Anak-anak kecil membanting tulang di perempatan jalan untuk membantu nafkah keluarga. Ada yang terpaksa karena didikte orangtua. Mereka berjualan, menadahkan dan ada juga yang berani mengancam. Seseorang sempat memanfaatkan anak-anak tersebut sebagai pengedar pil BK -- obat terlarang. Hasil reportase Ardian Taufik Gesuri, Yudhi Soerjoatmodjo, dan Priyono B. Sumbogo. DI tengah riuh lalu lintas, dengan pekik klakson dan derum knalpot, terdengar suara-suara bocah. "Koran . . . Om, Hexos. . . Hexos, Vicks, rokok. . . rokok, . . . rapiah." Dua anak ingusan mendekati sebuah sedan yang sedang menunggu lampu merah. Yang satu membawa ketipung, lainnya ecrek-ecrek. Lalu mengalun sebuah lagu dangdut yang sumbang. Inilah Ibu Kota. Tampang-tampang tirus, tubuh-tubuh kurus, dengan kulit jauh dari putih, apalagi mulus, gentayangan di jalanan. Jakarta, di lampu-lampu merah, terpampang sebagian wajah-wajah kecil yang kuma. Di antara jajaran mobil, debu, dan pengapnya jalanan, ada anak-anak bergulat dengan hidup. Mereka yang adu cepat dengan lampu hijau. Mereka yang berkejaran dengan ban-ban yang terus menggelinding. Mereka yang menjaring gopekandan cepekan -- lima ratusan dan seratusan -- di perempatan jalan. Sebagian besar mereka masih belasan tahun. Bahkan banyak di antaranya baru berusia 6-7 tahunan. Beragam mata pencariannya. Banyak yang berjualan koran dan majalah. Ada yang berdagang permen, rokok, buah-buahan, mainan, sampai dengan keperluan mobil -- misalnya kain lap. Ada yang melanjutkan profesi lama dan sederhana: menadahkan tangan, mengharap iba para pengendara mobil. Pekerjaan yang terbilang baru adalah mengamen di jalanan, juga di bis kota, dan menjadi tukang lap yang terakhir ini kadang maksa. Di daerah Senen, Pramuka, Pancoran, Bundaran HI (Hotel Indonesia), dan banyak perempatan lain, anak-anak itulah yang menjadi raja. Mereka beroperasi sejak sekitar jam tjuh pagi, sampai sekitar jam sebelas malam -- ketika anak-anak dari keluarga mapan telah terlelap tidur. Di Bundaran HI, ada anak-anak di bawah umur sepuluh tahun. Sebagian di antaranya wanita. Salah satunya mengaku bernama Ani. Bocah kelas dua madrasah yang mengatakan usianya delapan tahun ini tak tahu kapan tanggal lahirnya. Pokoknya, sudah lama juga mencari rezeki di par,lgkalannya yang strategis ini. Ani jualan permen Hexos. Ia memilih lokasi Bundaran HI, karena dekat dengan rumah: di kampung Kebon Melati. Sebuah rumah petak setengah bata yang persis jongkok di belakang Hotel Indonesia. Di rumah dengan hanya satu kamar itulah, ia berikut empat saudara dan orangtuanya (penjual baju rombeng) bermukim. Setiap pagi, sebelum pukul tujuh, ia berjalan kaki dari rumah mengenakan sandal jepit kuning. Rambutnya -- jarang dicuci shampo -- disisir seadanya. Ia baur dengan terik matahari menjajakan dagangannya dengan mata kecilnya yang lincah. Bila lampu kuning berganti merah, Ani segera menyelinap. Ia sodorkan jualannya tanpa suara. Begitu lampu hijau berpijar ia segera menepi. Bila capek, ia duduk beristirahat di lingkar air mancur persimpangan, atau di rerumputan Jalan Thamrin. "Kadang saya dapat dua ribu. Yang sering dapat seribu," kata Ani. "Semuanya saya serahkan sama Ibu." Tidak semua anak-anak jalanan itu bekeria untuk keluarga. Ada yang untuk keperluan sendiri. Akbar, misalnya. Anak berumur 12 tahun ini mangkal di perempatan Jalan Imam Bonjol. Di tangannya ada setumpuk koran yang diambilnya dari agen. Dengan menjual koran itu, ia bisa mengantungi Rp 1.500 sehari. Untuk apa? "Ya, dicelengin atau buat jajan," katanya. "Kadang-kadang aja ngasih Ibu." Akbar mengaku berjualan koran atas inisiatif sendiri. Mulainya enam bulan lalu. Melihat teman-temannya berjualan, ia ikut-ikutan. Maka, jadi}ah pekerjaannya. Kadang sampai larut malam. Bisa habis atau tersisa? "Ya, harus habis." Di daerah Senen, lain lagi suasananya. Di situlah ada barisan anak-anak tukang lap mobil. Mereka mengenakan seragam khas: telanjang dada. Kebanyakan mereka berasal dari keluarga pemulung sampah. Ada Supri yang baru berusia 10 tahun dan Iwan, yang setahun lebih tua. Keduanya biasa duduk-duduk di pagar besi jalan di belahan utara. Begitu lampu merah menyala, mereka langsung beraksi. Tanpa melihat sopir, Supri menghampiri sebuah Toyota Kijang dan mengelapnya. Ia melirik sekejap, ketika sopir memberi isyarat "tidak" dengan tangan. Supri tak segera menyerah. Ia langsung memperlihatkan "mimik nomor 24", wajah yang perlu dikasihani. Ketika pemegang kemudi bersikeras menolak, sambil tersenyum kecut, ia bergeser menghampiri mobil lain. "Di sini mereka nggak jail. Malah lucu," kata Muji, pedagang rokok. "Yang di sana," tunjuknya mengarah ke bagian timur, "mereka suka mengetok-ngetok kaca." Seperti rekan-rekannya, Supri turun ke jalanan karena ikut-ikutan. "Temen-temen pada ngelap mobil dapet duit. Saya pengin juga," katanya. Hasil pendapatan, menurut mereka, "paling-paling cenggo." (Seribu lima ratus). Sebagian langsung lenyap buat beli rokok. Mereka sungguh-sungguh anak jalanan. Bila ngantuk, anak-anak itu tidur di mana saja. Yang paling sering di Taman Gunung Agung. Hanya kalau hujan mereka pindah berteduh ke emperan-emperan toko. Mereka memang keluarga tanpa rumah. Lihat saja Iwan. Perut buncit, pipi kempot. Pri dan Iwan mengaku tak punya hiburan apa-apa, meskipun pengin. "Kita sih gini-gini aja," kata Iwan. Paling-paling hanya bercanda dengan tukang rokok. Seperti malam itu, Pri berlari menyelinap ke deretan mobil. Dua kali ia ditolak. Lalu ia memanggil seorang tukang rokok. Katanya, di mobil yang barusan menolaknya itu ada yang mau beli rokok. Dua tukang rokok segera berebut mendekati mobil itu. Pri malah lari ke pinggir sambil tertawa ngakak. Tipuannya berhasil. Biarpun kadang lucu, tukang-tukang lap ini yang paling banyak musuh. Para pengendara mobil lebih banyak yang sengit terhadap mereka daripada kasihan. Kaus kotor yang mereka pakai buat kain lap memang lebih memungkinkan mobil tergores ketimbang menjadi bersih. Yang lebih memperburuk citra mereka, beberapa anak memang bikin ulah bila tak diberi uang. Di perempatan Jalan Proklamasi, misalnya, seorang tukang lap cilik mengancam pengendara mobil. "Belum kenal yang namanya jembel, ya!" Tukang lap mungkin memang mengidentifikasikan diri sebagai jembel. Tapi kaum pengamen tidak. Ketika bis tingkat jurusan Grogol beranjak meninggalkan Blok M, tiga bocah melompat ke dalam. Yang paling kecil mengenakan seragam SD yang sudah lusuh. Tas tergantung di bahunya. Bukan berisi buku, melainkan rebana. Seorang di antara mereka terlihat cacat. Tak ada jari di kaki dan tangannya. Kawannya mengikatkan gendang ke tubuh anak itu. Lalu tek-tek-dung-dung-dung. Tek-tek-dung-dung-dung. "Lama semakin lama/Cintamu yang kudamba/Kini aku merasa/ Cintamu kama harta...." Lagu itu mengalun, menyelinap ketika para penumpang acuh tak acuh. Hidup memang tak terlalu ramah pada mereka. Edi sang penabuh rebana, misalnya. Ia anak ke-11 dari 12 bersaudara. Ayah dan ibunya wafat selagi Edi kecil. Ia lalu dibesarkan kakak-kakaknya yang sebenarnya praktis pengangguran. Tak ada pilihan lain, anak yang putus kelas enam SD itu lalu mencari nafkah sendiri. Lalu bergabung dengan Buyung yang cacat tubuh. Bagi Buyung, cacat bukan halangan. Ayahnya, asal Aceh, kini menjadi buruh bangunan di Medan. Buyung sendiri, empat tahun lalu, memutuskan pindah ke Jakarta. Ia tak pernah sekolah. "Saya tidak bisa baca, Om. Tapi kalau ngitung-ngitung sih bisa." Buyung berkenalan dengan Edi sewaktu main bola di bilangan Senayan. Bola ditendang melambung kecebur kolam. Buyung mencoba mengambil. Tapi ia malah kecebur, dan -- karena tak berjari -- tak bisa naik. Edilah yang menolong. Sejak itu mereka menjadi kawan sepermainan yang tak terpisahkan. Dua tahun lalu, Buyung mengusulkan: mengapa tak menjadi pengamen saja. Sejak kecil ia memang penggemar berat dangdut. "Kalau sudah nyanyi rasanya seneeeeng. Semua yang susah jadi lupa," kata Buyung. Edi setuju. Selain bisa memenuhi nafkah, mengamen juga memberinya uang penopang kesukaannya pada dangdut. Saat ini, Buyung -- yang mengaku berumur 16 tahun -- mengoleksi 500-an kaset. Hampir seluruhnya kaset dangdut. Selain itu, nonton film India baginya adalah wajib. Kadang sebuah film ditontonnya dua tiga kali. "Buat ngapalin lagu," katanya, biarpun ia bilang "bahasanya sih nggak ngerti." Kaset dan film India itulah modalnya. Sekarang Buyung punya repertoire sekitar 200 lagu dangdut Indonesia dan sembilan lagu India. "Cita-cita saya hanya satu, Om. Menjadi penyanyi. Nggak usah terkenal, yang penting bisa didengar," katanya merendah. Sedangkan Edi tetap bercita-cita menjadi pemain sepak bola terkenal. Karenanya, setiap Selasa dan Jumat ia masih aktif berlatih bersama klubnya, MBFC -- Merdeka Boys Football Club. Penghasilan pengamen memang terbilang besar bila dibanding dengan anak-anak jalanan lain. Sebap hari, Buyung dan teman-temannya bisa mendapat uang Rp 10-15 ribu. Hasil itu dibagi sama rata. Tapi ada sedihnya. Beberapa kali mereka terbdur di emperan bank sekitar Blok M. Mereka terbangun karena diguyur air oleh satpam setempat. Buyung juga pemah ditangkap petugas. Kepalanya dibotaki. Suatu saat kendang Buyung dicolong jembel-jembel. "Buyung nangis. Saya ngelawan," kata Edi. Toh ia kalah. "Pakaian saya dicopotin mereka, sehingga pulangnya saya telanjang." Tapi keberanian berantam Edi berguna juga. Dulu senantiasa ada prokem yang minta uang dari mereka. Tapi Edi selalu melawan. Kalau mereka masih mengancam, Edi melapor sama "raja Blok M" yang dipanggil dengan Opa. "Nanti Opa yang beresin," katanya. Sejak itu mereka tak pernah diganggu. Banyak juga anak-anak yang menunggu "rezeki jatuh dari langit". Ini paling banyak di daerah perkantoran Jalan Sudirman, Gatot Subroto, maupun Kuningan. Mereka bemmodalkan payung. Bila hujan tiba, anak-anak itu segera menawarkan payungnya untuk orang-orang yang baru turun dari bis kota dan hendak menuju kantornya. Anak-anak itu, umumnya masih di SD, mengorbankan tubuhnya, basah kuyup, mengiringi langkah pemakai payungnya, untuk uang seraus rupiah. Sebagian besar anak-anak jalanan benar-benar bekerja sendiri. Tapi ada juga yang dikendalikan orangtua. Seorang lelaki yang -- sebut saja bemama Slamet -- duduk di kawasan Bundaran HI. Ia bukan pejual koran. Melainkan "bos" dua anak perempuan dan empat anak lelaki. "Mereka keponakan saya," katanya. Menurut Slamet, ayah anak-anak itu "meninggal di Timor Timur". Sedang ibunya meninggal karena melahirkan. Jadilah Slamet induk enam anak, ditambah anaknya sendiri delapan orang. Toh semuanya bisa ia sekolahkan. Tapi selain sekolah, "semua keponakannya juga berkewajiban jualan koran dan majalah." Anak-anaknya sendiri bdak. Slamet, yang mengambilkan koran dan majalah, menungguinya, dan menampung setoran uang anak-anak itu. Bagi Dinas Sosial DKI, tidak semua anak-anak yang mencari duit di jalanan itu masalah yang harus ditanganinya. Pihaknya tak mengutik sama sekali para pedagang asongan. Dalam pandangan Syamsudin, kepala kantor itu, para pedagang -- entah koran, rokok, permen, atau yang lain -- menawarkan barang yang jelas. Tak ada paksaan bagi pengendara untuk mengellarkan uang. "Mereka bekerja mandiri, tak ada masalah sosial," kata Syamsudin. Kalaupun ada masalah, hanya menyangkut lalu lintas. Itu hanya urusan Polantas. Para pengemis -- yang hanya dapat mengharap rasa kasihan orang lain -- juga tak memaksa para pengemudi itu untuk merogoh kantungnya. Lain halnya para pengelap mobil. Setidaknya dalam kaca mata orang-orang Dinas Sosial. Anak-anak itu, menurut Syamsudin, tidak memberi jasa sama sekali. Tidak ada yang minta mereka untuk mengelap mobil. "Tapi mereka cenderung memaksa," katanya. "Tahu-tahu mereka ngelap, terus minta uang jasa." Tak diberi? Ada yang nekat. Kadang anak-anak itu cuma mengetok-ngetok kaca dengan uang logam. Yang keterlaluan, ada yang lalu menggores badan mobil dengan paku dan obeng. "Pernah ada mobil yang baru keluar dari showroom, kena gores obeng. Waktu dikejar, teman-teman pengelap itu malah mau menimpuk." Tentu hanya sebagian pengelap mobil yang sekasar itu. Namun, cukup untuk menarik Dinas Sosial beroperasi. Dengan dana sejuta rupiah sebulan, mereka mengerahkan petugas untuk melakukan razia "gerakan santunan sosial" tiga kali setiap minggu. Razia ini menggaruk para gelandangan, tukang lap, dan orang gila. Bisa dimengerti jika lawan atau Pri selalu celingukan, kalau-kalau ada petugas yang hendak menangkap mereka. Dari gerakan itu, Dinas Sosial punya data. Di seluruh Jakarta, disinyalir ada 39 tukang lap. Semuanya laki-laki, kebanyakan di bawah. umur 15 tahun. Pendapatan mereka di atas Rp 2.000 sehari. Daerah asalnya beragam. Ada yang dari Semarang, Tulungagung, Cilacap, Cikampek, Surabaya, Wonogiri, juga dari beberapa daerah di Sumatera. Anak-anak itu ada yang datang sendiri ke Jakarta, ada juga yang bersama keluarganya. Banyak di antara mereka yang buta huruf Tapi ada juga yang lulus SD, dan malah pernah sekolah di SMA. Agaknya mereka sadar persis, bahwa petugas selalu mengincarnya. Maka, wilayah kerja para tukang lap ini berpindah-pindah. Syamsudin percaya para tukang lap itu terorganisasi. Dan berkecenderungan kriminal. Ada seorang yang pernah memanfaatkan anak-anak tersebut sebagai pengedar pil BK -- obat terlarang. "Orang itu menyerahkan diri pada Kamtib (Keamanan dan Ketertiban). Sekarang ia jadi pengamen," kata Syamsudin. Para tukang lap yang ditangkap dimasukkan ke panti asuhan. "Saya pernah diangkut ke Cililitan," kata Supri. Di sana, pada awalnya, anak-anak itu baik-baik. Beberapa hari kemudian, mereka mulai bikin ulah. Lalu menyelinap kabur. "Memang sukar membujuk mereka hidup sebagaimana layaknya anak-anak lain." Sudah barang tentu, tak semua mereka bertabiat jahat. Sejumlah orang memang menjadi korban anak-anak jalanan. Di perempatan Kuningan, misalnya, pernah sejumlah anak yang berlayak sebagai penjaja asongan. Tapi mereka membikin mogok mobil yang terjebak macetnya daerah lampu merah. Lalu memeras pengemudi mobil itu. Hal serupa acap terjadi saat hujan lebat, bila air menggenangi jalan. Tidak semuanya memeras. Tapi, setidaknya, jasa mereka akan dibutuhkan buat mendorong mobil itu. Mungkin banyak orang sebal melihat kerumunan anak-anak itu. Tapi, tahukah, berapa banyak jasa mereka? Orang yang kehujanan di halte-halte bis memerlukan jasa "sewa payung" yang cuma Rp 100. Para perokok, yang lagi merasa asam mulut dan memerlukan permen, yang ingin mengikuti berita mayat terpotong tujuh, sangat bergantung pada kerelaan anak-anak itu bergabung dengan kerasnya kehidupan jalanan. Mereka pula ujung tombak banyak perusahaan. Bahkan perusahaan besar. Hampir semua penerbitan pers menggunakan anak-anak jalanan sebagai tulang punggung pemasaran mereka. Baik surat kabar maupun majalah. Buku pun mulai dipasarkan dengan cara itu. Misalnya buku Liem Sioe Liong terbitan Indo Media. Demikian juga produsen permen. Merk Vicks, Hexos, juga Kopiko, dan bahkan permen jahe, sekarang lebih mudah ditemui di jalan-jalan kebmbang di toko. Suara tek-tek-dung-dung-dung dari balik kebak penumpang bis kota masih akan terus berkumandang. Tawaran rokok, permen, koran, bahkan pengelapan mobil setengah paksa agaknya masih berkepanjangan. Mungkin menyebalkan. Tapi apa lagi yang bisa dilakukan anak-anak itu? Anak-anak korban kemiskinan orangtuanya, dan yang sedari kecil pada kerasnya kehidupan. Mereka memang hebat. Dalam usianya yang masih hijau, mereka sudah mandiri. Ketika sebayanya masih merengek-rengek minta diajak ke Dunia Fantasi, atau menghamburkan uang buat Pizza, Fried Chicken, juga mulai ke diskotek dan mencicipi minuman keras, mereka sudah bekerja keras untuk mendapat uang seribu dua ribu. Mudah diramalkan, hanya uang seribu dua ribu itu pula yang akan mereka terima di hari tuanya. Adakah jalan keluar bagi anak-anak itu untuk hidup lebih baik?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini