Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Demi Calon Raja Aplikasi

Banyak program untuk melahirkan perusahaan rintisan atau startup yang nantinya bisa sekelas Go-Jek. Agar siap melawan perusahaan asing.

26 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI belantara bisnis digital Indonesia, Pasienia terbilang pemain baru. Sudah dua tahun perusahaan rintisan atau startup penghubung antarpasien yang memiliki kesamaan penyakit itu beroperasi.

Semula, Pasienia hanya digawangi tiga alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yakni Fadli Wilihandarwo, Dimas Ragil Mumpuni, dan Haydar Ali Ismail. "Sekarang personelnya sudah bertambah menjadi 10 orang," kata Fadli, Chief Executive Office Pasienia, Rabu pekan lalu.

Pasiena lahir dari Innovative Academy, program pengembangan startup binaan UGM. Ide membuat aplikasi ini bermula ketika Fadli melihat sesama pasien di sebuah rumah sakit di Yogya saling bercerita dan menyemangati soal penyakit mereka dua tahun lalu. Bersama dua rekannya, alumnus Fakultas Kedokteran UGM itu mengenalkan Pasienia di Google Playstore bermodal uang Rp 150 ribu dari kantong sendiri.

Berkat Pasienia, sesama pasien sekarang bisa berbagi pengalaman tanpa perlu bertemu. Mereka cukup mengetik di telepon pintar saja. Saat ini, aplikasi tersebut telah diunduh lebih dari 5.000 pengguna serta mendapatkan rating sebesar 4,2 dari 5.

April lalu, Pasienia berhasil menjuarai kompetisi Google Business Group Stories yang digelar Google. Perusahaan rintisan itu bertahan tanpa mendapat sokongan dana dari venture capital. "Sampai sekarang kami masih mampu menggaji 10 orang," ujar Fadli.

Sudah tiga tahun UGM berupaya mengembangkan startup lokal semacam Pasienia melalui program Innovative Academy. Sampai sekarang sudah ada lima angkatan binaan kampus tersebut. Selama itu, menurut Direktur Pengembangan Usaha dan Inkubasi UGM Hargo Utomo, dana pembinaan murni berasal dari kampus. Mentornya pun kebanyakan pernah mengikuti program tersebut seperti Fadil. "Semuanya gotong royong membantu program ini," tuturnya. Menurut Hargo, minat membangun startup terus ada. Sampai pekan lalu, ada 21 calon perusahaan rintisan yang sudah mendaftar.

Upaya melahirkan startup lokal juga dilakukan pihak swasta serta pemerintah. Tahun lalu, Kibar Kreasi Indonesia bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika meluncurkan gerakan nasional 1.000 startup dengan total valuasi sebesar US$ 10 miliar di 10 kota Indonesia hingga 2020. Gerakan ini, kata Chief Executive Office Kibar, Yansen Kamto, berfokus ke anak muda yang tak memiliki ide dan miskin modal. "Mulai dari nol banget. Kalau yang punya banyak ide, enggak perlu ke kami," ujarnya.

Diluncurkan pada Agustus 2016, tercatat sebanyak 26 ribu orang di sepuluh kota mendaftar ikut program 1.000 startup. Tapi lantaran keterbatasan mentor, yang hanya 300 orang, Kibar menyeleksi menjadi sekitar 5.000 orang yang mendapat pelatihan.

Dari jumlah itu, ujar Yansen, setelah serangkaian workshop, hackaton, boothcamp, dan inkubasi, terpilih 112 startup di bidang kesehatan, pendidikan, finansial, dan lainnya. Angka tersebut sudah melebihi target yang ditetapkan awal tahun, sebanyak 67 startup. Karena itu, Yansen optimistis 1.000 perusahaan rintisan sampai 2020 bakal tercapai.

Dari ratusan perusahaan rintisan binaan Kibar, ada beberapa yang berkembang. Salah satunya Olride, aplikasi booking antrean servis bengkel buatan Muhammad Faza Abadi Udayana, mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang.

Awalnya aplikasi ini hanya untuk memberikan informasi tambal ban di jalan yang dilewati Faza selama mengikuti inkubasi dari Malang menuju Surabaya dan sebaliknya. Ide orisinal ini membuat Yansen tertarik dan mempertemukannya dengan sebuah perusahaan roda dua di Jawa Timur.

Perusahaan itu pun kepincut dan mau mendanai hingga ratusan juta rupiah agar aplikasi tersebut terus berkembang. Tapi Faza menolak. Namun, ketika ditawari data jumlah bengkel perusahaan sepeda motor itu di mana saja, Faza akhirnya menerimanya.

Kini aplikasi itu berkembang dengan fitur lain, seperti chatting online dengan bengkel, reminder surat-surat berharga, dan riwayat servis online. Olride pun sempat ikut International Business Model Competition 2017 yang diselenggarakan di Computer History Museum, Mountain View, California, Amerika Serikat, Mei lalu. "Hidup enggak? Hidup dia. Dapat duit dari unduh aplikasi," ujar Yansen.

Beberapa badan usaha milik negara juga "berternak" startup lokal melalui program inkubasinya. Bank Mandiri, misalnya, melalui anak usahanya, Mandiri Capital Indonesia, meluncurkan program Mandiri Inkubator Bisnis pada Juni tahun lalu. Hasilnya, ada 14 startup di bidang finansial (fintech) yang terjaring untuk diinkubasi.

Chief Executive Officer Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro menyebutkan, dari 14, baru 5 startup yang mendapatkan pendanaan dari ratusan juta sampai Rp 7 miliar, salah satunya dari Mandiri. Rencananya program Mandiri Inkubator ini berlanjut pada tahun depan.

Lembaga riset Center for Human Genetic Research (CHGR) mencatat, Indonesia memiliki kurang-lebih 2.000 perusahaan rintisan per 2016. Pertumbuhan jumlah startup pun kian menanjak setiap tahun. Pada 2020, CHGR memprediksi angka tersebut naik 6,5 kali lipat menjadi 13 ribu. "Makin banyak inkubator, makin banyak juga startup yang lahir," ujar Jefri Sirait, Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia.

Upaya pemerintah, swasta, dan perusahaan pelat merah membuat program inkubasi di mana-mana demi target lima startup unicorn-nilai valuasi lebih dari US$ 1 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun-yang dicanangkan pemerintah sampai 2019. Dengan menjadi unicorn, mereka diharapkan bisa berkompetisi dengan perusahaan asing dan menjadi raja di bisnis aplikasi yang mereka tekuni.

Saat ini sudah ada empat startup kategori unicorn, yakni Go-Jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. "Nama terakhir baru diumumkan," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Bukalapak mendeklarasikan diri bahwa mereka sudah menjadi unicorn Indonesia setelah dibeli investor, Kamis dua pekan lalu. Sayangnya, Chief Executive Officer Bukalapak Achmad Zakytak mau membuka siapa nama investornya.

Rudi optimistis target lima unicorn tercapai, bahkan bisa terlampaui pada 2019. Ia memprediksi startup unicorn tahun depan masih dari sektor jasa, tapi bukan jasa transportasi, melainkan jasa pendidikan dan kesehatan. Soalnya, belanja bidang pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mencapai Rp 400 triliun atau 20 persen setiap tahunnya. Bukan hanya itu, startup bidang kesehatan (medtech) juga berpotensi lantaran anggarannya mencapai 5 persen dari total APBN saban tahun.

Salah satu perusahaan rintisan yang berpeluang mendapat kategori unicorn adalah Ruangguru. Saat ini, aplikasi penyedia layanan jasa dan konten pendidikan itu sudah memiliki 4 juta pengguna, mengelola 150 ribu guru yang menawarkan jasa di lebih dari 100 bidang pelajaran.

Jumlah pengguna ada kemungkinan terus meningkat setelah Ruangguru menjalin kerja sama dengan 326 pemerintah kabupaten/kota dan 33 pemerintah provinsi tahun lalu. Dari segi modal, Ruangguru juga baru mendapat pendanaan Seri B, berkisar Rp 22-80 miliar. "Apalagi tarifnya juga lebih murah, enggak sampai 20 persen dari bimbangan belajar konvensional," kata Rudi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus