Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonomi digital terus tumbuh di Indonesia. Merebaknya teknologi Internet telah mengubah perilaku masyarakat dalam berbelanja. Jual-beli barang dan jasa makin banyak yang beralih ke toko online. Sektor bisnis ini terus melesat dengan nilai transaksi triliunan rupiah. Ceruk pasar yang masih terbuka lebar.
Bayi yang Tumbuh Pesat
Bisnis e-commerce diperkirakan terus tumbuh pesat pada tahun depan. Ceruk pasar masih besar dan jumlah pemainnya jauh dari titik jenuh.
Savitri Amir berjalan setengah tergopoh menuju meja resepsionis kantornya di kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa malam dua pekan lalu. "Barang pesanan saya sudah tiba," katanya. Sejurus kemudian, karyawati swasta ini keluar dari lobi sambil membopong dua bingkisan: satu kardus berisi kompor gas dua tungku dan satu lagi wajan teflon berdiameter 20 sentimeter. "Walaupun enggak perlu, beli saja, mumpung murah."
Kompor dan wajan itu sebagian hasil perburuan Savitri di Hari Belanja Online Nasional pada 11 November lalu. Saat itu, perempuan 31 tahun ini memborong 20 barang, dari jam tangan, popok bayi, sampo, daster, dispenser sabun cair, pasmina, hingga baju untuk putra dan suaminya. "Saya habis sekitar Rp 650 ribu untuk semua belanjaan itu," katanya. Hampir semua barang pesanannya mendapat diskon.
Situs jual-beli online kerap membikin Savitri kalap belanja. Terlebih saat tiba Hari Belanja Online Nasional. Sabtu tiga pekan lalu, ia berbelanja di Lazada dan Shopee karena promo yang ditawarkan. Kedua platform e-commerce itu tidak hanya membebaskan ongkos kirim. Lazada, misalnya, memberi diskon tambahan 20 persen untuk merek tertentu. "Shopee menawarkan flash sale hingga sebelas kali sehari," ujar Savitri, yang punya dua akun Shopee. Flash sale adalah diskon atau promosi barang dalam periode pendek.
Seperti Savitri, Irvindya Irawan tak melewatkan momen Hari Belanja Online Nasional. Karyawati perusahaan agensi di Jakarta Selatan ini membeli sebuah pensil alis gel merek City Color seharga Rp 60 ribu di Lazada. "Saya memang ingin beli pas ada free ongkir (ongkos kirim) walau tanpa diskon," katanya, dua pekan lalu. Dari puluhan aplikasi dan situs jual-beli online, Irvindya selama ini lebih sreg berselancar di Lazada, Sociolla, dan Tokopedia.
Perempuan 25 tahun itu mengaku cukup sering berbelanja online. "Setiap bulan minimal bisa dua kali," ujarnya. Selain karena makin malas berkunjung ke toko, ia mendapat kesenangan tersendiri saat paket-paket yang dipesannya tiba di rumah atau kantor. "Dari alat makeup dan skin care, earphone, sampai barang yang random, seperti daun curry buat masak saus salted egg."
Banjir diskon dan promo memang menjadi andalan bisnis e-commerce untuk mendorong transaksi online. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat hampir 25 juta orang berbelanja di dunia cyber sepanjang tahun lalu dengan tingkat penetrasi 9 persen. Total nilai transaksinya mencapai US$ 5,6 miliar atau sekitar Rp 75 triliun. "Bisnis e-commerce tumbuh pesat meski masih kecil," kata Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dua pekan lalu.
Pelan tapi pasti, industri digital terus merangkak naik. Google mencatat jumlah investasi di bidang ini bertambah cukup signifikan. Pada 2012, investasi yang masuk sebesar US$ 40 juta (lebih-kurang Rp 500 miliar). Jumlah itu melambung menjadi US$ 3 miliar (sekitar Rp 40 triliun) pada Agustus lalu. "E-commerce yang paling besar tumbuh di Indonesia," ujar Mifza Muzayan, Sales & Product Operations and Strategy Manager Google untuk kawasan Asia Tenggara.
Mifza mengatakan sektor e-commerce menyumbang 58 persen dari total investasi di industri digital. "Disusul transportasi, keuangan, pembayaran, dan sektor lain," ucap Mifza, merujuk pada hasil survei Google terhadap 25 investor asing dan lokal. Menurut dia, Lazada, Blibli, Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee tercatat sebagai lima pemain besar dalam ceruk pasar ini. "Untuk masuk lima besar, butuh dana lumayan besar."
Bagi pelaku bisnis digital, sektor e-commerce menyuguhkan ruang yang masih lega untuk berkompetisi. "Ibarat kue pie, perang belum dimulai karena ukurannya masih besar," ujar Emmanuel Jefferson Kuesar, manajer perusahaan konsultan A.T. Kearney.
E-commerce, kata Mifza, masih jauh dari titik jenuh karena jumlah konsumen retail online di Indonesia baru 11 juta orang. "Kami perkirakan angkanya naik empat kali lipat dalam lima tahun."
Situs Statista, portal analisis statistik dan riset pasar, juga memperkirakan jumlah pembeli digital di Indonesia terus naik hingga lima tahun ke depan. Pada 2020, misalnya, sebanyak 39,2 juta orang diharapkan membeli barang dan jasa via online. Pada tahun yang sama, pemerintah menargetkan nilai transaksi ekonomi digital US$ 130 miliar atau lebih dari Rp 1.700 triliun. "Pemerintah juga mendorong next unicorn. Cita-citanya lima unicorn akan terlampaui pada 2019," tutur Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Unicorn adalah sebutan bagi startup yang punya valuasi lebih dari US$ 1 miliar.
Chief Executive Officer Tokopedia, William Tanuwijaya, mengatakan startup besutannya turut mencicipi perkembangan ceruk e-commerce di negeri ini. Ia mengklaim, sejak berdiri delapan tahun lalu, Tokopedia telah merangkul lebih dari 2 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Tokopedia juga telah memasarkan sedikitnya 60 juta jenis produk. "Lebih dari separuhnya dibeli tiap bulan," ujar William, merujuk pada data per Agustus lalu.
Tokopedia bersama Go-Jek, Traveloka, dan Bukalapak merupakan empat startup unicorn Indonesia. Menurut William, Tokopedia, yang baru mendapat guyuran dana investasi senilai US$ 1,1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun dari raksasa e-commerce Cina, Alibaba, masih akan berfokus merangkul pelaku usaha kecil dan menengah, yang mencapai 58 juta. "Masih banyak sekali dari mereka yang belum online," katanya.
Optimisme juga terlontar dari Chief Executive Officer Blibli.com Kusumo Martanto. Meski belum menjadi unicorn, Blibli terus menuai untung. Sepanjang 2017, menurut Kusumo, total penjualan Blibli melonjak hingga tiga kali lipat. "Kami mencoba menjaga pertumbuhan seperti tahun ini," ujarnya soal proyeksi performa Blibli pada 2018. Dengan lebih dari 8 juta pengguna, Blibli terus berbenah, dari pergudangan, layanan pengiriman, hingga teknologi.
Bisnis e-commerce memang menyuguhkan peluang. "Sekarang ini pasar kita masih terlalu luas," kata Aulia Ersyah Marinto, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia, Selasa pekan lalu. Namun tantangan besar juga mengintai di belakangnya. Aulia menyinggung soal kecilnya angka pengguna Internet lewat telepon pintar. Dari sedikitnya 100 juta pemilik dan pengguna telepon pintar, "Baru sepuluh persennya yang memakai Internet."
Mengenai akses Internet, pemerintah menjawab lewat Palapa Ring, satu dari tujuh aspek dalam peta jalan e-commerce yang diteken Presiden Joko Widodo pada 21 Juli lalu. Palapa Ring adalah proyek pembangunan serat optik sepanjang 36 ribu kilometer di penjuru Nusantara. Rudiantara mematok proyek itu kelar pada 2019. "Nanti semua kabupaten dan kota punya akses broadband atau Internet berkecepatan tinggi," ujarnya.
Bisnis e-commerce juga memunculkan tantangan lain berkaitan dengan produk lokal. Bappenas menengarai kegiatan belanja online turut memicu naiknya aliran barang impor. Bappenas mewanti-wanti agar e-commerce jangan sampai mengganggu penjualan produk domestik. Mengenai hal itu, Rudiantara tak terlalu khawatir. "Status e-commerce di Indonesia masih bayi. Jangan terlalu banyak mengatur. Biarkan berkembang," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo