Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Siapa nama wali kota yang kamu bilang kemarin?”
“Jokowi.”
“Is he good?”
“Yeah, he is….”
Menurut Aryo Puspito Setyaki Djojohadikusumo, percakapan itu terjadi pada 2012 antara paman dan ayahnya: Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo. Waktu itu, Partai Gerindra tengah menjaring kandidat Gubernur DKI Jakarta. Jawaban Hashim itu, kata Aryo, membuat Prabowo mantap menempatkan Wali Kota Solo Joko Widodo menjadi calon gubernur bersanding dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kader Gerindra.
Percakapan pendek itu merupakan lanjutan obrolan untuk memutuskan kandidat yang panjang hari-hari sebelumnya di keluarga Prabowo. Diwarnai ketegangan, Prabowo akhirnya meminta Hashim, adik lelaki satu-satunya, jua yang memberikan saran untuk keputusan akhir. “Ayah itu satu dari dua orang di keluarga kami yang bisa memberi saran kepada Pakde sambil bentak-bentak,” ucap Aryo, anggota Fraksi Gerindra di Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 9 April lalu.
Satu orang lagi adalah Ragowo Hediprasetyo alias Didiet, anak tunggal Prabowo dan Titiek Soeharto, yang bekerja sebagai desainer. Menurut Aryo, keduanya acap ditanyai tiap kali Prabowo hendak membuat keputusan genting dan penting. Memilih Jokowi adalah keputusan genting dan penting keluarga Prabowo ketika itu.
Dengan meminang Jokowi, Gerindra mendapat teman koalisi yang memungkinkan mereka meraih tiket mengajukan pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, partai asal Jokowi. Keduanya harus melobi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk pasangan ini.
Aryo Djojohadikusumo saat ditemui di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan./TEMPO/M Taufan Rengganis
Menjual sosok Jokowi kala itu terbilang berat. Meski populer di Solo, Jokowi terhitung pemain baru di pentas politik nasional. Apalagi ia dipasangkan dengan Ahok, warga keturunan Tionghoa asal Bangka Belitung. Lembaga-lembaga survei menyebutkan elektabilitas keduanya jauh tertinggal oleh inkumben, Fauzi Bowo, yang diusung enam partai, termasuk partai penguasa kala itu, Demokrat.
Rupanya, jalan politik punya alurnya sendiri. Sosok Jokowi yang lembut dan bertampang ndeso menjadi salah satu faktor pemikat simpati warga Jakarta yang bosan dengan gaya memimpin sang inkumben. Jokowi berhasil menyingkirkan Fauzi Bowo meski kemenangan harus ditentukan lewat pemilihan putaran kedua. “Yang membiayai kampanye mereka itu saya, 90 persen lebih,” ujar Hashim pada 2014. Hashim menyebutkan sedikitnya Rp 52,5 miliar ia gelontorkan untuk mendongkrak popularitas Jokowi-Ahok.
Hubungan Hashim dengan Jokowi-Ahok retak menjelang pemilihan presiden 2014. Hashim merasa Jokowi mengkhianatinya karena maju sebagai calon presiden, menantang kakaknya sendiri, orang yang dulu setuju mengusungnya menjadi kandidat Gubernur Jakarta. Ahok pun mundur dari Gerindra.
Selain menjadi tandem dalam membuat keputusan penting bagi Prabowo, Hashim adalah bohir untuk Partai Gerindra. Ia memodali pendirian partai pada 2008, tak lama setelah menjual ladang minyaknya di Kazakstan senilai Rp 2 triliun. Mendirikan partai adalah salah satu cara agar Prabowo bisa berlaga dalam pemilihan presiden 2009 setelah tersingkir dalam konvensi Partai Golkar empat tahun sebelumnya. Namun ia hanya bisa meraih tiket calon wakil presiden Megawati Soekarnoputri, dan kandas.
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, adik Aryo, mengatakan ayahnya mengeluarkan uang besar untuk membiayai aktivitas politik Prabowo dalam pemilihan presiden 2009 dan 2014. Saras menolak menyebutkan jumlahnya. “Ayah saya all out mendukung Pakde,” ucap Saras, yang kini duduk sebagai anggota Komisi VIII DPR, yang membidangi agama, sosial, serta pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Tak hanya dalam urusan duit, Hashim juga habis-habisan membantu Prabowo agar kembali diterima dalam pergaulan internasional, khususnya Amerika Serikat. Negara itu menolak Prabowo karena menganggapnya terlibat pelanggaran hak asasi manusia berat semasa menjadi Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Lobi itu hingga kini belum membuat Amerika melunak. “Bukan cuma Prabowo, banyak jenderal lain juga tidak bisa,” kata Hashim.
Hashim sesungguhnya bukan pejabat eksekutif dalam struktur partai. Jabatannya adalah Wakil Ketua Dewan Pembina, tim yang mengurusi kebijakan dan ideologi partai. Toh, Hashim adalah aktor utama di balik manuver-manuver politik Prabowo dan Gerindra.
Menjelang penetapan calon presiden pada 2014, Hashim juga melobi banyak partai untuk menjalin koalisi mengusung kakaknya. Meski berulang kali kalah dalam politik, Hashim tak kapok. Menurut Aryo, itu memang berkaitan dengan sejarah hidup ayahnya sejak muda.
Hashim terjun ke dunia bisnis pada 1978 selepas lulus dari Pomona College, sebuah universitas swasta elite yang liberal di California, Amerika Serikat, dalam bidang ilmu politik dan ekonomi. Sekolah dasar hingga menengah atas ia tempuh di Eropa, mengikuti ayahnya. Hashim adalah bungsu dari empat bersaudara anak pasangan Sumitro Djojohadikusumo-Dora Marie Sigar.
Sumitro meminta anak bungsunya itu mengendalikan Indo Consult, perusahaan konsultasi manajemen di Jakarta. Kerajaan bisnisnya kini membentang luas dari sektor minyak hingga perkebunan di bawah induk usaha Arsari Group. Majalah Forbes menempatkan Hashim sebagai orang terkaya ke-35 di Indonesia pada 2018 dengan harta sekitar US$ 850 juta atau Rp 12,3 triliun.
Hashim sesungguhnya bukan pejabat eksekutif dalam struktur partai. Jabatannya adalah Wakil Ketua Dewan Pembina, tim yang mengurusi kebijakan dan ideologi partai. Toh, Hashim adalah aktor utama di balik manuver-manuver politik Prabowo dan Gerindra.
Tampaknya ia berhasil menjalankan mandat ayahnya, yang pernah melarang dia berkarier sebagai tentara seperti kakak dan pamannya karena gaji yang rendah. Sumitro meminta Hashim berbisnis agar bisa membantu Prabowo memiliki cukup penghasilan. Pesan itu dipegang teguh Hashim hingga kini. Sebelum terjun ke dunia politik, ia menyelamatkan perusahaan kertas milik Prabowo, PT Kiani Kertas, dari ambang kehancuran pada 2007 dengan membayar US$ 170 juta utangnya ke Bank Mandiri.
Menurut Aryo, dibanding dua uwaknya, Biantiningsih Miderawati dan Marjani Ekowati, ayahnya lebih dekat dengan Prabowo. Bianti dan suaminya, mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono, kadang-kadang saja diajak berdiskusi urusan politik.
Aryo sendiri hanya sesekali memberikan pandangan kepada Prabowo. Misalnya saat merespons isu Kesepakatan Paris dalam urusan perubahan iklim. Ia meminta pamannya mendorong kebijakan itu lewat keputusan partai ataupun Fraksi Gerindra di DPR. “Kami sempat beda perspektif soal itu. Pakde perhatiannya ke lapangan kerja dan iklim investasi, saya ke isu lingkungan,” tutur Aryo, anggota Komisi VII DPR, yang membidangi energi, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup.
Di lapis kedua lingkaran keluarga, Aryo menambahkan, tak banyak nama yang menjadi pembisik Prabowo. Selain dia, hanya Thomas M. Djiwandono, Bendahara Umum Gerindra, yang kadang-kadang ikut berdiskusi. “Tugas saya cuma diminta bantu mengatur dana kampanye,” ucap Thomas.
Masukan, saran, dan nasihat anggota keluarga Djojohadikusumo kepada Prabowo, kata Aryo, tak selalu membuatnya puas. Aryo mencontohkan keputusan ayahnya menyarankan Prabowo mendukung Jokowi-Ahok dalam pemilihan kepala daerah Jakarta. “Sampai sekarang, ayah dan Pakde menganggap itu kesalahan terbesar mereka selama ini.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo