Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bingung Di Banteng

Pengosongan tahap II terminal lapangan banteng, petugas-petugas DLLAJR kewalahan mengatur lalu lintas, sistem shelter tidak cukup baik dipersiapkan. (kt)

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPANGAN Banteng semakin bergalau. Tapi kini, teruuma pada jamjam sibuk, lebih hiruk-pikuk. Pluit dan megaone bersahut-sahutan mengatasi suara derap kaki dan deru mesin bis. Asap hitam yang menyembur dari knalpot menambah pengap kawasan itu. Ditambah lagi umpatan para penumpang yang harus berjalan kaki 100-150 m, sebelum melompat ke atas bis yang membawa mereka ke tujuan akhir. Semua ini adalah akibat berantai yang timbul karena terminal Lapangan Banteng mengalami pengosongan tahap kedua sejak pekan silam. Sekali ini, tidak kurang dari 150 bis yang harus menyingkir dari dalam terminal. Pada pengosongan tahap pertama awal Februari berselang, sebanyak 200 bis sudah tidak diizinkan lagi singgah di sana. Sehingga masih 350 bis tersisa yang baru akan dihalau akhir tahun ini. Sesudah usaha pengosongan bertahap ini selesai, barulah Lapangan Banteng ditata kembali. Lapangan yang "tempo doeloe" dikenal sebagai Waterlooplein itu, akan dirombak menjadi sebuah taman. "Pokoknya dihijaukan, dengan pengertian indah dan serasi, sesuai dengan lingkungan," ucap Ka. Humas DKI, Ramona Ginting. Ia tidak menjelaskan apakah yang disebut sebagai lingkungan itu termasuk juga Hotel Borobudur di sisi selatan lapangan. Yang pasti dengan adanya sebuah taman nanti, pemandangan dari jendela hotel itu tak dapat tidak akan lebih segar. Berbeda jauh dengan keadaan sekarang: sejauhjauh mata memandang yang nampak hanya terminal gersang dan lapangan olahraga yang tak begitu terpelihara. Sementara menunggu kehadiran sebuah taman, polisi dan petugas DLLAJR nampaknya harus lebih dulu bekerja keras. Sejak 150 bis yang melayani 12 rute dihalau keluar, tiap waktu mereka harus siap membunyikan pluit, menggedor bis yang masih suka ngetem. Hari-hari pertama pengosongan, para penumpang nampak bingung: di shelter mana dia harus menunggu untuk jurusan yang hendak ditujunya. "Jangankan mereka, saya yang petugas lapangan juga masih bingung," ujar seorang petugas DLLAJR yang mengawal shelter Pejambon. Di situ juga ada dua orang polisi yang belum begitu paham tentang apa yang sedang terjadi. Jika penumpang datang bertanya, mereka menunjukkan wajah yang kebingungan. "Saya cuma mengamankan ketertiban di sini," kilah bung polisi. Diperoleh kesan bahwa pengosongan kali ini juga tidak dipersiapkan dengan baik. Beberapa shelter yang dinyatakan dapat menampung penumpang sebelum mereka naik ke bis yang berikut, ternyata terlalu sempit Memang shelter sepanjang 30 m yang terletak di Jl. Wahidin terlihat lebih nyaman dan bisa dijadikan tempat berteduh, walau hujan turun. Tapi justru di kawasan ini keadaan nampak berantakan. Mengapa? Banyak bis kota yang lewat di situ dengan sengaja ngetem di ujung jalan. Maka penumpang pun berebutan ke sana, menyerbu bis. Sebuah sheiter yang lebih kecil di Jl. Lapanga Banteng Utara juga begitu. Kemacetan sering terjadi di situ karena bis ngetem seenaknya dan baru bergerak kalau sudah digedor-gedor petugas DLLAJR. Membebaskan Banteng ternyata tidak mudah. Selama 13 tahun berfungsi sebagai terminal pusat, lapangan yang nampak lelah dan kusam itu akan dikembalikan fungsinya seperti yang tercantum dalam rencana induk. Seperti Kamona Ginting, Suwarto Kepala Dinas DLLAJR juga mengatakan, "Lapangan Banteng harus dihijaukan, karena ini sesuai dengan rencana induk." Ada Perjalanan Palsu Tapi sebuah sumber TEMPO di Ditjen Perhubungan Darat lebih cenderung pada pendapat bahwa pembebasan Lapangan Banteng semata-mata karena "pola angkutan di wilayah DKI bergerak terus." Tanpa terminal sentral, justru bisa lebih menguntungkan masyarakat. Mengapa? "Ada perjalanan palsu yang dihilangkan," lanjutnya. Menurut dia, selama ini orang terpaksa singgah di Banteng agar mendapat bis untuk tujuan akhir. Misalnya penumpang dari arah Grogol. Untuk sampai ke Rawamangun, dia harus lebih dulu tukar bis di Lapangan Banteng, karena belum ada bis langsung untuk jarak jauh semacam itu. Sekarang, untuk beberapa rute tertentu, penumpang bisa naik bis langsung jarak jauh, misalnya untuk rute Grogol - Rawamangun, atau Kampung Melayu - Tanjung Priok. Andaikata rute itu belum ada, DLLAJR akan mengusahakan titik singung dari bis pertama ke bis berikutnya. Titik singgung ini tidak mesti di sekitar Lapangan Banteng. Bisa saja di satu tempat lain, yang lebih memudahkan penumpang, apalagi bila jaringan rute sudah direncanakan lebih teliti. Jaringan yang memudahkan penumpang ke tujuan akhir semacam ini, secara bertahap akan diperluas setelah ada survei oleh Ditjen Perhubungan Darat dan Pemda DKI. "Tapi bukan berarti yang dilakukan sekarang ini tanpa survei," kata sumber TEMPO itu pula. Dikatakannya survei angkutan kota sudah lima kali dilakukan, pertama 1972, terakhir 1980. Survei masih akan diadakan lagi untuk menentukan jaringanjaringan yang paling sesuai bagi kebutuhan Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus