DI LUAR pagar masuk ke pertokoan Senen -- Jakarta Pusat -- anak itu duduk memojok. Ia tak sendiri. Tangan kecilnya yang penuh bekas koreng, memeluk bayi. Jabang kurus kecil yang keadaannya tak lebih baik ketimbang penggendongnya. Namanya Rusdi. Rusdi berumur sekitar lima bulan. Tapi ia tak lagi lucu sebagaimana bayi lain. Ia diam saja di pelukan kakaknya. Sesekali merengek. Kaki, tangan, dan tubuhnya yang kecil kurus nampak hitam dan dekil, sehingga kepalanya terasa besar. Rambutnya memerah. "Saya disuruh Emak cari duit," kata Rochani, sang kakak, sambil membetulkan selendang merah penggendong adiknya, yang di sana-sini sudah robek. Baju Rochani dan Rusdi, entah disengaja atau tidak, sama buruknya dengan selendang itu. Selama bulan puasa, Rochani mengemis, dengan mengacungkan bekas wadah sabun cuci. "Buat lebaran," katanya. "Buat beli baju." Sudah dua tahun Rochani menjadi anak jalanan. Dulu, katanya, ia sempat sekolah. Sewaktu naik ke kelas dua, ia keluar. "Nggak boleh sama Emak," katanya. Alasannya: tak ada duit. Sejak itu, anak lelaki berumur 10 tahun itu dan adik-adiknya -- Sanek (8 tahun) dan Udin 7 tahun) -- menjadi pasukan pemburu uang buat keluarga. Pangkalan mereka di Proyek Senen. Sanek dan Udin tak pemah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Kakak beradik Rochani, Sanek, Udin, hingga Rusdi adalah potret lusuh. Hanya satu kalimat yang tepat buat menggambarkan nasib mereka, yakni: korban kemiskinan -- mungkin juga kebrengsekan -- orangtua. Mereka terpaksa mewarisi cara hidup tak menentu. Mereka, tanpa disadari oleh orangtuanya, telah dijerumuskan pada bubu kehidupan yang sulit dicarikan jalan keluar. Rochani berasal dari keluarga Betawi asli, di Cililitan. Sekarang tinggal di dekat Senen, pada rumah kontrakan Rp 150 ribu setahun, yang, menurut Rochani, "bagus". Bagus ukuran mereka adalah bertembok, berkamar tiga, berkamar mandi yang airnya "dari pancuran, dari kali". Ada tiga tempat tidur kayu, tanpa kasur. Bapaknya dulu pernah jualan bangku. Tapi entah mengapa, "sekarang lebih sering nganggur dibanding keluar nyan duit," kata Rochani sambil berusaha meredam rengekan Rusdi. "Kadang-kadang aja kerja di gedongan, kalau diminta ngecat rumah orang." Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, emaknya jualan sayur. Modalnya datang sendiri setiap subuh, berupa cabe dan sayuran lain yang jatuh dari truk. Sayuran tercecer itu dikumpulkan. Bisa mencapai setengah karung. Lalu dibawa ke rumah untuk dibersihkan. Sekitar jam sepuluh pagi, dijajakan di Pasar Pagi Senen hingga jam tiga sore. Hidup dari jual ceceran sayur saja, sulit buat wanita itu untuk menghidupi enam anak. Maka, diambilah langkah: "mempekerjakan" keempat anak lelakinya. Dua anak perempuannya kebagian peran beres-beres rumah. Salah satunya, Heni, baru kelas tiga SD, biarpun usianya sudah sebelas tahun. Rochani mulanya cuma membantu emak memunguti sayuran jatuh. Lalu, ikut ayahnya yang sesekali mengemis. Tapi kapok. Kemudian ia beroperasi sendiri, baik mengelap mobil di perempatan maupun mengemis. Jam kerja Rochani tidak menentu. Kalau pas rajin, ia bisa mengatungkan tangannya sampai larut malam. Kalau lagi malas, ia akan segera pulang begitu hari panas. Yang jelas, ia harus pulang membawa uang. Entah cuma seribu atau lebih. "Kalau enggak, Emak bisa marah-marah," katanya. Kewajiban begini juga dibebankan pada Sanek yang kadang mengelap mobil, kadang juga mengemis. Hanya Udin yang, karena masih kecil, boleh berkelit dari kewajiban itu. "Dia sih males kerja. Duitnya suka dijajanin," celetuk kakaknya. Udin cuek saja. "Enakan main," ucapnya. "Kalau dapet gocap (lima puluh perak) langsung jajanin aja." Ia lalu menyeka ingus yang terus motor dari hidung, dan mengelapnya pakai kaus dengan wama yang sudah campur-baur. Hiburan? Itu barang langka bagi mereka. Paling-paling hanya bermain congklak dengan adik-adik. Atau sesekali ke rumah tetangga. Selebihnya, di rumah ada lima mobil-mobilan plastik. Sedang buat adik terkecil "ada boneka-bonekaan". Tapi lebih dari itu, rumah adalah neraka. Hari-hari keluarga Sai adalah hari-hari cekcok. "Di rumah hawanya panas. Maunya pergi aja. Habis sering diomelin Emak. Belum lagi kalau Bapak tengkar sama Emak. Juga kalau di rumah banyak biji cabe," kata Rochani. Rochani dan saudara-saudaranya pernah mencoba menabung, sampai terkumpul Rp 20 ribu. Tapi tabungan anak-anak itu dicolong begitu saja oleh ayahnya. "Dipakai beli AO," kata Rochani. AO yang disebut Rochani adalah minuman keras murahan. Ayahnya pun pun mabuk-mabukan. Selain itu, ia juga sering minta uang "hasil kerja" anaknya, sekitar Rp 500. Lalu ngeloyor pergi sebelum ketahuan istrinya. Kalau orangtuanya bertengkar, menurut Rochani, anak-anak juga yang menjadi korban. Karena biasanya ibunya lalu mengusir semuanya. "Kalau sudah begitu," kata anak keca itu, "saya pergi, dan tidur di taman-taman." Esoknya baru ia pulang. Sudah tentu samba membawa uang hasil minta-mintanya. Bagi emaknya yang nomor satu uang dan uang dan uang. Tak peduli berapa pun. Padahal, anak-anaknya sering menjadi serba salah. Betapapun ia jujur pada orangtuanya. Anak-anak yang lebih besar, tukang semir sepatu, sering memaksa Rochani atau adiknya untuk memberi uang. "Emak baang, kalau ada yang memaksa minta uang, berikan saja semua," katanya. "Tapi kalau pulang nggak bawa duit juga diomelin." Emaknya memang gatal mulut kalau tidak mengomel. Ia tak mau keinginan anaknya bermain. Ia tak mau mengerti bahwa anak seusia Rochani dan adik-adiknya sesekali butuh menikmati dunianya sendiri. Kalau ketahuan pergi agak jauh, misalnya ke Monas, anak-anak itu bakal didamprat. Juga kalau ia sedikit korup. "Emak tahu aja. Dapetnya harus segitu terus." Kesedihan lain adalah saat berhubungan dengan petugas Kamtib -- Keamanan dan Ketertiban. Pernah suatu malam, Rochani tidur di taman terbuka. Saat itu petugas beroperasi. Rochani kena ciduk, dan dibawa ke tempat penampungan tunawisma maik Dinas Sosial di Pondok Bambu. "Bapak nggak pernah ngurus," katanya. Dibiarkan saja ia berada di sana, sampai kemudian anak itu kabur sendiri dari Pondok Bambu. Kita tak tahu apakah Rochani sungguh-sungguh tak menikmati kehidupannya sebagai anak jalanan. Mungkin ia sekadar menjalani jalan hidup yang tak dapat dihindarinya. Seperti juga anak-anak jalanan lain. Tapi, tentu tak semuanya. Di Pondok Aren ada bocah yang berbeda. Ia sepertinya sangat menikmati kehidupannya yang kayak Gypsi. Anak itu tak pernah suka mengatakan siapa dirinya. Juga tidak untuk menyebut nama. Kawan-kawannya, juga orang yang mengenalnya, memangganya "Buyung". Mungkin itu bukan nama sebenamya. Mungkin hanya nama panggaan. Tapi ia menoleh bila dipanggil "Buyung". Sementara mulutnya lebih sering terkatup rapat -- sesekali meledakkan tawa kaki, tangan, dan bola matanya sulit untuk diam. "Jeger! Jeger! Jeger!" teriak bocah yang menggelantung di mobil omprengan. Matanya nyalang mencari penumpang. Satu tangannya menunjuk arah "Jeger" -- halte terakhir yang dituju kendaraannya. Tangannya yang lain berpegang erat pada tubuh mobil. Buyung bukan kenek omprengan itu. Toh ia suka ikut berteriak membantu kenek temannya, ketimbang duduk mematung seperti para penumpang. Hanya setelah capek berteriak, Buyung bisa duduk tenang. Tubuhnya yang kecil -- sepertinya anak usia enam tahun -- serta wajahnya yang bening polos mengundang rasa iba orang yang memandangnya. Tapi ia tak ingin dikasihani. Ia bergerak lagi "Jeger! Jeger!" Ia akan berkisah kalau ditanya. Asalnya Silungkang, Sumatera Barat. Yang mengajak ke Jakarta? "Nenek sihir," jawabnya sekenanya, lalu tiba-tiba meloncat pergi. Tiba-tiba pula balik. Kemudian berkisah lagi. Suatu hari ketika ia pulang main, ayah dan ibu Buyung tak ada di rumah. Datanglah seorang nenek sihir seram mengatakan orangtua Buyung sudah hanyut ditelan banjir. "Saya diambil oleh nenek itu dan tinggal bersamanya," kata Buyung. Di sana, ia disuruh mengumpulkan kayu dan memotong rumput, sebelum kemudian diperintahkan pergi ke Jakarta dengan seorang kawan yang ia lupa. Cerita tentang nenek sihir jelas bualan. Yang dipercayai oleh mereka yang sudah bergaul lama dengannya: ayah ibu Buyung memang dihanyutkan banjir. Karena sebatang kara, Buyung memutuskan pergi ke Jakarta walaupun usianya ketika itu masih pantas untuk merengek-rengek. Mulanya ia menjadi pengamen, juga tukang semir di sekitar Blok M. Tapi kemudian ia lebih suka ikut mobil omprengan di Pondok Aren, menjadi kenek tak tetap. Suatu malam, saat ia meringkuk lelap di depan warung, seorang sopir yang memerlukan kenek membangunkannya. "Ikut aku, Yung." Tanpa banyak bicara, Buyung meloncat ke mobil omprengan. Tempat tinggalnya tidak menentu. Ia mengaku sering tidur di rumah Otoy, tukang jahit di daerah Jurangmangu. Tapi -- bila malam -- kalau tidak di pangkalan omprengan, ia paling mudah ditemui di samping bioskop Pondok Aren. Acap main dingdong di situ. Bila malam Minggu, ia sering nonton midnight. Malam itu ia hanya duduk, tak acuh. Rokok yang dibelinya ketengan diisapnya dalam-dalam. Mendadak ia menyenggol kawannya yang jauh lebih tua, Kondom, yang nama sebenamya Dede. "Yuk kita nonton, filmnya bagus tuh," katanya sambil menunjuk poster film Pengakuan Seorang Pelacur. "Asyik. Pasti banyak...." Kawan-kawannya tertawa. "Emangnye kamu tahu gituan?" kata Kondom. "Emangnye kamu udah punya cewek?" Bukannya menjawab, Buyung malah loncat dari pagar yang didudukinya, dan berlari menuju gerombolan anak-anak yang lebih tua itu. Ia jambret topi salah seorang di antara mereka yang botak, dan dikenakannya di kepalanya sendiri. Si Botak dan lima kawannya marah. Mereka mengeroyok Buyung. Tapi Buyung memukul salah seorang hingga jatuh. Kemudian kabur ke sisi Kondom. Melihat Kondom yang bertampang sangar, gerombolan itu takut. Botak mendekat. "Yung, kembaliin topi gue. Gue kalah deh, Yung," pinta Botak. Buyung tak peduli. Ia malah ngeloyor untuk beli rokok. Buyung memang bandel. Tapi ia bisa sopan dan selalu punya waktu buat menegur "Pak" atau "Bu" pada orang yang dikenalnya, sebelum kemudian meloncat lagi menyapa yang lain. Banyak keluarga di Ulujami, Pondok Aren, dan Jurangmangu yang ingin mengambilnya sebagai anak angkat. Tapi Buyung tampak lebih suka mencari makan sendiri dan hidup menggelandang. Hanya untuk menyenangkan keluarga-keluarga itu. dan kalau memang perlu misalnya waktu sakit -- ia mau menginap semalam dua malam untuk kemudian pergi lagi. Sebagai kenek, sehari pendapatannya sekitar Rp 2.000. Uang itu dititipkannya pada seorang penjual rokok. Ia tetap hidup seenaknya. Juga ketika sebuah omprengan dari Kebayoran Lama berhenti di samping bioskop. "Yung, jalan yuk, Yung," kata sang sopir. "Nggak, deh, Bang. Capek nih, mau tidur!" jawab Buyung. "Ayo deh, Yung, satu rit aja. Trus pulang." "Capek, Bang. Sorry deh, besok aje." "Ayo dong, Yung, satu rit aja. Bener, deh." Sopir itu terus membujuk, sambil senyum. "Iya, deh. Tapi satu rit ya." Buyung langsung meloncat ke omprengan. tanpa pamit pada kawan-kawannya. Agaknya, ia akan terus mengubur keinginannya yang sesekali muncul: pergi sekolah. Untuk urusan sekolah, dua pengamen cilik, Eman Sulaiman dan Elizabeth Silitonga, tak mengabaikannya. Keduanya baru berusia 11 tahun. Mereka sering berpapasan di terminal Blok M. Lalu bersepakat untuk kerja sama: mengamen bareng. Mereka menaati tata cara khas pengamen. Mula-mula mengucap permisi dan minta maaf pada "bapak-bapak, ibu-ibu, kakak-kakak, karena mengganggu perjalanan," alu baru mendendangkan dangdut. Pinggul Sabet, panggilan Elizabeth, yang terlilit rok jeans biru bergoyang membuat penumpang geli, sebal, atau kasihan. Setelah dua lagu, ia mengucap "selamat jalan". Sedang Eman mengulurkan kantung kertas, menampung pemberian orang orang. Nanti sekitar jam delapan malam, mereka membagi penghasilan. Ayah Eman sudah meninggal. Ibunya kawin lagi. Tapi ia tak tahan dengan keluarga barunya, ia memilih dipungut anak oleh Bang Mis -- pemilik warung tegal di daerah Blok A, Kebayoran. Ia tak tahu lagi di mana sekarang ibunya. Penghasilan Bang Mis juga tidak menentu. Tapi ia selalu memberi Eman uang Rp 200 setiap hari, untuk pergi sekolah di madrasah. Bang Mis tak melarang Eman mengamen. Yang penting, seperti dituturkan Eman, ia terus sekolah, agar bisa menjadi "orang besar". Lutut kanan "calon orang besar ini" dihiasi goresan panjang akibat ditabrak motor ketika sedang jual koran, tiga tahun lalu. Sabet sendiri nyamen sejak tahun 1982. "Bang Marudut yang ngajak," katanya, menyebut nama abang kandungnya. Ia mengaku mula-mula merasa malu Tapi kemudian ketagihan. Ketika sedang mengamen, ia pernah kepergok kawan sekolahnya di SD Manggarai. "Saya ketawa saja...," ujarnya. Kapan Elizabeth, Eman, Buyung serta Rochani bakal mengakhiri kariernya sebagai anak jalanan, tak seorang tahu. Mungkin mereka sendiri juga tak tahu. Agaknya, hanya kesadaran dan kesempatan sekolahlah yang bisa mengubah mereka. Rochani terpaksa meninggalkan sekolahnya, karena "Emak nggak boleh". Padahal, ia sangat dekat dengan Bu Gurunya. Ketika hendak pindah ke kampung, guru itu sebenarnya mengajak Rochani pindah ke daerah. Tapi orangtua Rochani tak membolehkan. "Lalu Bu Guru cuma minta foto saya," kata Rochani pelan. "Katanya buat kenang-kenangan."Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini