SAMPAI Minggu subuh kemarin ini, tepatnya pukul lima pagi, lantai tiga di gedung induk Bank Indonesia masih terang-benderang. Di pelataran, terparkir 18 mobil pejabat teras dan staf BI. Ternyata, tengah digelar rapat mahapenting. Hadir antara lain Gubernur BI Syahril Sabirin, Deputi Senior Anwar Nasution, dan para deputi lainnya. Rapat sudah berjalan 18 jam! Seorang satpam sampai bilang, inilah rapat terlama yang pernah berlangsung di lembaga itu. "Kami gantian tidur di atas," kata Syahril Sabirin kepada TEMPO.
Rapat gawat itu berkaitan, antara lain, dengan hasil audit PricewaterhouseCoopers (PwC) yang sudah kelar dan beredar secara terbatas sejak Rabu pekan lalu. Sebuah tanggapan sedang mereka rancang. Menurut penilaian Syahril, hasil audit itu "terlalu sederhana dan ditemukan banyak kesalahan."
Kantor akuntan publik kenamaan itu sejak 2 September lalu diberi kuasa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)—atas desakan IMF dan Bank Dunia—untuk menginvestigasi skandal Bank Bali yang menghebohkan itu. Dan yang terpenting adalah untuk menelusuri arus transfer "duit jarahan" Rp 546 miliar yang menggerojoki rekening sang makelar, PT Era Giat Prima (EGP) dan pengusaha Joko Soegiarto Tjandra. Apa hasil PwC yang menurunkan 20 orang tim audit dan mewawancarai 100 nama itu? Sekretaris Senior Partner PwC, Frederika Ristanti, menolak memberikan keterangan apa pun soal audit itu.
Tentu saja Gubernur BI kalang-kabut. Isi laporan itu memang gawat. Sumber TEMPO dari sebuah kantor akuntan internasional terkemuka mengungkapkan tingkat kegawatannya. Dari apa yang dibacanya, sejumlah nama menteri dan kalangan dekat Presiden Habibie terbukti menerima cipratan uang haram itu. "Tanri Abeng confirmed," katanya. Bersama Menteri Negara Pendayagunaan BUMN itu, sejumlah petinggi Golkar dan anggota DPR dari Fraksi Beringin juga masuk daftar penerima fulus. Tapi, kepada Leanika Tandjung dari TEMPO, Menteri Tanri membantah. Ia bahkan menuding ada konspirasi yang ingin menjerumuskannya. "Saya takut sekali," katanya menerawang.
Menurut seorang petinggi Golkar yang mendapat info dari kalangan dalam PwC, dokumen itu juga telah menelanjangi keterlibatan semua tokoh penting yang disebut dalam Catatan Penting Rudy Ramli. Selain Tanri, tertera nama-nama beken: Ketua Dewan Pertimbangan Agung Baramuli, Gubernur BI Syahril, Menteri Keuangan Bambang Subianto, Deputi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pande Lubis, Wakil Bendahara Golkar Marimutu Manimaren, Setya Novanto, dan banyak lainnya.
Kesimpulannya juga galak. PwC menyatakan telah menemukan banyak indikasi praktek korupsi, penyuapan, dan kebusukan lain. Untuk itu, mereka merekomendasikan suatu investigasi susulan dengan daya jangkau lebih luas, yang meliputi data keuangan di BPPN, BI, bank-bank lain, sampai penelusuran rekening perorangan dan perusahaan yang diduga terlibat.
Bocoran mahapenting itu hampir mengukuhkan satu hal, yakni pencairan tagihan piutang Bank Bali di BPPN senilai Rp 904 miliar itu bermuara pada sebuah tim yang disebut pers sebagai Tim Sukses Habibie. Paling tidak, jika Presiden Habibie tak terbukti menerima kucuran dana, ia ikut bertanggung jawab atas sepak terjang tim sukses yang terdiri atas para menteri dan kalangan dekatnya itu.
Namun, seperti biasa, ketika sejumlah menteri disebut-sebut, upaya menghapus jejas buru-buru dilakukan. Sumber di kantor akuntan itu mempertanyakan motif Ketua BPK Satrio Budihardjo "Billy" Joedono yang meminta PwC membuat dua versi laporan. Laporan pertama dibuat amat rinci setebal 200 halaman, tapi versi ringkasnya cuma 36 halaman. Perbedaan terpenting: laporan yang sudah disederhanakan itu sama sekali tidak menyebut nomor dan pemilik rekening. Jelas ada sejumlah nama yang "disimpan" agar tak keluar di hasil audit itu.
Keanehan ini, menurut ekonom Universitas Indonesia Sri Mulyani, yang tengah berada di Amerika, juga dipertanyakan Direktur IMF untuk Asia Pasifik, Hubert Neiss. Menurut Sri, Neiss menyatakan kekecewaannya atas pengempisan dokumen itu. "Ia juga bilang tak lagi bisa memercayai Gubernur BI Syahril," katanya kepada TEMPO.
Laporan rinci tersebut juga diketahui Neiss sudah mengeram di laci BPK dan kepolisian. Presiden Habibie dan Gubernur Syahril juga memegang kopinya. Seorang perwira menengah di Mabes Polri membenarkan. Tapi Kepala Subdinas Penerangan Umum Mabes Polri Kolonel Saleh Saaf buru-buru menyangkalnya. "Kan, sudah jelas hasil pemeriksaan kemarin tidak ada kaitannya dengan pejabat negara," katanya.
Info dari kalangan dalam PwC mengungkap cerita di baliknya. Rupanya, Billy Joedono kaget alang-kepalang begitu menerima dokumen itu. Pejabat yang dikenal dekat dengan Habibie itu belingsatan melihat hasil audit PwC yang sudah merambah "terlampau jauh". Maka, laporan itu buru-buru diminta untuk "dipoles". Billy juga kabarnya sampai menolak meneken tanda terima yang disodorkan PwC. Sayang, Billy tak bisa dihubungi.
Tanda-tanda bahwa laporan itu telah "dipelintir" pun terlihat dari audit yang dilakukan BPK. Hasilnya amat kontras dengan penyelidikan PwC. Indikasi yang jelas adalah hilangnya nama sejumlah pejabat yang jelas-jelas tercantum dalam dokumen PwC. Selain itu, ada kecenderungan untuk menumpahkan seluruh kesalahan pada BPPN dan Menteri Keuangan. Ketua Tim Audit Khusus BPK dalam Kasus Bank Bali, Bambang Wahyudi, membantahnya. Ia menyatakan, audit BPK hanya menitikberatkan pada pemeriksaan keuangan negara. "Kami tidak melihat lebih jauh apakah ada skandal atau tidak," katanya.
PwC ternyata juga dihalang-halangi dalam bekerja begitu disebut bocoran itu. Akses data ke BI minim. BI bahkan menolak membeberkan data lengkap akuntansi yang diperlukan. Yang paling parah, kata sumber TEMPO, ada dua rekening yang diblokade dengan tameng Undang-Undang Kerahasiaan Bank. Milik siapa? Marimutu Manimaren, pengusaha tekstil, dan account tempat arus balik (khususnya dari luar negeri) dana Bank Bali berasal. Diduga kuat, dari rekening Manimaren itulah miliaran rupiah dikucurkan ke kocek sejumlah pejabat tinggi negara dan kalangan dekat Habibie.
Deputi BI Miranda Goeltom membantah isu pemblokiran ini. Pokok masalahnya, katanya, PwC bertindak atas kuasa BPK sehingga otomatis terbelenggu asas kerahasiaan bank. Sumber TEMPO yang lain mengatakan, seharusnya IMF meminta PwC bertindak atas penugasan kepolisian. "Kalau polisi yang minta, benteng hukum rahasia bank bisa diterombol dengan leluasa," katanya.
Toh, ada beberapa temuan menarik yang diungkap laporan versi ringkas itu. Di salah satu paragrafnya, misalnya, ditulis pengakuan Joko Tjandra yang menyatakan fee Rp 546 miliar itu telah dialirkan ke rekening berbagai pejabat negara dan pemimpin partai. Dokumen itu juga menyatakan berhasil mengendus 100 transaksi dari arus transfer EGP dan Joko Tjandra di Bank BNI Cabang Kuningan dan pengembaliannya ke escrow account (rekening sengketa) EGP di Bank Bali. Tapi, saat dikontak Dwi Arjanto dari TEMPO, Joko memilih bungkam. "No comment," katanya.
Persekongkolan di BPPN juga diungkap PwC, terutama tindakan "jibaku" Deputi BPPN Pande Lubis dalam mengegolkan pencairan klaim Bank Bali. Pada 16-17 Februari lalu, Pande dicatat menggelar rapat bersama pejabat Unit Pengawasan dan Pengembangan Perbankan (UPPB) BI. Ia minta agar tagihan Bank Bali diverifikasi walaupun telah dinyatakan tak layak. Meski para pejabat BI menolak, keesokan harinya Pande tetap melayangkan secarik memo ke Erman Munzir dari UPPB BI untuk melakukan reverifikasi tagihan piutang Bank Bali. Ia menyatakan, hal itu sudah menjadi keputusan pada rapat sebelumnya. Sejumlah memo serupa dengan tulisan tangan Pande juga dibeberkan.
Pertemuan Pande Lubis dengan Menteri Keuangan Bambang Subianto yang membuahkan revisi SKB untuk mengegolkan pencairan itu juga diungkap—termasuk riwayat kedekatan Pande dengan Menteri Bambang sejak 36 tahun lalu. Ternyata, Bambanglah yang mendudukkan Pande—saat itu lagi menganggur sekeluar dari Bapindo—di kursi deputi BPPN.
Pada saat pencairan klaim Bank Bali, 1 Juni 1999, PwC juga melukiskan kesibukan luar biasa Pande dan Syahril Sabirin. Dilukiskan juga proses pencairannya yang berlangsung secepat kilat. Hari itu, pukul 12.00, setelah bertemu dengan Menteri Bambang, ia memerintahkan agar stafnya mengonsep draf surat permohonan pencairan klaim ke Gubernur BI. Tapi, sesaat kemudian, ia juga diminta Wakil Ketua BPPN Farid Harianto untuk membuat surat dengan perihal yang sama. Pande akhirnya membatalkan konsep semula. Surat diteken langsung oleh Farid. Kepada PwC, Farid mengaku membuat surat itu atas perintah Menteri Bambang.
Sore harinya, pukul 18.00, Pande meluncur ke Gedung BI untuk menyampaikan langsung surat itu ke meja Syahril Sabirin. Sementara Syahril memproses pencairannya, selama tiga jam Pande menunggu di BI. Saat itu, surat BPPN masih harus dikembalikan untuk dikoreksi. Akhirnya, pada pukul 21.00, persetujuan final dikeluarkan. Dan malam itu juga BI menggelontorkan tagihan Bank Bali. Terjadilah skandal terbesar perbankan Republik Indonesia itu.
Hubungan intim Baramuli dan Pande Lubis juga diurai. Pada Februari, hubungan Pande dengan Ketua BPPN Glenn Yusuf menegang. Penyebabnya, Glenn menolak merekrut 45 mantan bawahan Pande semasa menjabat direktur Bapindo yang diragukan integritasnya. Sekitar Mei, keretakan ini mencapai puncaknya. Glenn meminta Menteri Bambang memecat Pande. Bambang menolaknya. Eh, tak lama kemudian, telepon di kantor Menteri Keuangan berdering. Suara di ujung sana ternyata datang dari Baramuli. Sang Ketua DPA—entah apa urusannya—giliran meminta Bambang mendepak Glenn untuk digantikan Pande.
Kesimpulan terpenting dokumen itu terletak di bagian yang mengukuhkan kesaksian Rudy Ramli. "Investigasi kami tidak mendiskualifikasi satu pun kebenaran isi pernyataan (Rudy Ramli) itu," demikian tulis laporan tersebut. Berbagai pertemuan Rudy dengan para pejabat dan kalangan dekat Habibie dikonfirmasikan berbagai sumber tertutup PwC. Menteri Bambang, meski menyangkal tak pernah membicarakan ihwal cessie Bank Bali, mengakui adanya pertemuan-pertemuan itu. Sementara itu, Pande dan Syahril Sabirin menyangkal telah menghadirinya. Adapun Baramuli malah tak memenuhi undangan wawancara PwC. Tanri Abeng dan Setya Novanto mengunci mulut rapat-rapat.
Saat ditemui TEMPO, wajah Menteri Bambang terlihat letih dan tertekan. Rambutnya awut-awutan. Menurut seorang sumber dari kalangan dekatnya, Bambang mengaku pernah mengatur pertemuan Rudy dengan Marimutu Manimaren pada 25 Mei. "Tapi dia (Manimaren) itu yang kepingin ketemu Rudy. Lalu, saya kasih tahu nomor teleponnya dan saya hubungkan," katanya menirukan ucapan sang Menteri. Bahkan, Bambang juga mengaku mendapat banyak tekanan dari orang-orang yang tergabung dalam Tim Sukses Habibie. "Kalau (tekanan) itu, sih, sudah lama. (Dalam soal) AMC (Asset Management Company)-lah, soal Power Bank-lah. Mereka ingin menganulir BPPN karena menguasai aset yang besar," kata sumber itu lagi.
Yang jelas, laporan itu tak pelak bersinergi dengan pengakuan Rudy di depan rapat dengar pendapat DPR RI, Kamis pekan lalu. "Sesuai dengan KTP, nama saya Rudy pakai y, bukan i," kata tokoh kunci Baligate itu saat memperkenalkan dirinya di depan anggota Komisi VIII DPR dan ratusan wartawan yang berjejal di Senayan. Ia mengungkapkan bahwa catatan harian yang bercerita tentang pertemuan dengan sejumlah pejabat adalah benar adanya. Catatan harian itu diserahkannya kepada Kwik Kian Gie dkk. di kantor pengacara Dimyati Hartono dari PDI Perjuangan.
Yang mengejutkan, ia pun menyangkal telah membuat surat bantahan atas nama "Rudi" Ramli yang dibacakan Menteri-Sekretaris Negara Muladi di Bina Graha, 26 Agustus lalu. Kabinet langsung geger. Lalu, berlangsunglah semacam permainan lempar bola yang menggelikan. Para pejabat seperti takut ketiban "bara panas" yang dilontarkan Rudy Ramli (lihat Kim Johanes-Baramuli di Balik Bantahan Rudy).
Keberanian Rudy Ramli buka suara di DPR membuatnya kembali "diburu". Seorang mantan pengacaranya mengungkapkan cerita seram. Ia mendengar kabar bahwa sidang kabinet telah mengeluarkan perintah penangkapan untuknya atas tuduhan membuat keterangan palsu. Kepada Hendriko L. Wiremmer dari TEMPO, pengacara Rudy, Bob R.E. Nasution, mengatakan juga mendengar hal itu. Untuk itu, ia langsung mendatangi Komisi VIII DPR untuk menagih janji perlindungan hukum bagi Rudy dari Panglima TNI dan Kepala Kepolisian RI.
Kabar di seputar upaya meredam gaung Baligate terus bergaung. Kali ini soal adanya tangan-tangan kekar yang berupaya "mengatur" penyidikan kepolisian. Menurut seorang perwira menengah di Mabes Polri, pada akhir Agustus lalu, seorang ajudan Presiden menitipkan pesan untuk para petinggi Polri. Isinya: agar polisi jangan menjamah orang-orang dekat Presiden. "Dia juga minta untuk memperlambat penyidikan skandal Bank Bali sampai Sidang Umum MPR selesai," katanya.
Nada miring itu dibantah Direktur Reserse Tindak Pidana Korupsi Kolonel Fajar Istijono. Tapi keengganan aparat untuk menyidik tuntas Baligate sampai ke akar-akarnya juga kentara. Tengok saja. Menurut Fajar, sampai saat ini, di berita acara kasus Bank Bali tak ada satu pun nama pejabat ataupun kalangan dekat Presiden Habibie. Yang lebih aneh, korps baju cokelat juga menutup mata terhadap keterkaitan antara fakta yang diungkap Rudy Ramli dan penyidikan yang tengah berjalan. "Itu masalah politik, tidak relevan dengan perkara," katanya enteng.
Sampai kapan pihak Istana tahan menutupi bau busuk skandal demi skandal yang terjadi di sekelilingnya?
SUARA LINGKARAN DALAM PRESIDEN
B.J. Habibie, Presiden RI
"Skandal Bank Bali tidak akan mengurangi kans untuk dipilih menjadi presiden RI 1999-2004."
Muladi, Menteri Sekretaris Negara
"Karena menyangkut sejumlah menteri, surat itu dibahas sidang kabinet. Presiden Habibie memerintahkan surat itu dibacakan, tanpa diberi komentar. Rudy (Ramli) harus diusut polisi."
Tanri Abeng, Menteri Negara BUMN
"Saya tidak terlibat, saya ini profesional. Saya tidak mengetahui orang-orang yang terlibat."
Bambang Subianto, Menteri Keuangan
"Yang penting, apa yang ditandatangani sudah dipikirkan baik-baik."
A.A. Baramuli, Ketua DPA
"Waktu itu akan ada rapat kabinet. Saya beri tahu presiden, ini perlu diberitahukan kepada menteri-menteri karena ada beberapa nama yang disebut dalam catatan harian itu. Kalau mengenai saya, dia omong kosong. Mungkin dia sakit."
Dewi Fortuna Anwar, Juru Bicara Presiden
"Habibie mengatakan tidak ada satu sen pun yang masuk ke rekeningnya ataupun rekening pribadinya."
Marimutu Manimaren, Pengusaha
"Pengakuan Rudy Ramli tidak benar. Saya tidak mau bicara lebih jauh lagi."
UPAYA MENGHAPUS JEJAK PEJABAT
Hasil Audit PricewaterhouseCoopers (versi lengkap, lebih dari 200 halaman)Berisi nama-nama pejabat yang terlibat, nomor rekening, jumlah uang yang diterima, serta aliran arus uang versi lengkap dan detail Didistribusikan Kepada: Billy Joedono (BPK) dan Kepolisian |
Hasil Audit PricewaterhouseCoopers (versi singkat 36 halaman)Dalam isinya tidak menyertakan nama pejabat yang terlibat. Didistribusikan Kepada: BPPN, BI, Dep. Keuangan, BPK, Habibie, dan pejabat terkait. |
Pengurangan informasi ini merupakan permintaan Ketua BPK Billy Joedono dengan mempertimbangkan UU Kerahasiaan Bank. Dicurigai hal ini juga dilakukan untuk menutupi sejumlah pejabat yang terlibat.
Hasil Pemeriksaan BPK (43 halaman)Isinya termasuk aliran arus uang (tapi tidak banyak berbeda dengan versi yang pernah dilansir media massa). Didistribusikan Kepada: DPR dan pejabat terkait. |
Hasil audit PricewaterhouseCoopers menjadi bahan bagi audit BPK selain penyelidikan BPK sendiri.