Riuh gemuruh hilir berganti
Simpang siur tidak pernah sunyi
Aneka warna corak ragamnya
Macam-macam lagak aksinya.
Ada Don Kisot mengaku patriot
Rambutnya panjang serta berjenggot
Ada lagak bintang layar putih
Mondar-mandir cari kekasih.
............
Itulah keadaan disana
Disepanjang Malioboro raya
Lebih terkenal dengan gelarnya
Broadway di Kota Yogyakarta.
TAPI sekarang, suasana dalam lagu Sepanjang Malioboro yang
tcrkenal di saat-saat Perang Kemerdekaan itu, telah lama hilang.
Yang riuh gemuruh bukan lagi mereka yang berjalan simpang-siur,
tapi suara knalpot sepeda motor yang dikebut
sekencang-kencangnya. Dan yang berlagak Don Kisot dengan rambut
gondrong, sekarang mungkin seorang penodong.
Jalan lurus yang membujur ke utara dari Kraton Sultan Yogya ini
dibangun 1756. Fungsinya, jika Sultan duduk di Siti Hingil
(bagian depan Kraton) mencari inspirasi bisa menatap puncak
gunung Merapi dengan jelas. Di samping itu jalan lurus itu
adalah jalan yang selalu dilalui upacara kebesaran kraton. Sebab
kereta kebesaran kraton, Kanjeng Kiai Garudayeksa, selalu lewat
di jalan ini jika kirab (perjalanan) sesudah ada penobatan.
Begitu pula, kereta ini lewat di Malioboro, jika Sultan
menyongsong tamu agung di Stasiun Tugu.
Jalan lurus itu, semula diberi berbagai nama. Dari alun-alun
sampai perematan (tempat air mancur sekarang) iberi nama
Kadasterstraat (sekarang Jl. Trikora). Dari sini ke utara sampai
jam antik (di samping Gedung Agung--istana Presiden RI) itu,
dinamai Residentielaan (sekarang Jl. A. Yani). Dari Jam antik
terus ke utara sampai perempatan pertama, dinamai Petjinan yang
penghuninya kebanyakan penduduk keturunan Cina (sekarang bagian
dari Jl. A. Yani). Dari perempatan ini ke utara, sampai Stasiun
Tugu, diberi nama Malioboro.
Ada yang berpendapat nama Malioboro berasal dari nama seorang
perwira Inggris. Namun ada pula yang menganalisa, Malioboro dari
asal kata Malya dan Bbara. Menurut buku A Sanskrit Reader
karangan C. Rockwell Leman, Malya berarti mahkota atau ratu .
Seddang Bhara dalam kamus A Practical Dictionary (Arthur Antony
Macdonell) diterjemahkan ke bahasa Inggris: Burden, task, alias
tugas atau dharma. Dengan begitu Malioboro berarti: Dharmaning
Ratu. Ini hasil analisa Tumenggung Jurumartani seorang yang
banyak menulis mengenai Kota Yogya.
Sejak 1946, sudah ada penjual gudeg lesehan (duduk di atas
tikar) malam hari di sepanjang pertokoan bertingkat dua yang
manis yang indah itu di sela detak-detak sepatu kuda yang
menarik andong (dokar). Pada 1960an, penjual gudeg lesehan
semakin banyak, dari malam hari sampai pagi. Kehidupan malam
terasa hangat, santai dan akrab. Sementara siang hari, pedagang
kaki lima di pinggir jalan yang membujur, menjadikan Malioboro
urat nadi perdagangan, sekaligus tempat rekreasi.
Gulai Kambing.
Menjelang 1970-an, kehidupan malam di sepanjang Malioboro
bertambah ramai karena banyak seniman kota ini yang
menjadikannya tempat begadang sambil menghidupi para penjual
gudeg. Konon, para penyair menulis puisinya malam-malam di sini,
sambil terkantuk-kantuk.
Di Malioboro ini pernah pula diadakan pameran poster-protes dan
pembacaan puisi secara terbuka.
Suasana inilah yang hilang sekarang. Malam hari, di tahun 1981
ini, memang masih terdapat penjual gudeg lesehan, tapi nyanyian
pesinden dan ketenangan sudah berganti dengan suara sepeda motor
yang ngebut. Bahkan di depan Pasar Beringharjo, pasar utama di
kota ini bukan lagi gudeg yang laris, tapi timlo Solo dan gulai
kambing.
Juga para seniman penyair, pelukis dan sejenisnya--sudah jarang
nongol malam hari di sini, apalagi untuk membaca atau menulis
puisi. Kalau mau makan malam hari di sini, pulangnya harus
hati-hati, bisa-bisa kena todong. Padahal lampu temaram tahun
1960-an sudah berganti cahaya benderang dari reklame toko-toko
yang bertingkat modern.
Siang hari sekarang di Malioboro penuh bau keringat. Orang lalu
lalang tak lagi bertegur sapa, tapi bergegas dengan
kesendiriannya, untuk menyelinap dari satu toko ke toko lain.
Hatihati berjalan di emperan toko, karena pedagang kaki-lima
menaruh barangnya secara semberono. Dompet diawasi, agar tak
dicopet. Jika mau sedikit leluasa dan menghindari bau keringat,
berjalan saja di jalur lambat. Tapi risikonya sewaktu-waktu
dapat diseruduk becak.
Pawai sepeda yang di tahun 1960an tak putus-putus, kini jarang
terlihat --didesak kendaraan bermotor. Kemacetan di sini sudah
rutin, apalagi kendaraan parkir dengan menyita jalur lambat
sebelah timur--selain sebagian jalan utama.
Itulah Malioboro yang sekarang. Bagi mereka yang baru sekali ke
Yogya, tidak merasakan apa-apa, sama saja dengan suatu sudut
kota besar lainnya. Bahkan yang sudah 2 atau 3 tahun di Yogya,
tak merasakan "kehilangan sesuatu" melihat Malioboro. Karena
itu, anak-anak muda (apalagi pelajar/mahasiswa) banyak yang
bertanya, apa perlunya mengurus Malioboro berlebihan. Ini jelas
lain dengan para orang tua dan siapa saja yang pernah mengalami
masa Malioboro sebelum tahun 1970-an, apalagi di masa revolusi.
"Yang hilang di Malioboro, selain cultural space (tata ruang
yang punya nilai kultural) adalah fungsinya sebagai ajang
pertemuan keakraban dan rekreasi ," kata Ir. -Bondan seorang
warga Yogya yang ada di kota ini sejak 1952.
Suasana yang berbeda dan kenangan yang lain itu mau dihidupkan
lagi melalui gagasan Menteri PU Purnomosidhi. "Bapak-bapak dan
mereka yang punya kenangan indah tentang Malioboro, memang
merasa kehilangan dan tentu kasihan melihat wajahnya sekarang,"
lanjut Ir. Bondan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini