Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Melawan melalui lelucon

Protes dengan lelucon tak efektif jika dilihat dari sudut pandangan politik. tapi lelucon sebagai wahana ekspresi politis sebenarnya punya kegunaan sendiri. ia dapat menyatakan kebenaran yang ditutupi.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pejabat tinggi kita bercerita di muka umum tentang banyaknya orang Indonesia yang mengobatkan dan memeriksakan gigi mereka di Singapura. Apakah sebabnya karena kita kekurangan dokter gigi, ataukah karena kualitas dokter gigi kita rendah? Ternyata tidak, karena yang menjadi sebab adalah di Indonesia orang tidak boleh membuka mulut. Lelucon seperti ini jelas merupakan protes terselubung (atau justru tidak) atas sulitnya menyatakan pendapat di negeri kita saat ini, sebagai akibat banyak ketentuan diberlakukan, seperti SARA (suku, agama, ras dan antar-golongan). Protes dengan lelucon memang tidak efektif, kalau dilihat dari sudut pandangan politik. Memangnya ada gerakan politik besar dilandaskan kepada lelucon sebagai semacam 'manifesto politik'nya! Belum lagi betapa lucunya kalau program partai atau Golkar mencantumkan kalimat 'menyalurkan aspirasi rakyat melalui lelucon'. Begitu juga akan ada kesulitan besar ketika nanti harus dirumuskan penafsiran resmi atau lelucon yang ditampilkan oleh gerakan politik. Tetapi lelucon sebagai wahana ekspresi politis sebenarnya memiliki kegunaannya sendiri. Minimal, ia akan menyatukan bahasa rakyat banyak dan mengindentifikasi masalah-masalah yang dikeluhkan dan diresahkan. Arnbillah misal lelucon berikut dari Mesir, di kala mendiang Presiden Nasser masih berkuasa. Di masa itu larangan bepergian ke luar negeri masih ketat. Nah, pada suatu hari Nasser mengunjungi patung Sphinx (dalam bahasa Arab dikenal sebagai Abul Haul) dekat piramida di Giza, di luar kota Kairo. Ingin berkonsultasi, Nasser tidak memperoleh jawaban sepatah pun dari patung singa berkepala manusia yang sudah ribuan tahun usianya itu. Penjelasan Naser bahwa ia adalah presiden yang berkuasa penuh tidak menghasilkan jawaban apa pun. Berkali-kali hal itu terjadi, hingga suatu kali habis kesabaran Nasser. Dijanjikannya, kalau saja Sphinx itu mau menjawab, apa pun permintaannya akan dituruti Nasser. Dengan penuh harap, menjawablah sang Sphinx: 'Exit Permit'. Lelucon juga memiliki kemampuan untuk menggalang kesatuan dan persatuan, minimal dengan jalan mengidentifikasi 'lawan bersama', seperti diibaratkan oleh lelucon berikut dari Polandia. Dua orang bertemu, yang satu bertanya kepada kawannya: 'Hadiah apakah yang anda peroleh kalau memamerkan lambang serikat buruh Solidaritas di Moskow?' 'Tidak tahu, apakah hadiahnya?' Sang penanya pun kemudian menjawab sendiri teka-tekinya itu: 'Dua buah gelang dan satu rantai.' 'Gelang apakah, emas atau perak?' 'Borgol!' Lelucon juga dapat berfungsi kritik terhadap keadaan tidak menyenangkan di tempat sendiri, seperti lelucon pertama yang diuraikan di permulaan tulisan ini. Atau seperti lelucon berikut dari Suriah: seorang atlet lari Suriah memenangkan medali emas lomba lari Olympiade. Prestasi mengagumkan di arena demikian terhormat. Pantas ia langsung diwawancara, ditanya apa rahasia kemenangannya itu. 'Mudah saja, ' jawabnya. 'Tiap kali bersiap-siap akan start, sayabayangkan ada serdadu Israel di belakang saya mau menembak saya.' Atau lelucon dari Rusia, ketika para turis asing mulai membawa radio transistor ke sana, padahal orang Rusia sendiri belum mengenalnya. Dengan kebanggaan yang dibuat-buat sebagai pembela kehebatan dan kejayaan ibu pertiwinya, seorang Rusia mendekati seorang turis dan bertanya: 'Di sini juga banyak dibikin barang seperti ini. Apa namanya?' Protes terhadap penyalahgunaan wewenang oleh tokoh-tokoh yang berkuasa sering sekali dituangkan dalam bentuk lelucon. Seperti cerita dari India yang 'memberitakan' seorang tertuduh dijatuhi hukuman tujuh tahun. Sebabnya? Karena ia menuduh Indira Gandhi sebagai perdana menteri telah memulai nepotisme yang sinis, dengan mula-mula mengangkat mendiang sang anak Sanjay Candhi sebagai penguasa partainya, dan kemudian kakak Sanjay Rajiv, ketika sang adik kemudian meninggal dunia. Perincian hukuman? Setahun karena menghina pejabat tinggi negara, dan enam tahun karena membocorkan rahasia negara. Terkadang lelucon berfungsi sebagai pelepas kejengkelan orang banyak kepada penguasa, yang dianggap sudah bertindak terlalu jauh membohongi dan menyakiti hati rakyat. Anak seorang presiden Filipina, menurut hikayat, mencari popularitas dengan menyebarkan uang kertas lima pesos berjumlah jutaan dari pesawat terbang. Kakaknya tidak mau kalah, menyebarkan juga mata uang sangat banyak, hanya saja dari mata uang sepuluh pesos. Adik perempuan mereka juga ingin populer, dan menanyakan hal apa yang paling membahagiakan rakyat jika dibuang dari pesawat terbang. Dengan lugas, penerbang yang ditanya menjawab: 'Ayah nona sendiri!" Tetapi yang paling tinggi 'selera'nya sudah tentu adalah lelucon yang dapat mencerminkan kebenaran yang ada, yang ditutup-tutupi oleh pihak yang berkuasa. Fungsi perlawanan kulturalnya menunjuk kepada kesadaran yang tinggi untuk menyatakan apa yang benar sebagai kewajiban tak terelakkan. Yang dicari hanyalah medium paling aman untuk menyatakan kebenaran itu. Cerita berikut dari Brazil dapat diambil sebagai contoh. Negara tanpa laut Paraguay, menurut cerita ini, ternyata memiliki panglima angkatan laut. Ketika ia berkunjung ke Brazil, ia disindir dengan pertanyaan berikut oleh Kepala Staf Angkatan laut Bra 'Bagaimana mungkin negara tanpa laut mempunyai panglima seperti anda?' Sang tamu dengan tenang menjawab: 'Di sini hukum tidak berjalan, bagaimana mungkin diangkat seorang menteri kehakiman?' Lelucon, dan bentuk-bentuk humor lain, memang tidak dapat mengubah keadaan atas 'tenaga sendiri'. Ini sudah wajar, karena apalah kekuatan percikan perasaan manusia di hadapan kenyataan yang mencengkam kehidupan bangsa secara keseluruhan. Sedangkan ideologi besar-besar pun tidak mampu melakukan hal itu sendirian, masih harus ditunjang oleh berbagai hal, seperti agama, buruknya keadaan ekonomi, sentimen-sentimen primodial dan seterusnya. Namun, lelucon yang kreatif tetapi kritis akan merupakan bagian yang tidak boleh tidak harus diberi tempat dalam tradisi perlawanan kultural sesuatu bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak ingin kehilangan kehidupan waras dan sikap berimbang dalam menghadapi kenyataan pahit dalam lingkup sangat luas. Dera kepahitan dalam jangka panjang tidak mustahil akan ditundukkan oleh kesegaran humor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus