Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUASANA sidang sedang memanas. Trimoelja D. Soerjadi, pengacara terdakwa Rahardi Ramelan dalam kasus korupsi dana nonbujeter Bulog, mencecar saksi Akbar Tandjung. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu, Trimoelja mempersoalkan fakta terpenting, yakni pertemuan di Hotel Gran Mahakam.
Akbar belingsatan dan mencoba menghindar. "Saya tidak ingat," ujar Ketua DPR yang juga Ketua Golkar itu. Namun, Trimoelja, pengacara dari Surabaya yang dulu ikut menangani kasus Marsinah, terus merangsek.
Melihat Akbar terpojok, hebatnya, Jaksa Kemas Yahya Rachman seperti mau melindunginya. "Saudara saksi berhak tidak menjawab," kata Jaksa. Aplaus pengunjung pro-Akbar Tandjung pun bergelora. Trimoelja membela diri, tapi Jaksa tetap ngotot. Ketua majelis hakim Lalu Mariyun lantas menengahi. Ia mengizinkan pengacara melanjutkan pertanyaan.
Sehari sebelumnya, justru terjadi pemandangan sebaliknya di persidangan Akbar Tandjung di Hall B2 Arena Pekan Raya Jakarta. Acara sidang mendengarkan kesaksian Mahdar, bekas anak buah Akbar di Kantor Sekretaris Negara. Jaksa Fachmi mencecar saksi soal penyerahan cek Rp 40 miliar dari Deputi Keuangan Bulog, Akhmad Ruskandar, kepada Dadang Sukandar, Ketua Yayasan Raudatul Jannah. Demikian pula soal benar-tidaknya pembagian sembilan bahan pokok yang dilakukan yayasan itu dengan dana Rp 40 miliar.
Ternyata jawaban Mahdar sering tidak klop dengan keterangan saksi lain. Jaksa kemudian meminta majelis hakim yang diketuai Amiruddin Zakaria menjebloskan saksi ke tahanan. Sebab, Mahdar dianggap telah bersaksi palsu. Janggalnya, majelis hakim menolak permintaan Jaksa. Alasannya, keterangan Mahdar akan dikonfrontasi dulu dengan saksi lain.
Sepintas sikap Jaksa Fachmi berbeda dengan Jaksa Kemas. Namun, garis utama mereka sebenarnya setali tiga uang, yakni sama-sama mempertahankan alur perkara pada skenario penyaluran dana nonbujeter Bulog lewat Yayasan Raudatul Jannah, bukan ke kas Golkar. Padahal jaksa-jaksa itu sebetulnya sudah mafhum bahwa alur itu skenario palsu yang direkayasa untuk melepaskan tanggung jawab Akbar, sekaligus membersihkan Golkar.
Tak aneh bila mereka seperti tak berminat pada fakta penting berupa per-temuan di Hotel Gran Mahakam, yang menjadi pintu masuk utama bagi skenario Raudatul Jannah. Demikian pula sikap mereka terhadap fotokopi dua lembar kuitansi kucuran sebagian uang Bulog itu ke tangan dua bendahara Golkar, Fadel Muhammad dan M.S. Hidayat.
Praktisi hukum Luhut M.P. Pangaribuan berpendapat bahwa tak bisa disangkal bila muncul kesan jaksa seolah-olah menutupi kemungkinan aliran dana tersebut ke Golkar. Mestinya jaksa berani membuktikan kebenaran materiil kasus itu, termasuk membuktikan fakta tentang skenario di Hotel Gran Mahakam. Jadi, jaksa tak cuma menggunakan kacamata kuda dan bersikukuh di rel dakwaan formal belaka.
Bukan hanya jaksa, "Majelis hakim mestinya juga mau membuktikan ke-benaran materiil," kata Luhut. Namun, ada gejala, majelis hakim pun enggan memberikan kesempatan kepada para pihak beperkara untuk membeberkan kebenaran. Luhut melihat, persidangan kasus ini bukan mencari solusi, melainkan sekadar mencari kambing hitam, dalam hal ini Rahardi Ramelan.
Namun, Jaksa Kemas Yahya Rachman mencoba membela diri. Ia mengatakan bahwa tugasnya sebatas membuktikan dakwaan terhadap Rahardi. Makanya dia menolak membahas pertemuan Hotel Gran Mahakam yang tak ada dalam cerita di surat dakwaan. Selain itu, apa yang terjadi dalam pertemuan itu, kata Kemas, tak akan berpengaruh pada terdakwa. "Kalau soal ini (pertemuan Hotel Gran Mahakam), saya kira akan diungkap Jaksa Fachmi. Sebab, itu relevan untuk dipakai di persidangan Akbar," ujarnya.
Giliran Jaksa Fachmi yang buang badan. Menurut Fachmi, ia berkutat pada masalah Yayasan Raidatul Jannah lanta-ran tugasnya hanya membuktikan kesalahan Akbar. "Guilty or not guilty, itu saja," ucapnya. Kalau harus membuktikan dana itu lari ke mana, ujarnya, sudah susah. Alasannya, orang yang diduga mencairkan dana itu di bank dulu ternyata menggunakan kartu tanda penduduk palsu.
Akibatnya, kejaksaan belum tahu harus memulai dari mana untuk membuktikan dugaan uang itu mengalir ke Golkar. Adapun soal fotokopi penerimaan danadengan kuitansi bertanda tangan Fadel Muhammad dan M.S. Hidayattak bisa dipakai sebagai barang bukti di pengadilan. "Saya enggak berani menduga, apalagi ini menyangkut Golkar sebagai partai terbesar kedua di negara ini," kata Fachmi.
Lagi-lagi dalih itu formal belaka. Jadi, bagaimana dong dengan fakta pertemuan di Hotel Gran Mahakam? Mau dibuktikan atau tidak? "Kita lihat saja nanti," ujar Fachmi.
Agung Rulianto, Agus Hidayat, Suseno (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo