia, juga Abdul Syukur, Zaidul mengatakan tak tahan lagi tinggal di Rakhine. "Tidak ada kerja, susah," ucapnya.

Warga lain mulai berdatangan. Mereka ingin mengecek keluarga mereka lewat foto yang ada di telepon seluler Tempo. Belakangan ikut nimbrung Hashina. "Anak laki-laki saya belum ketahuan di mana," kata janda 35 tahun ini. Ia menyebut nama anaknya: Jakar Husain, yang juga dikenal sebagai Jangkir Husain.

Bersama Jangkir, Rafiqa, anak perempuannya, juga ikut kapal. Keduanya mau menyusul kakak mereka yang sudah di Malaysia sejak tiga tahun lalu. Menurut kabar yang dia dengar, ketika kapal nelayan Aceh mendekat, orang-orang di kapal berlompatan ke laut. "Sejak itu, Rafiqa tidak bertemu dengan dia," ujarnya sambil mengusap air mata yang mulai mengalir.

Nasib buruk juga dialami Arafah dan anak-anaknya. Bukannya mendarat di Malaysia, mereka harus kembali ke Sittwe setelah terombang-ambing di laut lebih dari sebulan. Kapal yang membawa mereka dan ratusan orang lain tak berani memasuki wilayah Thailand, Malaysia, ataupun Indonesia saat ketiga negara ini menyatakan tak akan menerima lagi kapal ilegal membanjiri wilayahnya pertengahan bulan lalu.

Arafah terpaksa kembali ke desanya, tanpa memiliki apa-apa lagi kecuali baju di tubuh. "Saya menjual rumah untuk bisa pergi," kata janda beranak lima ini. Atas kebaikan tetangga, dia dan anak-anaknya menempati rumah panggung bambu yang satu sisinya terbuka. "Saya tak punya harapan di sini," ujarnya menjelaskan alasannya pergi.

Kebanyakan keluarga yang ditemui Tempo di halaman rumah Rofiq menyatakan alasan serupa. "Kami di sini tidak bisa apa-apa. Seperti penjara. Tidak ada masa depan."

****

KATA-kata yang disampaikan banyak orang tersebut tak dibesar-besarkan. Warga muslim yang mayoritas Rohingya-karena juga ada muslim Kaman-memang seperti hidup di penjara raksasa di Rakhine, terutama di Sittwe. Sebagian besar muslim terkungkung di kawasan timur, yang di satu sisi dijaga aparat, sementara di sisi lain adalah Teluk Benggala. Sedangkan sekitar 4.200 orang "terpenjara" di Aung Ming Lar, sebuah kantong seluas 3 kilometer persegi di tengah Kota Sittwe.

"Kita memasuki daerah terlarang," kata seorang warga Rakhine saat Tempo mulai masuk ke kawasan muslim, 30-45 menit berkendaraan dari tengah Kota Sittwe. Menyusuri jalan utama kawasan ini, sebuah kamp di bibir pantai, dari ujung pos jaga hingga ujung satunya hanya perlu waktu 45 menit-1 jam. Inilah "rumah" bagi sekitar 100 ribu pengungsi lokal Rohingya dan sedikit orang Kaman.

Di sela desa dan kamp pengungsi terkadang bisa ditemukan bangunan tembok di lahan luas, yang merupakan kantor polisi atau militer. Juga ada rumah 1.000-an warga Buddha Rakhine dan kuil tempat ibadah mereka. "Kami sebenarnya bisa hidup berdampingan, kan," ujar Sadak Hosain, warga Desa Dapaing yang juga tinggal di kawasan muslim.

Sebelum konflik komunal meledak pada Juni 2012, Sadak serta banyak orang Rohingya dan Kaman tinggal bersisian dengan orang Rakhine Buddha dan etnis lain di tengah Kota Sittwe. Meski ketegangan telah ada, juga berlaku diskriminasi terhadap warga Rohingya yang tak diakui keetnisannya, mereka masih bisa hidup berdampingan. Total muslim-Rohingya dan Kaman-yang tinggal di kota mencapai 75 ribu orang.

Kerusuhan rasial, buntut dari insiden pemerkosaan dan pembunuhan perempuan Rakhine yang dituduhkan dilakukan pemuda Rohingya, membuat orang Rohingya dan Kaman terusir dari tanah-tanah mereka. Total lebih dari 140 ribu orang mengungsi akibat kerusuhan itu-kebanyakan dari mereka adalah orang Rohingya. Sekitar 100 ribu muslim berdesak-desakan di Sittwe barat, yang menjadi zona isolasi. Sisanya tersebar di berbagai daerah lain di Rakhine.

Di kawasan isolasi Sittwe, para pengungsi bertebaran di kamp yang terdaftar ataupun tak terdaftar, juga di kebun-kebun warga desa. Keluarga Sadak, yang dulunya pebisnis dan tinggal di Nazih, beruntung bisa tinggal di sebuah rumah meski sederhana di Desa Dapaing. Nazih sendiri kini penuh dengan gubuk-gubuk kecil yang oleh seorang Rakhine dikatakan dihuni para "gipsi Rakhine".

Di "kawasan isolasi" ini, orang Rohingya dan Kaman terbelenggu kakinya, tak bebas bepergian. Mereka hanya bisa berkendaraan sejauh batas pos jaga atau batas yang ditentukan pemerintah. Yang lebih menderita adalah warga Rohingya yang bertahan di ghetto Aung Ming Lar, yang setiap sudut jalannya dijaga polisi.

Mereka tak bisa ke mana-mana kecuali ke kawasan isolasi muslim, yang diatur setiap hari beberapa jam. Tentu dengan kawalan polisi. "Untuk belanja keperluan sehari-hari," kata Aung Win, tokoh Rohingya di Aung Ming Lar. Tempo menyaksikan polisi bersenjata berjaga di dekat truk yang mengangkut warga Aung Ming Lar di pasar di kawasan isolasi pada Jumat dan Sabtu pagi pekan lalu. Warga kedua daerah yang terpisah ini bisa saling kunjung, tapi harus seizin aparat keamanan, dan dikawal.

Bila memaksa diri ingin pergi ke luar Sittwe atau Rakhine, mereka harus meminta izin dari kantor imigrasi. Seperti yang dilakukan tokoh Rohingya yang juga mantan politikus Partai Demokratik Nasional untuk Hak Asasi Manusia, Kyaw Hla Aung, saat ia harus berobat ke Yangon. Ia minta izin ke kantor imigrasi. Kantor itu akan memberikan rekomendasi kepada menteri negara bagian, kemudian sebuah komite menentukannya. Kalau izin diberikan, masih ada syarat. "Saya harus menandatangani formulir akan kembali dalam 45 hari," ujar Kyaw Hla Aung.

Karena keterkungkungan itu, ekonomi tak berkembang. "Tak ada kesempatan kerja," kata seorang pegiat organisasi kemanusiaan di Sittwe yang tak bersedia disebut nama diri dan lembaganya dengan alasan tak mau menonjol. Maklum, tahun lalu terjadi kerusuhan: masyarakat Rakhine memprotes organisasi internasional yang dianggap membantu warga muslim dan mengabaikan warga Rakhine.

Memang benar, pengangguran merajalela. Warung-warung di pinggir jalan penuh pengunjung setiap waktu. Pada siang hari, orang, tak peduli anak kecil, orang dewasa, dan lanjut usia, duduk-duduk dan mengobrol di shelter mereka yang hanya terbagi dua ruang. "Tak ada yang bisa dilakukan di sini. Tidak ada uang," ujar Hobit Ahmad, 25 tahun, pengungsi di Ohn Daw Gyi Barat.

Aryub Khan, yang dulunya punya usaha dan tinggal di tengah kota, pun kini menganggur. "Kini, ayah saya bergantung pada saya dan saudara saya yang menjadi guru," kata Amir Sarif, putra Aryub. Amir, yang berusia 18 tahun, sejak Januari lalu bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan dengan gaji 60 ribu kyat (sekitar Rp 690 ribu). Keluarga dengan enam anak itu kini menempati kamp pengungsi Baw Du Pha 2, yang berpenghuni sekitar 2.000 orang.

Untuk makan sehari-hari, para pengungsi bergantung pada ransum dari World Food Programme (WFP) atau lembaga kemanusiaan lain. WFP menjatahi masing-masing orang 13,5 kilogram beras, 1 liter minyak, lentil, dan garam per bulan. Dari lembaga lain biasanya lebih kecil.

Keadaan lebih buruk dihadapi oleh mereka yang berada di kamp pengungsi tak terdaftar. Tidak ada bantuan rutin buat mereka. "Tergantung lembaga bantuan kapan mereka datang membantu," ujar Hobit Ahmad. "Kami sering hanya makan nasi dengan garam," kata pria yang memiliki tiga anak ini.

Belum cukup masalah itu, masyarakat muslim ini juga tak mendapat akses pendidikan. Banyak anak yang tak bersekolah. Kalau ada yang bersekolah, biasanya di sekolah temporer dengan guru-guru yang diambil dari warga Rohingya atau Kaman sendiri. Sekolah menengah jauh lokasinya dan guru terbatas.

Kampus baru Universitas Sittwe, yang berada di "tanah terlarang", juga terlarang bagi warga Rohingya dan Kaman. Amir Sarif dan sahabatnya, Nurdeen, yang juga bekerja di lembaga bantuan kemanusiaan, misalnya, belum bisa melanjutkan pendidikan. Lulusan sekolah menengah atas ini beruntung mendapat kerja setelah dua setengah tahun menganggur. Sadak, yang sudah sempat ikut matrikulasi sebelum konflik, pun kini masih harus memendam mimpi kuliah. "Saya benar-benar khawatir terhadap masa depan kami," ujarnya.

Akses kesehatan, yang mahapenting, lebih bermasalah lagi. Klinik yang ada terbatas. Dokternya juga terbatas. Kualitas pemeriksaan seadanya. Menurut seorang anggota staf medis lembaga kemanusiaan di Sittwe, karena pasien begitu banyak, sementara dokter sedikit, pemeriksaannya jadi sembarangan.

Peralatan dan obat-obatan juga tak lengkap. "Sakit apa pun, kami dapatnya parasetamol," kata Nurbar, pengungsi yang mengaku sudah lama sakit dan tak mampu berobat, dengan suara lemah.

Bila penyakitnya tergolong serius, situasinya lebih parah. "Anak perempuan saya itu sakit jantung dan masalah kesehatan lain, tapi saya tak bisa mengobatinya," ujar Kyaw Hla Aung.

Sebenarnya para pengungsi bisa dirawat di rumah sakit di Sittwe asalkan mendapat rujukan dari klinik di kamp. Namun banyak yang curiga mereka bukannya akan disembuhkan, tapi malah dibunuh. Bahkan kalau melahirkan pun keluarga sangat khawatir.

Menurut anggota staf medis yang biasa membantu pengungsi, pelayanan di rumah sakit di negara bagian termiskin kedua di Myanmar ini memang tidak bagus. Namun ia membenarkan kabar bahwa warga Rohingya dan Kaman memang mendapat perlakuan berbeda di rumah sakit. Ruang inap untuk muslim dipisah. Dokter juga kurang serius menangani mereka.

Masalah lain adalah bakal tak ada keluarga yang bisa menunggui atau menengok mereka karena warga muslim tak bebas ke luar zona isolasi. Kerabat Sadak yang istrinya melahirkan di rumah sakit Sittwe harus mencari orang Rakhine yang bersedia mengantarkan perlengkapan bayi ke rumah sakit. "Ini isinya tudung antinyamuk, selimut, dan peralatan bayi lain," kata warga Rakhine yang dimintai tolong Sadak.

Terkadang perlakuan kepada yang telah meninggal pun menyakitkan. Di Sabtu siang, saat Tempo sedang mengobrol di depan masjid di Baw Du Pha, sebuah truk polisi masuk. Petugas menaruh tas plastik di tempat duduk di teras sebuah bangunan. Ternyata tas plastik itu berisi jenazah bayi yang masih ada darahnya. Polisi meminta seorang pria tua menguburnya dengan bayaran 1.000 kyat (sekitar Rp 12.300). "Saya tidak tahu siapa keluarga bayi ini," ujar lelaki itu sembari membuka tas plastik.

Para pengungsi frustrasi. "Anda tahu, di sini benar-benar tak ada harapan, tak ada masa depan," kata Aung Win.

Saat ini tak ada hal yang benar-benar mereka inginkan selain, "Kebebasan," kata Amir. Sadak senada. "Kami juga ingin identitas Rohingya diterima."

Harapan itu tampaknya masih jauh dari jangkauan. "Masyarakat internasional memang mendesak kami tidak membuat segrerasi. Tapi integrasi berbahaya saat ini," ujar Kepala Penasihat Presiden Myanmar, Ko Ko Hlaing. Ia menyebut masa yang cukup panas karena mendekati pemilu, juga maraknya ekstremisme Buddha di Myanmar.

Urusan pengakuan Rohingya juga masih berat. "Nama Rohingya tidak bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat," kata Ko Ko Hlaing sambil menambahkan bahwa warga Rohingya tetap bisa menjadi warga negara bila memenuhi syarat. Mereka dikategorikan Bengali.

****

"ASSALAMUALAIKUM," Zaidul kembali ramah menyapa ketika Tempo menemuinya di tempat pengungsian di Kuala Langsa, Senin malam pekan lalu. Mukanya tampak muram menyaksikan foto anak dan istrinya yang diambil Tempo dari Sittwe beberapa hari sebelumnya. "Ini memang istri dan anak-anak saya," katanya sambil menyebut nama anak-anaknya. "Saya sangat rindu kepada mereka." Nada bicaranya sedih, mukanya sedikit menunduk.

Ketika beberapa orang sedang melihat foto sebesar kertas folio itu, Rafiqa ikut mendatangi Zaidul dan meminjam foto tersebut. Ia langsung menunjuk perempuan berkerudung putih yang berdiri di belakang keluarga Zaidul. Rafiqa, yang tadinya ceria, langsung berubah. "Mama… mama…," bocah 8 tahun ini mulai meneteskan air mata. "Ini Mama, ini Mama." Ia berkali-kali menunjukkan jarinya ke gambar ibunya sambil memperlihatkannya kepada Tempo.

Ia juga membenarkan bahwa ia terpisah dari kakaknya, Jakar Husain, saat orang-orang terjun ke laut ketika nelayan tiba untuk membantu. "Sampai sekarang saya tidak tahu dia di mana."

Di Kuala Langsa, Rafiqa menghabiskan hari-harinya?dengan bermain dan mengikuti kegiatan yang dibuat panitia pengungsi dan relawan kemanusiaan. Sedangkan Zaidul dan orang-orang dewasa lain sesekali ikut program yang dibuat para relawan, seperti belajar bahasa Indonesia. "Apa pun keputusan pemerintah di Indonesia nanti akan saya terima," kata Zaidul Haq.

Purwani Diyah Prabandari (sittwe, Myanmar), Imran M.a. (aceh Timur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus