Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Swiftnomics: Dampak Konser Taylor Swift ke Banyak Sektor

Efek Taylor Swift seperti bola salju. Makin besar menggelinding ke banyak hal di sektor ekonomi dan pendidikan tinggi di berbagai kampus.

10 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Efek Taylor Swift seperti bola salju yang mendongkrak perekonomian berbagai negara.

  • Nilai keekonomiannya sangat signifikan, terutama dari layanan sektor hiburan.

  • Taylor Swift juga memantik pemikiran para akademikus dalam berbagai bahasan mata kuliah.

PEMERINTAH Singapura tersenyum lebar bisa meraup keuntungan besar dari satu-satunya konser Taylor Swift di Asia Tenggara. Konser selama enam hari ini membuat para penggemar Swift di kawasan Asia Tenggara harus rela merogoh kocek lebih dalam demi menonton sang diva di Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Singapura sebelumnya mengatakan memberi Swift izin dan insentif untuk menggelar konser di negara kota tersebut, tanpa menyebutkan ketentuan kesepakatannya. Pengumuman tersebut membuat jengkel negara tetangga. Perdana Menteri Thailand mengatakan hibah tersebut diberikan dengan syarat konser itu akan menjadi satu-satunya pertunjukan Swift di Asia Tenggara. Adapun seorang anggota parlemen Filipina mengatakan langkah tersebut "bukanlah hal yang dilakukan oleh negara tetangga yang baik".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajar saja mereka jengkel. Cuan yang bisa diraup dari konser penyanyi-penulis lagu kondang Amerika Serikat itu memang cukup menjanjikan. Pada Februari 2024, Dewan Pariwisata dan Kementerian Kebudayaan Singapura merujuk pada manfaat ekonomi yang diperoleh dari konser Swift di seluruh dunia karena popularitasnya. Sebagai gambaran, konser penyanyi Beyoncé juga ikut mendongkrak ekonomi di Inggris. Biaya aktivitas rekreasi dan budaya di Inggris naik 6,8 persen hingga Mei 2023 dan kenaikan itu dinilai sebagai yang tercepat dalam 30 tahun. Kenaikan itu adalah dampak layanan budaya, khususnya biaya masuk ke lokasi acara musik live

“Orang-orang bersedia berbelanja secara royal karena mereka tahu akan mendapatkan konten berkualitas, ditambah siapa yang tahu kapan atau apakah dia bakal melakukan tur lagi setelah ini,” kata penggemar Beyoncé yang tinggal di London, Mario Ihieme, kepada Reuters.

Penggemar lain harus berjibaku dalam perang tiket dengan tiga kartu kreditnya dan nomor telepon yang berbeda. "Saya harus mendapatkan sembilan nomor telepon untuk tiga akun berbeda di Ticketmaster dengan tiga kartu kredit berbeda," kata Joel Barrios, penggemar Beyoncé di Los Angeles, Amerika Serikat. Dia menghabiskan sekitar US$ 7.000 buat tiga pertunjukan di Amerika untuknya dan teman-temannya serta US$ 6.650 lagi demi menyaksikan beberapa pertunjukan di Eropa.

Jika menengok situs pembelian tiket konser Taylor Swift pada Juli 2023, orang-orang dibuat kaget. Di situs reseller StubHub, kursi termurah untuk pertunjukan Swift pada Juli di Seattle, Amerika Serikat, dihargai US$ 1.200 dan di Kota Meksiko pada Agustus bertarif US$ 500. Bisa dibayangkan jumlah uang yang berputar dalam satu hari konser saja. Apalagi di Singapura, yang menggeber enam kali konser dan 300 ribu tiket telah ludes. Harga tiket standarnya Rp 1,2-3,8 juta, sementara tarif paket VIP Rp 3,64-13,66 juta. Harga itu belum termasuk biaya pemesanan sebelumnya.

Itu baru urusan tiket, belum termasuk tiket pesawat, hotel, dan pernak-pernik sang bintang. Menurut riset sebuah perusahaan manajemen acara, sebanyak 80 persen konsumen ingin bepergian lebih sering meskipun harus menanggung biaya dan kesulitan mendapatkan tiket ke acara-acara besar.

Dari dunia konser, efek Swift menjalar ke kancah olahraga. Hubungan asmara Swift dengan pemain National Football League (NFL), Travis Kelce, membuat para penggemarnya mendatangi acara Super Bowl Kansas, Amerika Serikat. Kehadiran bintang pop ini juga mendorong tingkat penjualan tiket serta mengerek rating dan jumlah penonton televisi. Menurut Tom Scott, pemimpin lembaga konsultan komunikasi Trippant yang berbasis di London, yang bekerja sama dengan tim NFL, Philadelphia Eagles, dalam eksposur internasional mereka, Swift dan pasukan penggemarnya, yang dikenal sebagai Swifties, dapat membantu menggerakkan NFL dalam upaya untuk lebih luas menembus pasar Eropa. Liga sepak bola khas Amerika Serikat ini mungkin mendapat kesempatan untuk membuat kejutan terbesar di luar negeri pada November 2023, ketika Kansas City Chiefs bertanding melawan Miami Dolphins di Frankfurt, Jerman. “Kehadiran Taylor Swift di pertandingan NFL adalah debu emas bagi liga,” ujar Scott seperti dikutip Reuters.

Yang juga kecipratan cuan efek Swift adalah penjual pernak-pernik. Swift yang jauh lebih terkenal daripada Kelce mampu mendongkrak kekuatan yang tak pernah muncul sebelumnya, bahkan di NFL. Pengecer barang dagangan olahraga Fanatics, mitra e-commerce resmi NFL, mengatakan ada lonjakan hampir 400 persen dalam jumlah penjualan kaus Travis Kelce di situs webnya, termasuk NFLShop.com, pada Ahad, hingga menempatkannya di lima besar kaus NFL terlaris.

•••

PADA suatu Senin sore, Februari 2024, di hadapan 200 mahasiswanya di Lowell Lecture Hall, Harvard University, Amerika Serikat, Profesor Stephanie Burt mengantarkan materi kursus bahasa Inggris baru yang bertajuk “Taylor Swift and Her World”. Para peserta kursus duduk di larik-larik bangku mendengarkan penjelasan Burt sambil mengetik di laptop masing-masing. Mereka bersama-sama mengulik syair lagu- lagu Swift. Salah satunya “Fifteen”, trek kedua dalam album kedua Swift yang berjudul Fearless.

Dalam lagu ini, Swift yang masih tampak polos menampilkan dirinya sebagai seorang gadis remaja yang sangat aspiratif dengan liriknya, mencerminkan masa sekolah menengah, persahabatan, dan romantika remaja. Burt membandingkan kualitas reflektif lagu tersebut dengan puisi William Wordsworth, “Tintern Abbey” (1798).

Sesi kuliah pada kelas "Studi Selebritas: Taylor Swift dalam Fokus" di Universitas Filipina Diliman, Filipina, 22 Februari 2024. Reuters/Eloisa Lopez

“Dia memantapkan dirinya sebagai semacam sekutu bagi kita, yang oleh penyair dan ahli teori sastra Allen Grossman disebut sebagai 'teman hermeneutika',” ucap Burt, Profesor Donald P., dan Katherine B. Loker di Departemen Bahasa Inggris seperti dikutip dari situs news.harvard.edu. Dengan kata lain, “Teks sastra atau musik yang Anda pelajari akan membantu Anda, sekaligus mengetahui lebih banyak daripada Anda, dan mengetahui apa yang terjadi dengan Anda.” Burt memberi penjelasan sambil sesekali memencet tuts piano di hadapannya atau berjalan ke depan papan tulis dan kembali ke podium.

Kelas ini banyak diminati mahasiswa yang juga para Swiftie. Kelas itu disebut sebagai kelas terbesar di bidang seni dan humaniora pada musim semi. Burt memang telah lama ingin membuat kelas yang berfokus pada karya seorang penulis lagu. Ia tahu “sangat baik” bahwa sudah waktunya mengkaji tulisan Swift melalui lensa akademis.

“Dia salah satu penulis lagu terhebat di zaman kita,” tutur Burt. “Jika tidak, dia tidak akan sepopuler ini. Dan saya menyukai gagasan bahwa kami akan menghabiskan banyak waktu dengan musiknya.”

Silabus ini disusun berdasarkan “era” karier Swift, dimulai dengan album debutnya pada 2006 dan berlanjut ke album-album terbarunya. Para mahasiswa mengkaji tema budaya penggemar dan selebritas, kulit putih, remaja, dan dewasa bersama lagu-lagu Dolly Parton, Carole King, Beyoncé, dan Selena, juga tulisan Willa Cather, Alexander Pope, Sylvia Plath, dan James Weldon Johnson.

Swift juga menjadi bahasan di kelas sekolah hukum di South Dakota University, Amerika Serikat. Sean Kammer, profesor hukum, sebelumnya dipandang sebelah mata oleh para koleganya ketika akan membahas Taylor Swift. “Saya mengerti ini terdengar konyol, setidaknya pada pandangan pertama,” kata Kammer, yang mengaku sebagai Swiftie. “Tapi ternyata tidak.”

Kursus Kammer, “The Taylor Swift Effect”, yang direncanakan untuk semester musim semi, tampaknya menjadi kelas sekolah hukum pertama yang didasarkan pada ikon musik. “Kursus ini akan melihat interaksi musikus dengan hukum, seperti rekaman ulang enam album dan masalah hak cipta terkait,” ujar Kammer.

South Dakota University bukanlah institusi akademis pertama yang memanfaatkan sensasi Swift. University of California, Berkeley, minggu ini mengumumkan penyelenggaraan kursus bisnis mendatang berdasarkan kewirausahaan Swift. Stanford University, New York University, dan University of Texas juga menawarkan kelas-kelas yang terinspirasi Swift. Namun kursus Kammer adalah eksplorasi hukum pertama dalam musik dan kariernya.

Selain di Amerika Serikat, di Filipina, Sekolah Tinggi Komunikasi Massa di University of the Philippines Diliman menawarkan kursus membahas status selebritas Swift. Kursus ini diberi judul “Studi Selebritas: Taylor Swift dalam Fokus”.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bola Salju Swiftnomics"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus