Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komunitasnya juga sangat luas dan beragam, mulai petani (dia punya kebun kelapa di Sukabumi), para penggemar mobil kuno, sampai presiden. Dua kali Mang Ihin dekat dengan presiden. Menjadi sesdalopbang di zaman Soeharto dan menjadi anggota Dewan Pertimbangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang ketuanya kini menjadi presiden. Meskipun demikian, Solihin bukan orang yang kesetiaannya membabi buta. Dia kerap berseberangan dengan bosnya ketika masih di Bina Graha. Sewaktu mahasiswa "menduduki" MPR pada Mei 1998, Solihin bersama Gerakan Reformasi Nasional justru meminta sidang istimewa untuk menurunkan bekas bosnya.
Di tengah heboh soal bantuan Presiden Megawati Sukarnoputri untuk TNI sebesar Rp 30 miliar yang diambil dari dana bantuan presiden (banpres), sosok Solihin G.P. tiba-tiba menjadi penting. Selama 16 tahun pensiunan jenderal berbintang tiga ini menjadi sesdalopbang, yang menyalurkan dana banpres ke berbagai proyek. Di rumahnya yang asri dan tenang di Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, Solihin memberikan waktu untuk wawancara khusus kepada Gendur Sudarsono, I G.G. Maha Adi, dan fotografer Awaluddin, Jumat pagi, 26 April lalu. Hampir tak ada yang berubah pada dirinya kecuali umurnya yang bertambah. Suaranya masih lantang. Tawanya tetap menggelegar. Bicaranya juga tetap ceplas-ceplos. Berikut ini petikan wawancara tersebut.
Apa yang Anda ingat mengenai banpres?
Saya mau menjelaskan dulu soal kedudukan sekretaris pengendalian operasional pembangunan (sesdalopbang), yang berkantor di Bina Graha. Kita mulai dengan Bina Graha, yang penugasannya ditentukan dengan keppres (keputusan presiden). Saya lupa nomor berapa. Sesdalopbang bertanggung jawab langsung kepada pesiden, menyiapkan dan mengupayakan kemudahan tugas presiden dalam melaksanakan pemerintahan, misalnya kalau ada sidang kabinet atau pelantikan kabinet, termasuk dalam penyediaan data dan kesimpulan mengenai pembangunan.
Kenyataannya, ketika saya masuk ke sana, tidak ada sistem sama sekali. Saya sangat kecewa. Bagusnya kan ada sistem yang sudah benar-benar canggih dan memadai. Kalau kantor Perdana Menteri Malaysia kan sudah computerized sehingga Mahathir Mohamad sekejap saja bisa melihat proyek pembangunan, besarnya anggaran, dan perkembangan terakhirnya. Di sini mah sangat memprihatinkan.
Hal lain yang mengkhawatirkan, di Bina Graha juga berkantor pemimpin berbagai yayasan. Sedihnya, semua pemimpin yayasan yang berada di bawah Presiden adalah asisten saya. Tapi mereka tidak melaporkan banpres kepada saya, melainkan langsung kepada Presiden. Mereka tertutup dan saya tak pernah diajak untuk tahu. Orang-orang itu dibawa Soeharto dari Yogyakarta. Hedijanto (Ketua Yayasan Dharmais) adalah kepala biro umum, Aryo Darmoko yang memimpin Yayasan Supersemar adalah kepala biro data, dan Zahid Husein yang memimpin Yayasan Dakab adalah kepala biro banpres. Tentu saja, karena di banpres ada duit dan presiden, mereka lebih sering di sana. Lalu saya harus kerja dengan apa?
Apa hubungan banpres dengan yayasan?
Presiden berpendapat, banyak kegiatan yang langsung memikat perhatian Presiden dan harus diselesaikan sendiri oleh Presiden. Dan tak semua semua bisa diandalkan pada departemen dan menteri-menteri. Untuk melaksanakan ini, Presiden harus punya dana, dan itu dikumpulkan oleh yayasan-yayasan tersebut dan Presiden kemudian mendistribusikannya. Misalnya Yayasan Dakab, yang berhubungan dengan fund raising (penghimpunan dana) Golkar. Yayasan yang lain mengurusi bencana alam, pembangunan masjid, penampungan anak yatim piatu, beasiswa mahasiswa, dan lain-lain.
Diambil dari mana dana banpres itu?
Dari berbagai macam sumber. Ada upaya sendiri dari yayasan-yayasan, misalnya diberi konsesi hutan sebagai sumber income. Juga ada kewenangan administratif, misalnya memotong gaji karyawan yang berstatus pegawai negeri. Lalu, ada sumbangan dari konglomerat. Itu kan banyak sekali.
Berapa jumlahnya saat itu?
Saya tak ingat, tapi banyak sekali. Pokoknya, apa saja yang bisa memasukkan uang untuk banpres semuanya digali. Saya setuju bahwa presiden harus mengelola dana sendiri yang membutuhkan kecepatan dalam penyalurannya. Tapi cara itu inkonstitusional karena tak ada yang mengontrol. Saya tahu itu karena saya dekat. Waduh, saya ikut prihatin karena asisten saya justru tidak membantu saya. Pernah saya sarankan kepada Pak Harto bahwa, karena pertanggungjawaban dana itu tidak jelas, sebaiknya kita minta dana itu dari APBN dan tiap akhir tahun dipertanggungjawabkan kepada DPR. Tapi Soeharto bilang anggota DPR tidak akan mengerti. "Ya sudah, begini saja," katanya. Dia memang senang mengumpulkan uang.
Bagaimana Soeharto mengenal Anda?
Mula-mula saya tak kenal karena dia dari Kodam Diponegoro sedangkan saya dari Kodam Siliwangi. Nah, saat saya jadi Gubernur Jawa Barat dan dia jadi presiden, kami mulai dekat. Waktu itu ada program swasembada pangan yang membuat kami dekat.
Saat itu Soeharto sering melakukan inspeksi mendadak, tanpa pengawal dan tidak ramai-ramai. Tapi saya selalu dikasih tahu oleh Tjokropranolo (ketika itu sekretaris militer) bahwa Soeharto ingin ke Jawa Barat. Langsung saya tanya ke Tjokro, Presiden memakai mobil apa dan datangnya dari mana.
Sesudah tahu, saya langsung mencegat dia di jalan dan pergi bersama-sama untuk sidak (inspeksi mendadak). Tak pernah kita rencanakan mau istirahat atau makan di mana. Pernah sekali kami kemalaman di Sukabumi dan langsung makan di Restoran Lembur Kuring. Setelah beres, kita juga tidur di penginapan di sebelah restoran itu. Setelah itu saya panggil Pak Bupati Sukabumi dan saya katakan bahwa saya membawa ahli bimas (bimbingan masyarakat). Dia lalu datang dan tak menyangka orang itu adalah Soeharto, presidennya sendiri.
Ketika berada di Banten, saya sarankan Soeharto agar singgah di Desa Cikereuh. Desa itu belum pernah diinjak Belanda dan Jepang. Saat itu sudah sore, dan kami semua beristirahat di rumah kepala desa (jaro). Waktu itu jaro-nya seorang jawara bernama Kharis. Ia menyambut saya, tapi tidak tahu bahwa di samping saya adalah Soeharto. Belakangan, baru dia mengerti saya membawa Presiden RI menginap di desanya. Saya dan Soeharto mandi dan buang hajat di sungai. Jadi, begitulah, zaman itu Soeharto seorang yang amat ahli dan mengetahui detail soal beras. Ia bahkan lebih ahli dari Menteri Pertanian atau ahli pangan. Ia dulu juga seorang yang sangat sederhana.
Saat itu saya benar-benar menghormati Soeharto, dan saya anggap dia ketika itu sebagai the best president in the world.
Lo, kenapa Anda tak dijadikannya menteri?
Karena Soeharto selalu curiga pada saya, karena saya sering mengingatkannya tentang segala hal. Di samping itu, hubungan saya dengan Menteri Dalam Negeriketika itu Amir Machmudtak bagus. Program saya tentang demokrasi dalam pemilihan bupati di Jawa Barat tak sejalan. Saya mau bupati dipilih rakyat, bukan ditentukan oleh pusat. Tapi dia tak mau. Katanya biar pemerintah tambah berwibawa. Lalu ada soal pengelolaan uang penghasilan daerah. Soal Irian Jaya, saya juga sangat bertentangan (dengannya). Kata pemerintah, orang Irian Jaya itu dibuldozer saja karena tak punya kemampuan bersaing. Jadi, dari lurah sampai gubernur dan pengusahanya ya orang dari luar.
Lalu di mana orang Irian? Saya usulkan memakai prinisp Kidokan system, prinsip Jepang yang mendidik orang hingga berhasil melaksanakan tugas. Tapi mereka tetap bilang, "Buldozer saja."
Akhirnya, setelah sekali menjabat Gubernur Jawa Barat, saya tak mau lagi menjabat. Saya akan dijadikan duta besar, tapi saya bilang tak mau karena (jabatan) itu sama saja dengan tukang angkat koper ibu pejabat. Itu saya katakan di depan Presiden. Akhirnya saya bertani, menanam kelapa di kawasan Jampang, Sukabumi Selatan. Tapi dua tahun kemudian datang kurir yang meminta saya datang ke Bina Graha, dan saya ditunjuk jadi sesdalopbang. Waktu itu saya sempat diperingatkan oleh Benny Moerdani, yang pangkatnya brigadir jenderal. Katanya, saya tak usah menerima penugasan, karena suasananya sudah berbeda. Saya tak akan mampu bertugas, katanya. Saya jengkel banget sama dia, dan justru saya jadi menerima penugasan.
Bagaimana Anda melihat hubungan Soeharto dengan banpres?
Ada perubahan besar pada Soeharto. Mulainya ketika terjadi krisis di Timur Tengah pada akhir tahun 1970-an. Pada saat itu harga minyak bumi melambung sehingga terjadi oil boom. Karena duit mengalir deras, tergugahlah sifat aslinya. Akhirnya semua diukur dengan duit. Bahkan Soeharto akhirnya sampai pada gagasan bahwa, untuk membangun, kita harus membikin gunung untuk mengubur lembah dan rawa-rawa. Awalnya saya tak mengerti, tapi akhirnya saya tahu bahwa yang dimaksudkannya adalah kita harus membikin orang-orang kaya, yakni para konglomerat, dan dengan kekayaannya mereka akan jadi lokomotif pembangunan yang akan menarik masyarakat miskin menjadi lebih maju.
Saya tidak sepaham karena falsafah di negara kita adalah maju bersama dan pengusaha kecil harus didahulukan. Jadi, bukan pengusaha besar. Saya sudah mengatakan, kalau gunung sudah jadi tapi rawa masih ada, akan terjadi kesenjangan sosial. Saya juga menanyakan gunung mana saja yang akan ditebas untuk menimbun rawa-rawa itu. Jawaban Soeharto: "Itu saya yang mengaturnya." Akhirnya kita kan tahu bahwa gunung-gunung itu adalah perusahaan anak-anaknya. Soal itu, dia juga punya jawaban bahwa anak-anaknya akan lebih mudah diatur karena dia adalah bapaknya. Ya, sudahlah kalau begitu.
Terjadilah gunung-gunung, korupsi, dan pengumpulan uang yang bertentangan dengan cara kita hidup berbangsa dan bernegara. Aparatur negara jadi alat politik dan bukannya dibina melayani rakyat. Saya sudah memperkirakan bahwa kita akan rusak. Saya sudah tidak tahan dan bilang kepada Pak Harto bahwa sistem ini salah dan harus segera diganti.
Anda sendiri pernah menggunakan banpres?
Pernah. Perhatian saya pada pembangunan untuk masyarakat banyak, bukan proyek besar. Itu fokus Bina Graha, yakni pertanian, kesehatan, pendidikan rakyat, dan pembangunan daerah. Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa ada daerah terpencil dan ketinggalan yang harus diupayakan ke arah kemajuan. Akhirnya terjadilah banpres. Mulanya itu dipicu oleh kondisi di Nusa Tenggara Barat, yang kekeringan tiap tahun, curah hujannya minim dan tak bisa ditentukan. Panen gagal terus dan setiap tahun daerah itu harus dibantu dengan pangan dan air minum. Akhirnya kita bantu secara preventif agar ia bisa mengurus dirinya sendiri. Itu lewat bantuan khusus.
Berapa jumlah total dana banpres yang Anda pakai?
Ya, rata-rata Rp 700-an juta tiap daerah dan ada 12 proyek. Ada proyek Nusantara Utuh di Pulau Natuna, ada juga beberapa proyek di Tapanuli dan Aceh.
Apakah ada penyaluran kredit lewat banpres?
Ada kredit bergulir untuk sapi banpres. Tapi pada umumnya berupa hibah.
Bagaimana cara penyaluran dana banpres?
Kita tentukan lewat proposal, lalu kita salurkan melalui pemda setempat. Nah, semua dana banpres dikeluarkan dari bank-bank yang disimpan atas nama yayasan atau Pak Harto. Saya sih tidak diajak apa-apa.
Lalu, apa yang Anda kerjakan?
Saya hanya mengajukan proposal dan mengawasi pelaksanaannya. Soal pengadaan, itu dilakukan oleh yayasan-yayasan tersebut. Asisten saya, Aryo Darmoko, yang mestinya memodernisasi Bina Graha, malah ngurusin sapi. Dengan perintah Presiden, mereka selalu mencari sumber dana di sana-sini. Saya punya keyakinan bahwa cara-cara begini merugikan sekali karena konglomerat dan putra-putri Presiden jadi seenaknya saja, mentang-mentang sudah menyumbang. Aparatur pun tak punya kemampuan koreksi, dan tiap orang bikin yayasan apa saja. Saya dan Ali Sadikin sudah memperkirakan keruntuhan akan terjadi.
Apakah Soeharto selalu mengobral dana banpres?
Wah, kalau soal duit, dia itu sih pelit sekali. Pernah suatu kali saya jumpai suatu bank perkreditan rakyat di Klaten yang berhasil mendidik masyarakat untuk menabung. Lalu, saya bawa kepala banknya ke Jakarta untuk bertemu Pak Harto, dan saya sampaikan keberhasilannya. Saya bahkan jadi nasabah dengan setoran awal Rp 50 ribu. Kami dalam hati sudah senang bakalan mendapatkan bantuan. Apalagi Soeharto mengatakan mau jadi nasabah. Yang terbayang kan jutaan rupiah. Tapi, begitu tahu saya menjadi nasabah dengan setoran Rp 50 ribu, eh dia bilang mau ikut jadi nasabah juga dan menyetor Rp 50 ribu bersama Bu Tien (Soeharto). Waduh, pelitnya! Uangnya dia hitung satu-satu di depan kami, ha-ha-ha....
Tapi dia juga membiayai proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah, yang mestinya dibiayai APBN?
Itu sih karena desakan para pengusaha yang katanya mengaku sanggup melakukan. Lantas, datanglah Kardono (ketika itu sekretaris militer) menghadap Presiden, dan jadilah proyek lahan gambut sejuta hektare.
Ada proyek banpres yang gagal?
Banyak, salah satunya proyek gula mini di Aceh. Waktu itu banyak tebu tapi tak dimanfaatkan petani, cuma dibuat gula batu. Lantas, Menteri Perindustrian dan Pertanian ditunjuk mengkajinya. Mereka bilang bisa. Lalu dibantulah dengan banpres. Saat proyek itu diresmikan, saya tetap tinggal di Aceh dan bertanya apakah benar gula kristal sudah bisa dibuat di pabrik baru itu. Ternyata bohong. Jangankan membuat gulanya, membuat kristal saja belum mampu. Pak Harto lalu memanggil menterinya dan memarahi. Kata menterinya, perlu sekolah ke India agar bisa menguasai teknologinya. Sudah sekolah, tetap tak bisa juga. Akhirnya pabrik itu sekarang jadi besi tua.
Lalu ada proyek tambak udang di Karawang (Jawa Barat). Itu sih gagal total dan menghabiskan miliaran rupiah. Sampai sekarang tak ada hasil apa-apa. Proyek gagal lainnya adalah penyediaan kapal laut yang akan diserahkan kepada pemda yang wilayah provinsinya berupa kepulauan. Ternyata kapalnya sudah miring-miring saat diturunkan di pelabuhan dan tidak bisa dipakai lagi.
Ada banpres yang disalurkan ke putra-putri sendiri?
Setahu saya tak ada, tapi ada yang dikaitkan dengan bisnis. Misalnya saat pengadaan pupuk urea tablet yang dikerjakan PT Aryo Seto Wijoyo. Saat pengembangan dan percobaan, laboratorium dibantu banpres. Tapi, saat produksi, kita sarankan proyek itu dikerjakan PT Pusri Palembang, yang milik negara. Mereka kan membuat pupuk dan punya jalur distribusi bagus. Tapi Pak Harto tak mau. Dia malah bertanya, "Apakah kamu tak percaya pada swasta?" Perusahaan yang dimaksudnya ternyata milik Ari Sigit, cucunya. Saat itu biaya diminta dari Bank Indonesia, dan Gubernur BI Radius Prawiro sempat mengeluh kepada saya karena proyek itu mestinya ditangani Pusri. Saya bilang ke dia, kalau berani bicara langsung ke Soeharto, siap-siaplah dipecat. Jadi, arsitek bisnis anak-anaknya, ya, Soeharto sendiri.
Lantas, apa alasannya Anda meninggalkan jabatan sesdalopbang?
Saya dipanggil Soeharto dan dia mengatakan saya cukup lama di Bina Graha dan segera akan ditunjuk pengganti. Saya 16 tahun di sana, dan mungkin Soeharto tak berani mengganti saya karena saya dekat dengan rakyat. Di Timor Timur, misalnya, lewat proyek Loro Sa'e, kami mendidik mereka bertani. Bahkan sampai sekarang, ketika mereka meluku di sawah, sapi-sapinya dinyanyikan lagu Indramayu karena begitulah dulu kami mengajari mereka. Jadi, banyak sekali yang dekat dengan kami. Saya memang diperlukan, tapi untuk urusan mengelola uang atau dijadikan menteri, ya, no way.
Ketika itu hubungan Anda memang mulai renggang?
Ya, terutama saat saya bilang di salah satu surat kabar bahwa negara ini sedang sakit karena hukum tidak berjalan. Waktu itu saya masih sesdalopbang. Saya belum dipanggil. Nah, ketika saya menolak dilitsus (penelitian khusus), saya dipanggil. Saya ngomong di Mabes Angkatan Darat bahwa saya tak mau dilitsus dan banyak tentara yang tak mau juga tapi tak bisa berbuat apa-apa. Rupanya Panglima ABRI Try Sutrisno tahu dan melaporkannya ke Soeharto. "Kenapa kamu tak mau dilitsus? Itu kan sudah ketentuan saya," kata Presiden. Di depan Presiden, saya bacakan keppres litsus yang menyatakan bahwa litsus dilakukan terhadap semua pegawai negeri yang diindikasi terlibat dalam organisasi terlarang. Jadi, saya ini dianggap terindikasi berhubungan dengan organisasi terlarang. Eh, Soeharto malah tak tahu ada bunyi pasal seperti itu. "Ya sudah, kamu jangan banyak omong," katanya.
Kapan Anda terakhir ketemu Soeharto?
Tak pernah lagi. Waktu mau keluar dari Bina Graha, saya tidak dikasih apa pun oleh Soeharto. Pulpen kenang-kenangan saja tak diberi.
Anda pernah jadi Gubernur Akabri pada 1968-1970. Ada kenangan khusus?
Saya sering ditanya, kok hasil akademi militer kayak sekarang. Tapi, bagaimana lagi, keadaan di luar terlalu besar godaannya sehingga susah menjadi manusia yang benar. Taruna saya waktu itu Wiranto, Endriartono Sutarto, Johnny Lumintang, Subagyo H.S., dan Luhut Panjaitan. Tapi, di zaman Orba, yang tercipta cuma pemimpin-pemimpin musang. Ketika saya bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), saya kampanyekan bahwa kita akan ganti dengan pemimpin yang benar. Sekarang buktinya malah tambah rusak, ha-ha-ha.... Tapi, untuk membendung Golkar di Ja-Bar, ya cuma PDIP yang bisa. Jadi, saya masuk partai itu karena alasan pragmatis sajalah.
Sebentar lagi bekas taruna Anda jadi Kasad?
Saya kira Endriartono pantas jadi Kasad. Dia orangnya sederhana dan setiap naik pangkat selalu menelepon ke sini.
Dengan Presiden Megawati, hubungan Anda bagaimana?
Cukup dekat. Saat pemilihan presiden dulu, dia mengirim bunga ke sini. Bersama Barisan Nasional, saya juga pernah bertemu dengannya di Istana Negara, mendiskusikan keadaan negara. Saya ini kan masuk Dewan Pertimbangan Partai. Pernah suatu kali saya pimpin rapat sampai pukul tiga pagi dan seseorang dengan jas warna merah lengkap dengan dasi bergambar banteng mendekati saya dan menyalami. "Saya ikut Bapak masuk PDIP," katanya. Eh, ternyata dia (Ketua Badan Intelijen Negara) Hendropriyono, ha-ha-ha....
Solihin Gautama Purwanegara
Lahir: Tasikmalaya, 21 Juli 1926
Pangkat terakhir: Letnan Jenderal
Karir: Anggota MPR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo