MENGENAKAN jas, lengkap dengan peci, Sarji hadir di Istana
Merdeka, pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus lalu. Karena
itu setelah kembali ke desanya, lokasi transmigrasi Sinunukan I,
Kecamatan Natal, Tapanuli Selatan (Sum-Ut), istrinya
terheran-heran. "Dari mana dapat pakaian sebagus itu," tanyanya.
Menurut Trimurni, istri Sarji, ketika berangkat ke Jakarta
suaminya hanya membawa tiga celana dan empat kemeja. Itu pun
pakaian lama yang ia bawa beberapa bulan lalu dari desa asalnya,
Kalinanas, Kecamatan Wonosegoro, Boyolali (Jawa Tengah).
Sarji adalah salah seorang dari beberapa transmigran teladan
tahun ini. Sebab itu, seperti halnya "teladan-teladan" yang
lain, ia telah didandani agar tampak pantas hadir pada HUT RI
ke36 tadi. Ia terpilih sebagai transmigran teladan antara lain
karena ia mempelopori pembuatan tempe yang kemudian diikuti
transmigran-transmigran yang lain.
Dua hari sebelum hadir di Istana Merdeka, bersama 17 transmigran
teladan dari berbagai daerah, Sarji duduk gelisah di hadapan
Menteri Harun Zain di Dep. Nakertrans. Rekan-rekannya bercerita
tentang kehidupan yang serba menyenangkan di lokasi transmigrasi
masing-masing Tapi ketika sampai pada giliran Sarji harus
bercerita di hadapan Menteri, ternyata ia punya cerita yang
lain.
Babi
Lokasi transmigrasi Sinunukan menurut Sarji sungguh tidak
menguntungkan. Tanahnya tandus karena lapisan humus di atasnya
sudah tergusur oleh buldoser. PT Albaraya yang menggusurnya tak
mau dipersalahkan, "sebab kami terpaksa tergesa-gesa bekerja
dikejar oleh Depnakertrans," ujar salah seorang petugasnya
seperti dikutip Sarji. Sejak diresmikan tahun lalu, sampai
sekarang tanah pertanian di sana enggan menerima tanaman apa
pun. Segala jenis palawija memang tumbuh, tapi tak berbuah.
"Tanah di Sinunukan berbukit-bukit kecil. Dan sebenarnya hanya
cocok untuk tanaman keras. Misalnya kelapa, kopi, cengkih dan
semacamnya," ujar seorang petugas PPL (penyuluh pertanian
lapangan) di sana, Suparman Raharjo. Meski begitu, dengan
pemupukan yang baik, areal pertanian di sana sesungguhnya bisa
menghasilkan. Cuma sayang, pupuk itu pun selalu datang
terlambat. Hal ini tak lain karena letak lokasi transmigrasi itu
sangat terpencil, lagi pula jalan menuju ke sana sangat sulit.
Berada di tengah-tengah hutan belantara, di musim penghujan
jalan ke sana bagaikan kubangan kerbau dengan lumpur setinggi
lutut. Lagi pula harus melewati ladang-ladang, belukar dan hutan
karet serta menyeberangi beberapa sungai.
PT Pusri pernah mengirim pupuk urea dan TSP. Pupuk tersebut
terpaksa dibongkar di Desa Pulau Padang yang jaraknya 16 km dari
Sinunukan. Sebab truk yang membawanya tak mungkin melewati
titian gantung di desa tersebut." Dan untuk mengangkutnya terus
ke Sinunukan pun, celakanya, tak ada kendaraan beroda empat,"
tambah Suparman.
Pernah pula PT Cipta Niaga mengirim pupuk alam ke sana. Juga
terlambat berbulan-bulan. Soalnya, perusahaan tersebut mula-mula
menyerahkan pengirimannya kepada sebuah perusahaan di Medan.
Ketika diketahui perusahaan ini terlibat pemalsuan pupuk alam di
Sitiung, haknya sebagai sub-kontraktor pengadaan pupuk pun
dicabut. Pengiriman pupuk alam itu pun terlambat. Akhirnya para
transmigran terpaksa bertanam di ladang tanpa pupuk sama sekali
selama dua kali masa tanam.
Keresahan para transmigran Sinunukan belum usai sampai di situ.
Mereka juga harus menghadapi berbagai macam hama tanaman. Ada
babi hutan, tikus, walang sangit, kepik, burung pipit. Semuanya
beramai-ramai mengganyang palawija atau sayuran. "Hama-hama
tanaman itu berkembang biak dengan subur, seolah-olah
mengalahkan obat anti-hama yang disemprotkan," ujar Wakil Kepala
Unit Pemukiman di sana, Aman. Akibatnya hasil bumi itu hanya
cukup untuk kebutuhan sendiri.
Lebih celaka lagi, 500 kk transmigran di Sinunukan itu kini lagi
menunggu saat-saat yang mencemaskan. Sebab jatah beras, minyak
tanah, sabun dan ikan asin sejak Juni lalu sudah berakhir.
Artinya mereka tidak lagi mendapat pembagian barang-barang
keperluan itu secara gratis. "Karena itu saya sekeluarga sudah
mulai makan gaplek," kata Karyorejo. transmigran asal Ponorogo,
Jawa Timur "Kalau dalam masa tanam mendatang ini pupuk datang
terlambat lagi, tanaman padi pasti mati semua," tambahnya.
Nasib transmigran lainnya, sejumlah 500 kk, yang tiba dari Jawa
pada April lalu di Sinunukan II (3 km dari Sinunukan I), sama
saja. "Di sini pun tanahnya tandus, karena humusnya telanjur
dibuldoser," kata Mantri Tani Kecamatan Natal, Hifni Tanjung.
"Dan karena tanah di sini pun berbukit-bukit kecil, sulit pula
mengadakan irigasi," tambahnya. Kalaupun dibantu dengan
pemupukan, menurut Hifni percuma saja. "Itu kan sama saja dengan
manusia yang makan vitamin tapi tidak makan nasi," katanya
sambil tertawa.
Agaknya Sinunukan yang te lanjur tandus itu juga sempat memberi
rezeki kepada transmigran dengan cara lain. Di beberapa ladang
yang tanahnya berbatu-batu dan berpasir, mendadak para
transmigran menemukan emas. Mereka pun beramai-ramai mendulang.
Yang sebelumnya tak pernah jadi pendulang, untuk belajar
mengayak emas itu hanya dibutuhkan waktu sehari.
Tempat-tempat seperti itu, baik di Sinunukan I maupun II, ada
kira-kira 100 buah. Rata-rata 2 sampai 3 km dari tempat
pemukiman transmigran, ujar Karna, transmigran dari Tasikmalaya,
Jawa Barat. Daripada menjual ubi Rp 50 sekilo, kini banyak
transmigran mendulang emas. Hasilnya, kalau beruntung, bisa
sampai Rp 7.500 seminggu. Ada yang seharian mendulang berkubang
di lumpur, berhasil menjual emasnya dengan harga Rp 200.000.
Penyakit Kelamin
Pekerjaan seperti itu bagi Karna terasa lucu. Di kampung asalnya
dulu ia bertani menjual ubi atau beras, baru membeli emas.
"Sekarang mencari emas dulu baru membeli beras," katanya sambil
tertawa keras. Di Tasikmalaya ia dulu memikul ubi
berkarung-karung, hasilnya paling tinggi cuma Rp 4.000.
"Sekarang ke pasar dengan pakaian lusuh, saya mengantungi emas,"
tambahnya.
Karena itu tidak sedikit transmigran yang berusaha mencari
penghasilan di luar lokasi transmigrasi. Terutama menjelang
Lebaran yang lalu. Misalnya ke Sungai Natal, 5 km dari
Sinunukan, untuk mendulang emas. Penduduk asli disana sejak lama
memang mendulang emas. Tapi ada saja yang menuduh para
transmigran itu melarikan diri dari lokasi mereka. "Padahal
pekerjaan itu sudah seizin Pak Aman, Wakil Kepala Unit Pemukiman
Sinunukan," ujar salah seorang transmigran.
Itu tak berarti memang tidak ada transmigran yang melarikan
diri, karena tak betah. Jumlahnya, menurut sebuah sumber,
meliputi 40 kk, berasal dari bermacam-macam daerah. Menurut
Lismaini, transmigran lokal asal Panyabungan, Tapanuli Selatan
yang jadi guru agama honorer di SD Inpres Sinunukan 1, yang
melarikan diri itu kebanyakan bekas gelandangan atau pelacur.
"Banyak di antara mereka yang mengaku dikawinkan secara massal
di Jakarta, kemudian merasa kecewa atau tidak serasi dengan
pasangannya," cerita Lismaini. Cerita itu dikuatkan oleh Camat
Natal, Syahril BA. "Saya pernah melihat ada eks pelacur itu yang
mencari mangsa di luar lokasi transmigrasi di malam hari,"
katanya.
Dan setelah ongkos terkumpul, mereka pun minggat. Cerita itu
jadi lebih kuat ketika dokter Puskesmas Natal pernah melarang
sembilan pasang transmigran yang baru tiba di sana berkumpul
sebagai suami-istri. "Dari pemeriksaan secara medis, mereka itu
mengidap penyakit kelamin," kata Syahril.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini