Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Herry Wirawan, pemilik dan pengelola pesantren di Bandung, memperkosa para santri hingga dua kali melahirkan.
Bayi para santri yang melahirkan juga dieksploitasi untuk mendapatkan bantuan dan sumbangan.
Ancaman hukuman maksimal jaksa hanya 20 tahun penjara.
PEMERKOSAAN Herry Wirawan kepada belas perempuan yang mondok di pesantrennya di Bandung terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Kekuasaannya sebagai pemilik pesantren membuat laki-laki 36 tahun asal Garut, Jawa Barat, itu leluasa melakukan kekerasan seksual sejak 2016.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelakuannya terhenti pada 31 Mei lalu setelah dua santri melaporkannya ke polisi. Untuk menyusun berkas dakwaan, polisi menggelar rekonstruksi pemerkosaan itu pada awal Juni lalu. Dua korban Herry Wirawan berusia belasan tahun itu menjadi saksi rekonstruksi di kantor Yayasan Manarul Huda di Kelurahan Antapani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus, Ketua Rukun Tetangga 5 Antapani, turut menyaksikan rekonstruksi itu. Ia merasa pilu ketika dua remaja itu menunjuk ranjang bertingkat di lantai dua. Kepada polisi yang memandu jalannya reka ulang, keduanya mengaku diperkosa Herry Wirawan di ranjang itu berulang kali.
Herry Wirawan/Istimewa
Menurut Agus, penyekat ranjang itu hanya lemari. Di ruangan yang berfungsi sebagai tempat tinggal para santri itu tak ada sekat sebagai pemisah kamar. “Kok bisa-bisanya Herry berbuat seperti itu kepada anak-anak?” kata Agus, Kamis, 16 Desember lalu.
Agus mengingat lagi peristiwa pada 2014, ketika Herry datang menemuinya dengan sepeda motor Honda Supra. Ia meminta izin membuka yayasan anak yatim-piatu dengan menempati rumah di Kluster Sinergi Nomor 34. Pemilik rumah ini tinggal di Jakarta. Herry hendak menyewanya sebagai kantor yayasan yang akan merangkap sebagai pesantren.
Agus mewanti-wanti Herry agar tak menampung terlalu banyak anak karena akan mengganggu tetangga. “Dia bilang cuma enam anak,” tuturnya.
Rupanya, yayasan Herry berkembang pesat. Santrinya makin banyak. Ia menerima berbagai bantuan dari lembaga pemerintah, donatur, hingga tetangga. Belakangan, sepeda motor tuanya tak terlihat lagi di garasi rumah dan berganti menjadi mobil Toyota Avanza.
Riyono, Asisten Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat/Penerangan Hukum Kejati Jawa Barat
Agus dan para tetangga terkejut ketika polisi menciduknya pada Senin malam, 31 Mei lalu. Ia menduga Herry terlibat kejahatan kriminal biasa, seperti penggelapan. Mereka makin kaget karena polisi mengatakan dia ditangkap karena perundungan seksual.
Polisi juga membawa istri Herry, ayah mertuanya, dan beberapa santri perempuan serta anak balita dari rumah itu. Anak-anak itu sempat dititipkan di rumah aman Pemerintah Provinsi Jawa Barat lalu dikembalikan ke orang tua masing-masing yang umumnya berdomisili di Garut dan Tasikmalaya.
Sebagai ketua RT, Agus mendampingi para polisi mendatangi rumah Herry yang menjadi markas pesantren. Di situ, menurut Agus, istri Herry mengaku melihat suaminya menyetubuhi para santri. Polisi tak menahan istri Herry. Namun, atas kesepakatan masyarakat, Agus melarang ia dan tiga anaknya kembali ke rumah itu. “Tinggal di tempat lain,” tuturnya.
Penangkapan Herry bermula dari laporan dua santri asal Garut yang masih di bawah umur pada 18 Mei lalu. Mereka mudik untuk merayakan Lebaran pada 14 Mei lalu. Keluarga seorang santri memergokinya membeli alat tes kehamilan. Kepada keluarganya, santri itu mengaku diperkosa Herry Wirawan berkali-kali.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Erdi A. Chaniago mengatakan polisi sengaja tak merilis perkara ini ke publik begitu mendapatkan laporan santri dan menangkap Herry Wirawan. Penyidik, ujar dia, mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial para korban. “Kasihan mereka,” ucapnya.
Penyidikan hingga pemberkasan di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat juga berjalan senyap. Jaksa menahan Herry di Rumah Tahanan Kebon Waru, Bandung. Kini persidangan kasus ini berjalan di Pengadilan Negeri Bandung secara tertutup.
Pelaksana tugas Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Riyono, mengatakan Herry didakwa memperkosa 13 santri perempuan berusia 12-17 tahun sejak 2016. Delapan santri melahirkan sembilan bayi. Bayi tertua dari para korban kini berusia sekitar empat tahun.
Meski kejahatannya sadis dan tak berperikemanusiaan, jaksa hanya memakai pasal dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara. “Kami menyiapkan tuntutan hukuman maksimal, ada pula pemberatan. Kepala Kejaksaan Tinggi turut menjadi penuntut umum,” tutur Riyono.
Lokasi pemerkosaan tak hanya di rumah Yayasan Manarul Huda di Antapani. Dari pengakuan kepada jaksa, Herry memperkosa para santri di banyak tempat. Lokasi itu adalah Boarding School Madani Cibiru, Basecamp Jalan Cibiru Hilir Nomor 31, Apartemen Metro The Suites, Hotel Atlantik, Hotel Prime Park, Hotel B&B, Hotel Nexa, Hotel Regata, dan Rumah Tahfidz Al Ikhlas Jalan Sukanagara. Semuanya berada di Bandung.
Sebelum memperkosa para santri, Herry mengiming-imingi mereka akan dibayari biaya kuliahnya dan bisa menjadi polisi. Disokong oleh keluarganya, Herry menawarkan pendidikan gratis ketika merekrut para santri dari keluarga miskin dari Garut dan Tasikmalaya.
Lokasi lain tempat Herry memperkosa santri-santrinya adalah bangunan dua lantai berkelir biru di Kompleks Margasatwa Cibiru Kota Bandung. Pada Kamis, 16 Desember lalu, pintu pagar selebar dua meter rumah ini terkunci. Di atas pagar tercogok plang besi bertulisan Yayasan Pendidikan Manarul Huda Madani Boarding School.
Usman, petugas keamanan kompleks, mengatakan kantor yayasan sudah kosong sejak polisi menciduk Herry Wirawan. Sebelum penangkapan, gedung itu selalu ramai karena santri keluar-masuk rumah itu untuk jajan di warung sekitarnya.
Penduduk sekitar yayasan, kata Usman, sempat memprotes Herry Wirawan karena mempekerjakan santri perempuan untuk membangun gedung yayasan dua tahun lalu. Saat mulai membangun gedung dua lantai ini, Herry hanya mengupah dua tukang. “Santri perempuan jadi kuli bangunan,” ucap Usman. “Mereka mengaduk pasir dan mengangkat adonan itu ke lantai atas, juga mengangkat batu.”
Kepada pengurus Komite Solidaritas Perlindungan Perempuan dan Anak Partai Solidaritas Indonesia Bandung, Irma Nurtanti dan Michael Maleakhi, yang mendampingi para santri, mereka mengaku tak hanya menjadi kuli bangunan, tapi juga menjadi tukang cuci baju dan memasak untuk keluarga Herry Wirawan.
Dalam pendampingan itu Irma dan Michael menemukan Trisha, bukan nama sebenarnya. Trisha kini berusia 17 tahun. Ia melahirkan dua anak Herry Wirawan. Anak tertua berusia empat tahun dan kedua delapan bulan. Di dekat rumah Trisha di Garut ada tiga korban Herry Wirawan yang lain.
Irma Nurtanti mengatakan keluarga para korban hidup sangat miskin. Orang-orang tua mereka umumnya buruh dan petani. “Mereka tak mampu membelikan susu untuk para bayi,” ucap Irma. Satu keluarga bahkan penghasilannya sehari hanya Rp 15 ribu. “Untuk makan saja susah,” ujar Irma.
Para korban menceritakan pengalaman mereka saat melahirkan. Kakak Herry rupanya yang mengantar para santri ini ke klinik. Kepada bidan yang menanganinya, kakak Herry mengaku para santri tersebut sebagai istrinya. Setelah melahirkan, para santri bersama bayinya ditempatkan di basecamp yayasan di Cibiru atau di apartemen. Di sana, mertua Herry ikut merawat bayi-bayi tersebut. “Santri lain juga menjadi pengasuh secara bergiliran,” kata Irma.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban turut mendampingi para santri. Komisioner LPSK Livia Iskandar mengatakan lembaganya menerima aduan kasus ini pada September lalu. Namun, dari 13 santri, hanya 12 yang mendapat perlindungan LPSK. “Ayah satu korban tidak bersedia,” tutur Livia.
LPSK juga melindungi 17 saksi kelakuan bejat Herry. “Kami memastikan para saksi dalam keadaan aman, tenang, dan nyaman saat memberikan keterangan untuk dapat membantu majelis hakim dalam membuat terang perkara,” ujar Livia.
Livia berharap majelis hakim menimbang hukuman tak hanya pada kejahatan pemerkosaannya, tapi juga eksploitasi ekonomi para santri. Livia berharap jaksa bisa mengusut aliran dana pesantren Herry. “Pelaku mendapatkan pemberatan atas kejahatan lain,” ucapnya.
Dari fakta di persidangan terungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh para santri itu diklaim Herry sebagai anak yatim-piatu. Herry lalu memanfaatkan bayi-bayi itu untuk meminta dana bantuan. Selain itu, ia menggasak Dana Program Indonesia Pintar (PIP) yang seharusnya diterima para santri.
Pelaksana tugas Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Riyono, membenarkan bahwa persidangan membongkar kejahatan Herry yang lain seperti eksploitasi santri. Menurut Riyono, dalam siding terungkap bahwa selama mas aktif pesantren tak ada kegiatan belajar-mengajar di Manarul Huda.
Jaksa juga sedang menelusuri aset Herry. Jika terkumpul, harta-benda Herry itu akan dipakai sebagai restitusi untuk para santri, yang telah dihitung oleh LPSK. Kendati ada keterlibatan keluarga Herry dalam kejahatan kekerasan seksual itu, Riyono mengatakan jaksa masih mendalami peran pihak lain. “Kami menunggu hasil persidangan, bisa saja nanti dimasukkan di penuntutan,” tuturnya.
Madani Boarding School di Cibiru, Bandung, Jawa Barat, 10 Desember 2021/TEMPO/Prima Mulia
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengaku telat menerima informasi pelanggaran hukum Yayasan Manarul Huda. Ia sudah memerintahkan bawahannya mencarikan tempat aman untuk melindungi para santri korban kekerasan seksual Herry Wirawan. “Saya juga sudah meminta seluruh anggota staf Kementerian dan Kantor Urusan Agama mencari dan menginvestigasi kasus serupa di sekolah lain,” kata Yaqut kepada Abdul Manan dari Tempo.
Pengacara Herry Wirawan, Ira Mambo dan Gregorius Septhianus Toda, mengatakan belum bisa banyak berkomentar karena persidangan masih berjalan. “Sidangnya tertutup. Jadi kami belum bisa menyampaikan materinya,” ucap keduanya nyaris bersamaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo