Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Don Kisot Baru Di Malioboro

Suasana Malioboro dulu dan sekarang. Bermacam-macam versi yang diberikan mengenai asal-usul nama Malioboro.

5 September 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riuh gemuruh hilir berganti Simpang siur tidak pernah sunyi Aneka warna corak ragamnya Macam-macam lagak aksinya. Ada Don Kisot mengaku patriot Rambutnya panjang serta berjenggot Ada lagak bintang layar putih Mondar-mandir cari kekasih. ............ Itulah keadaan disana Disepanjang Malioboro raya Lebih terkenal dengan gelarnya Broadway di Kota Yogyakarta. TAPI sekarang, suasana dalam lagu Sepanjang Malioboro yang tcrkenal di saat-saat Perang Kemerdekaan itu, telah lama hilang. Yang riuh gemuruh bukan lagi mereka yang berjalan simpang-siur, tapi suara knalpot sepeda motor yang dikebut sekencang-kencangnya. Dan yang berlagak Don Kisot dengan rambut gondrong, sekarang mungkin seorang penodong. Jalan lurus yang membujur ke utara dari Kraton Sultan Yogya ini dibangun 1756. Fungsinya, jika Sultan duduk di Siti Hingil (bagian depan Kraton) mencari inspirasi bisa menatap puncak gunung Merapi dengan jelas. Di samping itu jalan lurus itu adalah jalan yang selalu dilalui upacara kebesaran kraton. Sebab kereta kebesaran kraton, Kanjeng Kiai Garudayeksa, selalu lewat di jalan ini jika kirab (perjalanan) sesudah ada penobatan. Begitu pula, kereta ini lewat di Malioboro, jika Sultan menyongsong tamu agung di Stasiun Tugu. Jalan lurus itu, semula diberi berbagai nama. Dari alun-alun sampai perematan (tempat air mancur sekarang) iberi nama Kadasterstraat (sekarang Jl. Trikora). Dari sini ke utara sampai jam antik (di samping Gedung Agung--istana Presiden RI) itu, dinamai Residentielaan (sekarang Jl. A. Yani). Dari Jam antik terus ke utara sampai perempatan pertama, dinamai Petjinan yang penghuninya kebanyakan penduduk keturunan Cina (sekarang bagian dari Jl. A. Yani). Dari perempatan ini ke utara, sampai Stasiun Tugu, diberi nama Malioboro. Ada yang berpendapat nama Malioboro berasal dari nama seorang perwira Inggris. Namun ada pula yang menganalisa, Malioboro dari asal kata Malya dan Bbara. Menurut buku A Sanskrit Reader karangan C. Rockwell Leman, Malya berarti mahkota atau ratu . Seddang Bhara dalam kamus A Practical Dictionary (Arthur Antony Macdonell) diterjemahkan ke bahasa Inggris: Burden, task, alias tugas atau dharma. Dengan begitu Malioboro berarti: Dharmaning Ratu. Ini hasil analisa Tumenggung Jurumartani seorang yang banyak menulis mengenai Kota Yogya. Sejak 1946, sudah ada penjual gudeg lesehan (duduk di atas tikar) malam hari di sepanjang pertokoan bertingkat dua yang manis yang indah itu di sela detak-detak sepatu kuda yang menarik andong (dokar). Pada 1960an, penjual gudeg lesehan semakin banyak, dari malam hari sampai pagi. Kehidupan malam terasa hangat, santai dan akrab. Sementara siang hari, pedagang kaki lima di pinggir jalan yang membujur, menjadikan Malioboro urat nadi perdagangan, sekaligus tempat rekreasi. Gulai Kambing. Menjelang 1970-an, kehidupan malam di sepanjang Malioboro bertambah ramai karena banyak seniman kota ini yang menjadikannya tempat begadang sambil menghidupi para penjual gudeg. Konon, para penyair menulis puisinya malam-malam di sini, sambil terkantuk-kantuk. Di Malioboro ini pernah pula diadakan pameran poster-protes dan pembacaan puisi secara terbuka. Suasana inilah yang hilang sekarang. Malam hari, di tahun 1981 ini, memang masih terdapat penjual gudeg lesehan, tapi nyanyian pesinden dan ketenangan sudah berganti dengan suara sepeda motor yang ngebut. Bahkan di depan Pasar Beringharjo, pasar utama di kota ini bukan lagi gudeg yang laris, tapi timlo Solo dan gulai kambing. Juga para seniman penyair, pelukis dan sejenisnya--sudah jarang nongol malam hari di sini, apalagi untuk membaca atau menulis puisi. Kalau mau makan malam hari di sini, pulangnya harus hati-hati, bisa-bisa kena todong. Padahal lampu temaram tahun 1960-an sudah berganti cahaya benderang dari reklame toko-toko yang bertingkat modern. Siang hari sekarang di Malioboro penuh bau keringat. Orang lalu lalang tak lagi bertegur sapa, tapi bergegas dengan kesendiriannya, untuk menyelinap dari satu toko ke toko lain. Hatihati berjalan di emperan toko, karena pedagang kaki-lima menaruh barangnya secara semberono. Dompet diawasi, agar tak dicopet. Jika mau sedikit leluasa dan menghindari bau keringat, berjalan saja di jalur lambat. Tapi risikonya sewaktu-waktu dapat diseruduk becak. Pawai sepeda yang di tahun 1960an tak putus-putus, kini jarang terlihat --didesak kendaraan bermotor. Kemacetan di sini sudah rutin, apalagi kendaraan parkir dengan menyita jalur lambat sebelah timur--selain sebagian jalan utama. Itulah Malioboro yang sekarang. Bagi mereka yang baru sekali ke Yogya, tidak merasakan apa-apa, sama saja dengan suatu sudut kota besar lainnya. Bahkan yang sudah 2 atau 3 tahun di Yogya, tak merasakan "kehilangan sesuatu" melihat Malioboro. Karena itu, anak-anak muda (apalagi pelajar/mahasiswa) banyak yang bertanya, apa perlunya mengurus Malioboro berlebihan. Ini jelas lain dengan para orang tua dan siapa saja yang pernah mengalami masa Malioboro sebelum tahun 1970-an, apalagi di masa revolusi. "Yang hilang di Malioboro, selain cultural space (tata ruang yang punya nilai kultural) adalah fungsinya sebagai ajang pertemuan keakraban dan rekreasi ," kata Ir. -Bondan seorang warga Yogya yang ada di kota ini sejak 1952. Suasana yang berbeda dan kenangan yang lain itu mau dihidupkan lagi melalui gagasan Menteri PU Purnomosidhi. "Bapak-bapak dan mereka yang punya kenangan indah tentang Malioboro, memang merasa kehilangan dan tentu kasihan melihat wajahnya sekarang," lanjut Ir. Bondan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus