Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mafia tanah memiliki jaringan luas dan kuat, termasuk melibatkan orang BPN.
Pemerintah menargetkan pendaftaran semua tanah rampung pada 2025.
Realiasi redistribusi lahan dalam program reforma agraria masih jauh dari target 4,5 juta hektare.
MASALAH mafia tanah kembali mencuat setelah sejumlah tokoh publik dan selebritas, seperti mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Dino Patti Djalal; dan artis Nirina Zubir, mengadukan masalah tanah mereka ke kepolisian. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil menilai kasus yang menimpa mereka sebagai salah satu bentuk praktik mafia tanah dan bisa menjadi pengingat publik agar lebih berhati-hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sofyan, mafia tanah memiliki jaringan kuat sehingga bisa menang di pengadilan meski berbekal dokumen palsu. Ia mengakui ada orang Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang terlibat. "Sebanyak 125 orang BPN kami tindak. Kami disiplinkan, pecat, pidanakan," ujarnya kepada wartawan Tempo, Abdul Manan, Iwan Kurniawan, dan Riky Ferdianto, pada Kamis, 9 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam wawancara selama lebih-kurang satu jam di kantornya, Sofyan menjelaskan modus mafia tanah, dari pemalsuan surat hingga gugatan ke pengadilan, serta keterlibatan orang BPN. Ia juga menjelaskan perkembangan reforma agraria yang menjadi program unggulan Presiden Joko Widodo dan rencana pembentukan bank tanah yang diamanatkan Undang-Undang Cipta Kerja.
Apa komentar Anda tentang kasus mafia tanah yang marak belakangan ini?
Yang kita sebut mafia tanah itu adalah penjahat yang menggunakan tanah sebagai obyek kejahatannya. Jaringannya kuat sekali. Ada oknum BPN, kepala desa, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), pengadilan, dan aparat penegak hukum. Modusnya bermacam-macam. Ada yang bikin girik (bukti bayar pajak tanah zaman dulu) palsu, abal-abal. Tapi, sejak 1990-an, girik tidak dipakai lagi dan tidak ada yang kelola. Akhirnya penjahat-penjahat ini mencari formulir girik yang sudah tidak terurus di arsip kantor pajak. Maka beberapa kali yang ditangkap polisi itu sebenarnya formulirnya memang formulir bener. Girik itu diambil oleh orang-orang tertentu, kemudian dia palsukan. Stempel dibikin. Kemudian Anda punya bukti surat tanah, dia gugat. Kalau tak punya bukti, mereka punya duit. Merek bayar oknum pengadilan. Bisa kalah kita berhadapan dengan mafia.
Adakah modus lain?
Pura-pura membeli rumah atau tanah. Kalau ada yang jual tanah di Jakarta, kalau pembeli tidak kenal, gunakanlah jasa pihak yang punya reputasi baik. Bisa-bisa saat Anda pasang iklan jual rumah, datang orang mengaku mau beli. Untuk menunjukkan keseriusan, misalnya harga rumah Rp 30 miliar, uang mukanya Rp 1 miliar. Ditransfer uangnya. Dengan alasan untuk mengecek, dia meminjam sertifikat. Sertifikat itu kemudian dipalsukan. Dia kembalikan sertifikat itu dan mengatakan tidak jadi membeli. Sertifikat itu sudah palsu. Yang asli dia gadaikan (untuk mendapat pinjaman dana). Ada yang ke bank, koperasi. Tiba-tiba, karena (pinjaman) enggak dibayar, rumah Anda dilelang, padahal Anda tidak tahu. (Kalau) itu melibatkan notaris, kami pecat notarisnya. Kalau sudah ada akta jual-beli dan ke PPAT, (mafia tanah) kemudian pergi ke BPN. Bahkan konon kabarnya ada kasus sertifikat palsu karena perubahan di dalam kantor BPN. Kami sekarang sedang mengauditnya.
Mengapa Anda membuat nota kesepahaman dengan Komisi Yudisial?
Mafia tanah ini biasanya penjahat yang memakai dokumen palsu. Dia menggugat ke pengadilan. Oknum hakim, entah karena tidak tahu entah otaknya enggak benar, memenangkannya. Di Makassar, hampir sepertiga tanah digugat, dari pelabuhan, Pelindo, jalan tol, hingga masjid. Ada yang menang, padahal dokumennya palsu. Maka saya lapor ke Presiden. Presiden memerintahkan aparat penegak hukum. (Kami membuat) nota kesepahaman dengan kejaksaan dan kepolisian. Kami tahu ada banyak oknum hakim juga (yang terlibat), maka kami minta Komisi Yudisial mengawasi. Kami berbicara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, Mahkamah Agung. Orang kami juga ada yang terlibat. Sebanyak 125 orang BPN kami tindak. Kami disiplinkan, pecat, pidanakan, tergantung kesalahannya.
Pegawai BPN itu umumnya terlibat dalam hal apa?
Kolusi. Mafia itu punya surat palsu. Misalnya saya punya tanah dan ada sertifikatnya. Pejabat itu berkolusi dengan mafia ini. (Tanah saya) kemudian digugat. Tiba-tiba dokumennya (warkat) hilang. Anda menang karena dokumennya tidak ada.
Bagaimana dengan kasus Kepala Kantor Wilayah BPN Jakarta?
Di Jakarta Timur, ada tanah seluas 7,7 hektare. Sudah bersertifikat sejak 1975. Kemudian ada orang mengatakan itu tanah dia. Oleh BPN ditolak karena sudah ada sertifikat. Kalau mengklaim yang sudah bersertifikat, harus ke pengadilan. Nah, kemudian ada pergantian Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil). Ini kelihatannya ada kerja sama. Kami tahu, lah. Kemudian dia (Kakanwil) suruh gugat. Pada saat yang sama, juru ukur dipidanakan. Pemilik tanahnya juga. Di pengadilan tingkat pertama, si penggugat menang. Sesuai dengan ketentuan, tidak boleh ada tindakan apa pun sampai putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Tapi, baru menang di pengadilan negeri, Kakanwil sudah membatalkan sertifikatnya. Itu kesalahan luar biasa. Kepala Kantor BPN Jakarta Timur diperintahkan mengeluarkan sertifikat untuk mafia. Kasusnya kini ditangani Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Sofyan A. Djalil
Tempat dan tanggal lahir
Perlak, Aceh, 23 September 1953
Pendidikan
S-1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1984)
Master of Arts in Public Policy dari Tufts University, Massachusetts, Amerika Serikat (1989)
Master of Arts in Law and Diplomacy dari Tufts University (1991)
PhD dari The Fletcher School of Law and Diplomacy Tufts University (1993)
Karier
Vice President Research and Development Bursa Efek Jakarta (1998)
Asisten Menteri Badan Usaha Milik Negara (1998-2000)
Komisaris Utama PT Pupuk Iskandar Muda (Persero) (1999-2004)
Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (1999)
Komisaris PT Pelindo III (Persero) (1999-2001)
Komisaris Independen PT Kimia Farma Tbk (2002-2004)
Menteri Komunikasi dan Informatika (2004-2007)
Menteri Badan Usaha Milik Negara (2007-2009)
Menteri Koordinator Perekonomian (2014-2015)
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2015-2016)
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (2016-sekarang)
Apa dampak mencuatnya kasus mafia tanah ini bagi BPN?
Kesempatan bagi kami untuk melakukan perbaikan internal. Ambil hikmahnya saja. Biasanya banyak orang yang tak suka kepada saya. Tapi yang kami tindak itu oknum. Yang kerja di BPN itu 38 ribu orang. Dalam keranjang apel besar pasti ada satu-dua yang busuk. Itu yang kami buang supaya jangan sampai yang lain tertular. Tapi 125 dari 38 ribu itu sebenarnya sangat sedikit.
Upaya apa yang dilakukan BPN untuk menekan angka kasus seperti ini?
Supaya ada kepastian hukum, semua tanah ini seharusnya terdaftar dan disertifikatkan. Sewaktu saya masuk, kami baru mendaftarkan 46 juta bidang tanah. Diperkirakan bidang tanah dulu yang pernah didaftarkan sebanyak 126 juta. Jadi 80-an juta lagi yang belum disertifikatkan. Yang terdaftar itu dulu umumnya di kota besar. Tapi tanah masyarakat umumnya tidak terdaftar karena rumitnya pendaftaran. Begitu terpilih, Presiden Jokowi sangat peduli pada masalah ini. Pesan (Jokowi) ke saya, "Percepat pendaftaran tanah masyarakat." Pada 2017, saya bikin target 5 juta bidang disertifikatkan. Kami kenalkan program pendaftaran tanah sistematik lengkap. Namun tidak semua tanah bisa disertifikatkan karena mungkin tanah itu ada di desa tapi pemiliknya di Jakarta atau ada tanah bersengketa waris. Yang clean and clear kami sertifikatkan. Pada 2017, targetnya 5 juta bidang dan kami berhasil mendaftarkan sampai 5,5 juta bidang.
Sistemnya jemput bola?
Ya. Seluruhnya dibiayai negara, tapi masyarakat tetap dibebani biaya prasertifikasi, seperti penyiapan dokumen dan meterai. Kalau diukur pakai patok, patoknya beli sendiri. Itu yang banyak disalahgunakan. Kadang-kadang kepala desa juga minta lebih. Targetnya pada 2025 semua tanah sudah terdaftar. Jumlah pendaftaran tanah pada 2017 sudah mencapai 5,5 juta, 2018 9,2 juta, 2019 11 juta. Pada 2020, karena pandemi Covid-19, orang tak bisa ke lapangan sehingga pendaftaran mencapai 7,9 juta. Pada 2021 sekitar 8 juta.
Saat ini berapa yang sudah terdaftar?
Yang baru kami daftarkan tambahannya sekitar 40 juta bidang. Kalau ada 126 juta bidang, berarti masih ada sekitar 40 juta lagi (yang belum didaftarkan). Tujuan pertama pendaftaran adalah pencegahan, supaya tidak ada konflik dan ada kepastian hukum. Kedua, yang lebih penting, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk bisa memperoleh financial inclusion. Kalau punya tanah tanpa sertifikat, Anda tak bisa menjadikannya agunan ke bank atau digadaikan.
Apa upaya lain untuk meminimalkan masalah tanah ini?
Di sistemnya juga ada kelemahan. Pendaftaran tanah dulu banyak yang tidak punya koordinat. Dulu kan teknologinya belum terlalu bagus. Pada 1970, Ciputat itu masih kampung. Kalau orang datang minta sertifikat, diukur pakai tali, batasnya alami. Begitu berubah jadi kota, enggak jelas lagi batas itu.
Apa yang diharapkan dari aplikasi Sentuh Tanahku BPN?
Kami dorong masyarakat untuk mengecek (status tanahnya). Kalau sertifikat lama tahun 1970-an itu bergambar bola dunia dan belum ada koordinatnya. Maka Anda yang harus mengisi sendiri (koordinatnya) dan mengirim ke BPN. BPN kemudian mencocokkannya.
Ada prioritas untuk pendaftaran tanah ini?
Kami prioritaskan di kota-kota besar tempat harga tanah mahal, kemudian daerah yang perkembangannya cepat. Di situ mafia punya kepentingan. Kalau di desa harga tanah masih Rp 200 ribu, Rp 50 ribu, atau Rp 5.000 (per meter), mereka (mafia tanah) tidak mau.
Bagaimana implementasi sertifikasi dan redistribusi lahan dalam reforma agraria?
Kalau legalisasi, kami sudah melebihi target. Dari 9 juta hektare tanah, 4,5 juta sudah dilegalisasi. Untuk redistribusi, itu berarti membagi fresh land kepada masyarakat, kami tidak atau belum bisa mencapai target.
Redistribusi itu seperti apa rencananya?
Redistribusi 4,5 juta itu terdiri atas tanah bekas hak guna usaha (HGU), tanah telantar, HGU tidak diperpanjang, tanah negara lain, dan tanah pelepasan kawasan hutan. Yang banyak kami harapkan adalah tanah pelepasan kawasan hutan. Tapi kami tak bisa melepas hutan, harus melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Apa pengertian tanah telantar?
Tanah yang dibiarkan jadi semak belukar. Kami peringatkan pemiliknya. Kami bisa ambil kembali karena berarti Anda tak membutuhkan tanah tersebut. Banyak orang yang meminta sertifikat HGU bukan untuk mengurus tanah, tapi dijadikan jaminan bank. Tanahnya dibiarkan tidak terurus. Kami bisa ambil sebagai tanah telantar. Kami bagikan. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, tanah harus berfungsi sosial.
Bagaimana mengenai pembentukan bank tanah yang diamanatkan Undang-Undang Cipta kerja?
Ini tinggal menunggu finalisasi, yaitu peraturan presiden tentang tata kelolanya. Mudah-mudahan awal tahun depan sudah mulai beroperasi. Sebagian besar tanah di Indonesia berstatus HGU atau HGB (hak guna bangunan). HGU dan HGB itu leasehood, hak sewa. Hak milik disebut freehold, bisa dimiliki selama-lamanya. Leasehold umurnya 85-90 tahun, setelah itu jatuh ke tangan negara kembali. Selama ini kami tidak punya instrumennya. "Jatuh ke negara" itu siapa yang akan menangani?
Tidak otomatis ke BPN?
BPN tidak punya kewenangan itu. Ini yang melatari pembentukan bank tanah. Nantinya, kalau ada tanah telantar, HGU sudah habis setelah 90 tahun, itu akan masuk ke bank tanah. Sekarang HGU perkebunan sawit 16 juta hektare.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil secara simbolis menyerahkan sertifikat tanah untuk rakyat di Pontianak, Kalimantan Barat, 24 April 2019/ANTARA/HS Putra
Ada yang menilai bank tanah ini lebih untuk memfasilitasi investor.
Itu pemahaman orang. Padahal bank tanah itu ada fungsi sosial. Bahkan 30 persen (tanah) wajib untuk reforma agraria, yaitu dibagikan atau jadi perumahan rakyat, buat kepentingan sosial, dan buat pembangunan. Itu yang orang katakan seolah-olah memfasilitasi investasi, itu benar juga. Kalau nanti ada sebuah kawasan yang sudah habis masa berlaku HGU-nya dan akan diubah jadi kawasan industri, bank tanah bisa mengatur.
Bagaimana penerapannya nanti?
Saya tahu ada potensi disalahgunakan. Saya bikin pengawas bank tanah itu terdiri atas Menteri Agraria, Menteri Keuangan, dan Menteri Pekerjaan Umum. Bank tanah di masa depan bisa menjadi institusi yang besar sekali. Mengapa ada Menteri Pekerjaan Umum? Karena rumah rakyat, infrastruktur, dibikin oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Generasi sekarang banyak harus tinggal tiga jam dari Jakarta, seperti di Bogor dan (kawasan) selatan, karena tanah Jakarta dikuasai beberapa gelintir orang dan jadi mahal.
Anda dikritik karena tak membuka data HGU ke sejumlah lembaga swadaya masyarakat meski sudah ada putusan pengadilan.
Pertama, yang menggugat itu apa kepentingannya? Kalau minta satu-satu, oke. Dia minta data mentah. Itu bisa dimanipulasi.
Bukankah sudah ada putusan Mahkamah Agung juga soal itu?
Beberapa putusan MA ada yang kami menangi. Tapi kami akan menata betul. Undang-undang mengatakan hak milik itu barang privat. Kami tidak bisa membuka.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo