LAPANGAN Banteng semakin bergalau. Tapi kini, teruuma pada
jamjam sibuk, lebih hiruk-pikuk. Pluit dan megaone
bersahut-sahutan mengatasi suara derap kaki dan deru mesin bis.
Asap hitam yang menyembur dari knalpot menambah pengap kawasan
itu. Ditambah lagi umpatan para penumpang yang harus berjalan
kaki 100-150 m, sebelum melompat ke atas bis yang membawa mereka
ke tujuan akhir.
Semua ini adalah akibat berantai yang timbul karena terminal
Lapangan Banteng mengalami pengosongan tahap kedua sejak pekan
silam.
Sekali ini, tidak kurang dari 150 bis yang harus menyingkir dari
dalam terminal. Pada pengosongan tahap pertama awal Februari
berselang, sebanyak 200 bis sudah tidak diizinkan lagi singgah
di sana. Sehingga masih 350 bis tersisa yang baru akan dihalau
akhir tahun ini. Sesudah usaha pengosongan bertahap ini selesai,
barulah Lapangan Banteng ditata kembali.
Lapangan yang "tempo doeloe" dikenal sebagai Waterlooplein itu,
akan dirombak menjadi sebuah taman. "Pokoknya dihijaukan, dengan
pengertian indah dan serasi, sesuai dengan lingkungan," ucap Ka.
Humas DKI, Ramona Ginting. Ia tidak menjelaskan apakah yang
disebut sebagai lingkungan itu termasuk juga Hotel Borobudur di
sisi selatan lapangan. Yang pasti dengan adanya sebuah taman
nanti, pemandangan dari jendela hotel itu tak dapat tidak akan
lebih segar. Berbeda jauh dengan keadaan sekarang: sejauhjauh
mata memandang yang nampak hanya terminal gersang dan lapangan
olahraga yang tak begitu terpelihara.
Sementara menunggu kehadiran sebuah taman, polisi dan petugas
DLLAJR nampaknya harus lebih dulu bekerja keras. Sejak 150 bis
yang melayani 12 rute dihalau keluar, tiap waktu mereka harus
siap membunyikan pluit, menggedor bis yang masih suka ngetem.
Hari-hari pertama pengosongan, para penumpang nampak bingung: di
shelter mana dia harus menunggu untuk jurusan yang hendak
ditujunya. "Jangankan mereka, saya yang petugas lapangan juga
masih bingung," ujar seorang petugas DLLAJR yang mengawal
shelter Pejambon. Di situ juga ada dua orang polisi yang belum
begitu paham tentang apa yang sedang terjadi. Jika penumpang
datang bertanya, mereka menunjukkan wajah yang kebingungan.
"Saya cuma mengamankan ketertiban di sini," kilah bung polisi.
Diperoleh kesan bahwa pengosongan kali ini juga tidak
dipersiapkan dengan baik. Beberapa shelter yang dinyatakan dapat
menampung penumpang sebelum mereka naik ke bis yang berikut,
ternyata terlalu sempit Memang shelter sepanjang 30 m yang
terletak di Jl. Wahidin terlihat lebih nyaman dan bisa dijadikan
tempat berteduh, walau hujan turun. Tapi justru di kawasan ini
keadaan nampak berantakan. Mengapa? Banyak bis kota yang lewat
di situ dengan sengaja ngetem di ujung jalan. Maka penumpang pun
berebutan ke sana, menyerbu bis.
Sebuah sheiter yang lebih kecil di Jl. Lapanga Banteng Utara
juga begitu. Kemacetan sering terjadi di situ karena bis ngetem
seenaknya dan baru bergerak kalau sudah digedor-gedor petugas
DLLAJR.
Membebaskan Banteng ternyata tidak mudah. Selama 13 tahun
berfungsi sebagai terminal pusat, lapangan yang nampak lelah dan
kusam itu akan dikembalikan fungsinya seperti yang tercantum
dalam rencana induk. Seperti Kamona Ginting, Suwarto Kepala
Dinas DLLAJR juga mengatakan, "Lapangan Banteng harus
dihijaukan, karena ini sesuai dengan rencana induk."
Ada Perjalanan Palsu
Tapi sebuah sumber TEMPO di Ditjen Perhubungan Darat lebih
cenderung pada pendapat bahwa pembebasan Lapangan Banteng
semata-mata karena "pola angkutan di wilayah DKI bergerak
terus." Tanpa terminal sentral, justru bisa lebih menguntungkan
masyarakat. Mengapa? "Ada perjalanan palsu yang dihilangkan,"
lanjutnya.
Menurut dia, selama ini orang terpaksa singgah di Banteng agar
mendapat bis untuk tujuan akhir. Misalnya penumpang dari arah
Grogol. Untuk sampai ke Rawamangun, dia harus lebih dulu tukar
bis di Lapangan Banteng, karena belum ada bis langsung untuk
jarak jauh semacam itu. Sekarang, untuk beberapa rute tertentu,
penumpang bisa naik bis langsung jarak jauh, misalnya untuk rute
Grogol - Rawamangun, atau Kampung Melayu - Tanjung Priok.
Andaikata rute itu belum ada, DLLAJR akan mengusahakan titik
singung dari bis pertama ke bis berikutnya. Titik singgung ini
tidak mesti di sekitar Lapangan Banteng. Bisa saja di satu
tempat lain, yang lebih memudahkan penumpang, apalagi bila
jaringan rute sudah direncanakan lebih teliti.
Jaringan yang memudahkan penumpang ke tujuan akhir semacam ini,
secara bertahap akan diperluas setelah ada survei oleh Ditjen
Perhubungan Darat dan Pemda DKI. "Tapi bukan berarti yang
dilakukan sekarang ini tanpa survei," kata sumber TEMPO itu
pula. Dikatakannya survei angkutan kota sudah lima kali
dilakukan, pertama 1972, terakhir 1980. Survei masih akan
diadakan lagi untuk menentukan jaringanjaringan yang paling
sesuai bagi kebutuhan Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini