MENGENAKAN saari kuning susu, di kantornya, Kamis pekan lalu,
Menteri PU Purnomosidi dengan senang hati mengulang cerita
tentang gagasannya merombak Malioboro. "Dilarang parkir di
Malioboro adalah prinsip perombakan itu," kata ahli pengembangan
wilayah tersebut. Insinyur ITB kelahiran Klaten ini melanjutkan
uraiannya: "Di tempat parkir yang sekarang, dibua trotoar lebar,
sehingga orang akan enahenak berjalan di situ."
Adapun gagasan perombakan Malioboro dicetuskan Menteri PU 24
Agustus silam di Yogya, di hadapan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Rembugan ini juga dihadiri oleh Paku Alam VIII, Pimpinan Proyek
Waduk Wonogiri Ir. Suminto dan Ketua Kwarnas Pramuka Mashudi.
Menurut Purnomosidi, jalur pemisah yang membujur di tengah Jalan
Malioboro akan dirombak untuk ditata lebih baik. Di kedua sisi
jalan akan dibuat trotoar, yang satu untuk pejalan kaki, satunya
lagi untuk becak. "Jadi becak lewat di atas trotoar," lanjut
Menteri yang rupanya bukan hanya akan mempertahankan becak, tapi
juga pedagang kaki lima.
Bungkam & Cemas
Di antara toko dan trotoar akan disediakan tempat khusus untuk
pedagang kaki lima. "Ini penting, sebab umumnya pribumi," dia
menambahkan. Lalu, di mana tempat parkir? Menurut Purnomosidi,
lapangan parkir akan dibangun di 2 atau 3 tempat di belakang
pertokoan di sana. Ini berarti penduduk akan tergusur. "Mereka
akan dibuatkan rumah flat yang lebih baik," tambah Purnomosidi
pasti.
Yang tidak kurang penting, air mancur di depan kantor pos juga
akan ikut tergusur. Sebab air mancur tersebut selama ini
dirasakan menghalangi pemandangan lurus dari kraton ke arah
utara. Konon jika dulu Sultan lenggah (duduk) di Sitihinggil,
beliau bisa memandang Gunung Merapi dengan aman tanpa halangan.
(lihat juga box).
Alun-alun utara akan dijadikan taman. Di mana tempat perayaan
Sekaten "Bisa dibuatkan dengan membangun semacam lokasi untuk
Pekan Raya Jakarta," kata Menteri yang berjanji akan membantu
menyediakan dana perombakan, paling sedikit Rp 600 juta.
Mendengar adanya gagasan perombakan, warga Kota Yogya umumnya
gembira, sementara kalangan pejabat Pemda Kodya Yogya menjadi
sibuk -tapi juga bungkem. Masalahnya di samping biaya, ada juga
kecemasan: apakah mungkin perombakan seperti itu akan terlaksana
seluruhnya sehingga berhasil mengembalikan Malioboro ke warna
aslinya?
Walikota Yogya, Soegiarto, yang bertugas sejak tiga bulan lalu,
segera mengadakan rapat staf membahas perubahan jalan di jantung
kota itu. Namun Drs. Soempono, Wakil Ketua DPlD Kodya Yogya,
mengaku belum paham benar akan gagasan Menteri PU. "Menggusur
kampung untuk tempat parkir? Kampung yang mana?" tanyanya
terheranheran. Tapi buru-buru ia menambahkan, "saya senang,
seorang Menteri menaruh perhatian besar pada sebuah jalan di
ibukota provinsi, walau nantinya gagasan itu perlu dibicarakan."
Malioboro, memang bukan sekedar nama jalan. Ia menyandang beban
yang terlalu berat, atau meminjam kata-kata Purnomosidi,
Malioboro sekaligus menampung fungsi primer dan sekunder dari
Kota Yogya. Jalan ini adalah juga jalan protokol, di kedua
sisinya terdapat kantor puat pemerintahan DIY, markas
Ko,vilhan, markas kepolisian dan kantor pemerintah lainnya.
Juga menjadi pusat perdagangan, sekaligus jalan penghubung ke
kraton Dulu jalan ini juga menjadi ajang pertemuan warga kota,
siang maupun malam, dengan penjual gudeg lesehan (duduk di atas
tikar) yang menjajakan gudeg tersohor itu semalam suntuk.
Dirombak pertama kali tahun 1973, di bawah Walikota Soedjono
A.J. (kini kepala Direktorat Sospol Pemda KalTim), Malioboro
diperlebar dengan menggusur bagian depan toko agar pedagang kaki
lima aman dan kebagian tempat. Di tengah dibuatkan pula jalur
pemisah dengan ditanami pohon palm. Menyusul pula sebuah air
mancur di pangkal (selatan) jalan itu.
Tapi pelaksanaannya banyak dianggap agak terburu-buru. Karena
menurut Kep. Dinas Tata Kota Yogya, Ir. Wisnukoro, semua itu
dilakukan "dalam rangka menyongsong Konperensi Pata '74."
Tampang Malioboro hasil polesan itu mengingatkan orang pada
perawan kelebihan gincu. Jalur pemisah justru menyebabkan
lalulintas semrawut. Apalagi karena jalur lambat di sisi timur
dikhususkan hanya untuk parkir, sedangkan jalur lambat di sisi
barat tidak sanggup menampung sekaligus kendaraan khas Yogya:
andong, becak, sepeda.
Tahun 1976 Walikota Achmad menggantikan Soedjono. Segera ia
merasa tidak betah melihat kesemrawutan Malioboro. Pada 1977
dengan menghadang banyak protes, ia mempersempit jalur pemisah
yang lebar itu dan mencabut semua palm raja yang sudah mulai
rindang. Keadaan seperti itulah yang agaknya membuat Sri Sultan
kecewa dan karena itu akan ditata kembali oleh Purnomosidi.
Ir. Wisnukoro dalam nada sedikit membela Achmad berkata,
"perombakan versi Walikota Achmad itu melihat kepentingan
lalulintas." Nyatanya lalulintas tetap saja semrawut, meskipun
semua perombakan itu berdasarkan saran tim ahli UGM juga. Ini
diakui oleh Ir. Bondan Hermani Slamet MSc, Kepala Pusat Riset
Masalah Perencanaan dan Pengembangan Arsitektur FT UGM. Tapi ia
mengingatkan konsep tim mereka tidak tertuang sebagaimana
mestinya.
Pokoknya, katanya, ada kekeliruarl strategi, serta tidak
disertai tindak lanjut pengamanan lingkungan. Contohnya, gagasan
memasukkan pedagang kaki lima ke emper toko telah menyebabkan
toko sempit. Akibatnya pemilik toko membangun ke atas dan ini
berarti sama sekali merusak arsitektur sepanjang Malioboro yang
khas itu. "Citra Malioboro bukanlah gedung bertingkat," kata
Bondan akhirnya.
Citra Malioboro? Bagaimana itu? Pertanyaan ini agaknya kelak
akan terjawab melalui studi yang akan dibuat UGM, dan juga
melalui sayembara design yang hasilnya akan dipamerkan pada hari
kebaktian PU Desember mendatang di Yogya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini