Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang penderita kanker tak mendapat dispensasi karantina.
BNPB sempat diingatkan agar tak dianggap berkongsi dengan hotel dalam bisnis karantina.
Di Rusun Pasar Rumput ada bisnis pengantaran peserta karantina.
TURUN dari pesawat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Kamis, 9 Desember lalu, Ardiyanto Pramono langsung berhadap-hadapan dengan petugas Covid-19 di pos pemeriksaan kesehatan. Hari itu ia tiba bersama adik dan ayahnya yang berobat kanker di Singapura. Petugas keamanan di tempat pengecekan memberi tahu Ardi—panggilan Ardiyanto—bahwa hotel karantina yang dipesannya sudah penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa jam sebelumnya, ketika Ardi mengurus tiket di Bandara Changi, Singapura, petugas loket meminta dia memesan hotel karantina di Indonesia. Bukti pemesanan hotel itu menjadi syarat agar maskapai penerbangan dapat menerbitkan tiket. Ardi memilih paket menginap selama lima hari di Hotel Mercure, Jakarta Selatan, seharga Rp 5 juta via aplikasi agen perjalanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya terdesak karena harus buru-buru check in,” kata Ardi saat dihubungi pada Selasa, 14 Desember lalu. Laki-laki 30 tahun itu sempat memberi tahu petugas di Soekarno-Hatta ihwal kondisi ayahnya yang sakit kanker. Tapi petugas tak memberikan tanggapan.
Mulai 2 Desember lalu, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengeluarkan aturan wajib karantina selama sepuluh hari bagi mereka yang tiba dari negara lain. Sebelumnya, pada 29 November lalu, pemerintah mengubah masa karantina dari tiga menjadi tujuh hari. Penyebabnya, mulai ditemukan varian baru virus penyebab Covid-19, Omicron, di sejumlah negara.
“Diperpanjang dari tujuh hari jadi sepuluh hari, sambil kami memahami dan mendalami informasi soal varian baru ini,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, Rabu, 1 Desember lalu.
Gagal menginap di Mercure, Ardi meminta pihak hotel memulangkan ongkos karantina yang sudah dibayar. Setelah itu, petugas di pos pemeriksaan menawarkan paket karantina selama sepuluh hari. Awalnya Ardi disodori sebuah hotel di kawasan Mangga Dua, Jakarta Pusat. Namun ia menolak karena lokasinya terlampau jauh.
Tawaran berikutnya adalah Hotel Holiday Inn di Matraman, Jakarta Timur, yang dibanderol Rp 23 juta untuk tiga orang, termasuk ongkos tes usap dua kali. Menurut Ardi, petugas karantina tak menjajakan hotel lain dan berkali-kali meminta dia segera memilih kamar.
Ardi sempat mempertanyakan tarif yang sampai puluhan juta rupiah, tapi petugas menyebutkan hotel itu termasuk paling murah. “Namanya juga kepepet, akhirnya saya memilih Hotel Holiday Inn,” ujar warga Magelang, Jawa Tengah, itu.
Seorang petugas hotel sudah menunggu Ardi dan keluarganya di pintu keluar begitu mereka setuju menginap. Sebelum naik mobil jemputan, Ardi menyerahkan paspornya yang akan ditahan selama menjalani karantina. Di lobi hotel, resepsionis memeriksa kelengkapan dokumen dan meminta Ardi membayar kontan ongkos paket karantina untuk tiga orang.
Mereka tak mendapat gelang khusus sebagai tanda peserta karantina. Selama masa karantina, Ardi dan keluarganya mendekam terus di kamar. Tiga kali sehari, petugas hotel mengirimkan makanan. “Kadang-kadang makanan telat diantar,” tutur Ardi.
Menurut Ardi, pihak hotel tak pernah memberi waktu berjemur kepada mereka. Ia mulai terserang radang dan flu sepekan setelah menjalani karantina karena terlalu lama tinggal di kamar berpenyejuk udara. Petugas hanya pernah sekali mengizinkan Ardi keluar dari kamar karena ayahnya harus kontrol kesehatan di Rumah Sakit Gading Pluit, Jakarta Utara.
“Kami seperti menerima hukuman karena pergi ke luar negeri,” ujarnya. Pada hari kelima, Ardi sempat menanyakan peluang mereka mendapat dispensasi karena kondisi ayahnya. Tapi petugas kesehatan di hotel mengatakan cara mendapat dispensasi itu sangat birokratis.
Direktur Pencegahan Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan kondisi yang dialami keluarga Ardi berpeluang mendapat dispensasi karantina mandiri. “Mengajukan ke Satgas Covid dan akan diberi pertimbangan khusus,” kata Siti.
Pembawa acara olahraga, Lucy Wiryono, juga kelabakan mencari hotel karantina karena perubahan aturan isolasi dari tiga hari menjadi tujuh, lalu sepuluh hari. Sebelum terbang ke Amerika Serikat, Lucy memesan paket karantina selama tiga hari di sebuah hotel di Jakarta Selatan. Paket itu dibanderol sekitar Rp 3,6 juta.
Antrian warga menunggu jemputan usai menjalani karantina di Rusun Pasar Rumput, Jakarta, 16 Desember 2021/TEMPO/Muhammad Hidayat
Saat Lucy berada di Negeri Abang Sam, pemerintah mengumumkan perpanjangan masa karantina menjadi sepuluh hari. Ia pontang-panting memperpanjang paket karantina dan harus merogoh kocek Rp 10 juta. Pada 15 Desember lalu, Lucy telah menyelesaikan masa isolasinya. “Peraturan berubah-ubah selama pandemi ini dan tak ada gunanya marah-marah,” tuturnya.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menjelaskan, tarif karantina dianggap tinggi karena ada pengeluaran yang harus ditanggung pihak hotel. Misalnya jasa dokter, perawat, tenaga keamanan, dan perawatan perangkat lunak situs pemesanan hotel.
Ia membantah bila hotel yang ikut program karantina disebut mencari cuan di tengah masa pandemi. “Kami memang berbisnis, tapi sangat dibatasi oleh batas tarif yang sudah ditentukan,” ujar Maulana. Meski begitu, ia tak membantah jika aturan karantina disebut bisa mendatangkan profit untuk penginapan, terutama yang okupansinya rendah.
Menurut dia, perubahan kebijakan karantina juga membuat pengusaha hotel kelabakan. Penyebabnya, kamar hotel penuh mendadak. PHRI dan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 memutuskan menambah jumlah hotel karantina menjadi 100 dari sebelumnya 74. Hingga Rabu, 15 Desember lalu, terhitung ada 13.500 kamar hotel bisa menjadi lokasi karantina.
Wakil Ketua Komisi Sosial Dewan Perwakilan Rakyat Ace Hasan Syadzily mempertanyakan perubahan aturan dan mahalnya biaya karantina di hotel dalam rapat kerja dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin, 13 Desember lalu. Ia menerima keluhan dari sejumlah kenalannya ihwal ongkos menginap selama sepuluh hari yang bisa mencapai Rp 24 juta.
Politikus Partai Golkar itu mewanti-wanti BNPB agar tak dianggap berkongsi dengan pengusaha hotel dalam bisnis karantina. “Jangan sampai ada tuduhan semacam itu,” kata Ace.
Kepala BNPB Suharyanto mengatakan penetapan durasi masa karantina bukan kewenangan lembaganya, melainkan para menteri. Adapun Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan kebijakan itu demi mencegah masuknya varian Omicron.
Berbeda dengan mereka yang mengikuti karantina di hotel, pelaku perjalanan dari luar negeri lain harus menjalani masa pengucilan di tempat yang disediakan oleh pemerintah. Riza Nasser, karyawan swasta, kembali ke Jakarta pada 8 Desember. Saat itu ia baru saja mengunjungi istri dan anaknya yang tinggal di Malaysia.
Di Bandara Soekarno-Hatta, Riza menyatakan kepada petugas kesehatan bahwa ia belum menyewa kamar hotel karena perubahan durasi karantina. Petugas langsung menawarkan paket karantina sepuluh hari di hotel di sekitar bandara dengan tarif Rp 8,2 juta. Jumlah itu sudah termasuk biaya dua kali tes usap dan konsumsi. “Saya bilang tidak punya uang sebanyak itu untuk karantina,” ucap Riza.
Laki-laki 35 tahun itu sempat menawar biaya kamar Rp 300 ribu per malam. Namun petugas menolak dan mengatakan tarif itu paling murah dibanding hotel lain. Tak bersepakat, Riza disuruh bergabung dengan puluhan penumpang yang tak sanggup membayar biaya karantina di hotel. Sebagian adalah anggota jemaah tablig yang baru pulang dari Pakistan.
Menjelang tengah malam, seorang petugas menghampiri untuk mendata identitas mereka. Mereka lalu diminta naik ke bus Damri menuju Rumah Susun Pasar Rumput, Jakarta Pusat. Rusun itu salah satu lokasi karantina terpusat yang disediakan secara gratis oleh pemerintah.
Selama tinggal di Rusun Pasar Rumput, Riza berkali-kali mendengar pengumuman lewat pengeras suara. Kabar yang disampaikan: ada pasien karantina yang positif terinfeksi dan hendak dievakuasi ke Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Pusat. Jika ada wara-wara seperti itu, penghuni lain diminta masuk ke kamar sampai evakuasi selesai.
Pada Rabu dinihari, 15 November lalu, seorang tenaga kesehatan mengambil sampel tes usap. Jika hasilnya negatif, Riza bisa langsung pulang tanpa perlu menunggu masa karantina rampung. Penyebabnya, Rusun Pasar Rumput makin penuh. Esoknya, hasil tes keluar dan Riza dinyatakan negatif. Ia hanya menjalani karantina selama delapan hari.
Pada hari kepulangan Riza, lantai tiga rusun berubah bak terminal. Para “alumnus” karantina berbaur dengan calo transportasi yang menawarkan jasa pengantaran. Mereka disarankan memakai jasa transportasi yang disediakan Satgas Covid-19 Pasar Rumput. Spanduk imbauan itu terpacak di berbagai sudut ruangan.
Menanyakan ongkos ke Ciledug, Tangerang, kawan Riza yang juga menjalani karantina harus membayar Rp 200 ribu. Adapun biaya ke rumah kos Riza yang berjarak sekitar 8 kilometer dipatok Rp 150 ribu. Pemesan taksi online harus melaporkan nama dan nomor telepon penjemput kepada tentara yang berjaga. “Semoga ada kebijakan yang lebih efektif dan murah dalam menangani pandemi Covid-19,” ujar Riza.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Friski Riana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cuan Bisnis Penginapan"