Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARYAM Harmaen mendekap erat foto suaminya sambil menangis. Perempuan 95 tahun itu adalah istri mendiang Solihin Gautama Purwanegara atau Solihin G.P., yang wafat pada usia 97 tahun di Rumah Sakit Advent Bandung, Jawa Barat, Selasa, 5 Maret 2024, pukul 03.08 WIB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah dibawa pulang dan disalatkan di rumah di Jalan Cisitu Indah, Dago, Bandung, jenazah Solihin disemayamkan di Gedung Sabau, Komando Daerah Militer III/Siliwangi, untuk menjalani upacara militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas tengah hari, purnawirawan letnan jenderal Tentara Nasional Indonesia yang akrab disapa Mang Ihin itu dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Keluarga besarnya hadir bersama sejumlah tokoh, seperti mantan wakil presiden Jusuf Kalla serta eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
“Jadi Papi tidak akan pulang lagi?” kata Maryam dengan bahasa Sunda sepulang dari pemakaman. Biasanya, tiap kali dirawat, sang suami meminta cepat pulang ke rumah karena tak betah di rumah sakit.
Sejak 2016, Solihin terkena stroke hingga enam kali. Tubuhnya kemudian harus disangga kursi roda. Selama 12 hari masa perawatan terakhirnya di rumah sakit, Solihin tidak lagi mampu berkomunikasi.
Lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 21 Juli 1926, Solihin G.P. adalah anak ke-10 pasangan Siti Ningrum dan Abdulgani Purwanegara dari 13 bersaudara. Sang ayah yang keturunan menak atau priayi bekerja sebagai pamong praja dan pernah menjadi wedana di Bandung dan Garut.
Beberapa kakak Solihin antara lain berkarier di perbankan dan kepolisian serta menjadi jaksa. Kosasih Purwanegara alias Mang Engkos, salah satu kakaknya, menjabat Menteri Sosial di era Republik Indonesia Serikat pada 1950 dan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia periode 1967-1974.
Solihin merintis karier militer ketika menjadi siswa sekolah menengah tinggi di Tasikmalaya. Ia menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat yang mengawal kemerdekaan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Dia mulai menyandang jabatan komandan ketika masuk Tentara Keamanan Rakyat di Bogor, Jawa Barat, pada 1945-1947 dan memimpin beberapa kesatuan.
Saat berpangkat kapten, Solihin pernah menyamarkan identitas agar lolos dari sergapan pasukan Belanda yang memburunya. Dia memakai nama Gautama dengan pekerjaan fiktif juru tulis di Desa Tawang Banteng, Tasikmalaya. Sejak itu, ia menjadikannya nama tengah.
Selain melawan Belanda, dia menghadapi pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948 dan melawan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat hingga Banten.
Sebelum mendapat tugas di Bangka, Solihin menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk menikah. Dari surat yang dikeluarkan Kantor Pencatat Nikah Tasikmalaya, pernikahan Raden Solihin bin Purwanegara yang berusia 22 tahun dengan Nyi Raden Maryam Harmaen, 20 tahun, berlangsung pada Ahad, 14 Mei 1950, dengan maskawin uang sebesar 250 gulden.
Dari pernikahan itu, empat dari delapan anak mereka lahir selamat, yaitu Jessy Jasmini, Yani Haryani, Satria Kamal, dan Mohamad Lutfi Adimulya. Mereka juga mengangkat dua anak. Robert M. Rasyid dibawa Solihin dari Kongo sepulang bertugas di sana dalam kontingen pasukan Garuda pada 1960-an. Kemudian Abdul Karim diangkat dari panti asuhan di Sulawesi.
Sepanjang 16 Februari 1953-8 Juni 1954, Solihin belajar di Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Darat. Setelah lulus, dia menjadi pengajar di almamaternya itu hingga 7 Desember 1956. Selanjutnya, ia mengikuti kursus setahun di United States Army Infantry School, Amerika Serikat, hingga 1957, lalu kembali berdinas di Bandung.
Bersama pasukan Siliwangi, Solihin yang menjabat Kepala Staf Operasi Kilat pernah dikirim ke Makassar untuk membantu Panglima Kolonel M. Jusuf menghadapi sisa gerombolan DI/TII di Sulawesi Selatan pimpinan Kahar Muzakkar pada 1964-1965. Selesai bertugas, ia diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin pada 1965-1968 dan tinggal di Makassar bersama keluarganya.
Menurut putri keduanya, Yani Haryani, 67 tahun, baru saat tinggal di Makassar itulah dia lebih sering bertemu dengan istri dan anak-anaknya. Saat senggang, Solihin biasanya membawa anak-anaknya pergi jalan-jalan untuk mengenal alam sekitar.
Tanpa pengawal, dengan mengendarai sendiri mobil dinas favoritnya, Toyota Hardtop, Solihin melipir ke daerah rawa yang ramai oleh kawanan burung belibis. Di waktu lain, di tengah kunjungan dinas, keluarganya diajak ke Bone, Toraja, Parepare, dan daerah lain untuk mengenal lebih dekat penduduk asli dan budayanya.
Dari Sulawesi, keluarga Solihin hijrah ke Magelang, Jawa Tengah, karena dia ditugasi menjadi Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 1968-1970. Merasa tak betah tinggal di rumah dinas yang bagus dan besar, Solihin memilih pindah ke kompleks perumahan akademi militer Panca Arga dan berbaur dengan tentara lain. Keluarganya pun dibawa ke lokasi kegiatan taruna di luar kota.
Saat merasa kerasan di Magelang, Solihin diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat menjadi gubernur yang didukung oleh Presiden Suharto. “Waktu itu Bapak agak ngahuleung (melamun), maksudnya urusannya beda dengan tentara,” tutur Yani ketika ditemui di rumahnya di Bandung, Kamis, 7 Maret 2024.
Solihin dilantik sebagai Gubernur Jawa Barat untuk periode 1970-1975. Dia makin sering meninggalkan keluarga daripada saat menjadi tentara karena jadwal kegiatannya padat. Selain itu, ia kerap menyambangi berbagai pelosok daerah.
Gubernur Solihin G.P. berkantor di Gedung Kerta Mukti, Jalan Braga, Bandung. Rumah dinas gubernur di Gedung Pakuan hanya ia tempati sebulan. Merasa tidak betah dengan aturan protokoler, Solihin sekeluarga memilih tinggal di rumah Jalan Mundinglaya. Rumah itu kemudian dijual untuk didirikan hunian baru sejak 1980-an hingga sekarang di Jalan Cisitu Indah.
Menurut Yani, bapaknya melarang anak-anak dan saudaranya datang ke kantor gubernur, apalagi berniat mendapatkan proyek. Aturan tegas itu berlaku juga ketika Solihin bekerja di Bina Graha sebagai Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Orde Baru selama 15 tahun sejak 1977 hingga 1992.
Yani mengungkapkan, beberapa pihak berusaha menyampaikan terima kasih lewat kiriman mobil dan sekotak uang dengan bungkus koran. Tapi semuanya ditolak dan dikembalikan. Solihin, tutur Yani, juga pernah mendoktrin: “Jangan ada anak-anak saya yang berani menerima upeti. Kalau ada, akan saya coret dari susunan keluarga.”
Di mata keluarga dan kolega, Solihin memang dikenal sebagai sosok yang tegas, disiplin, sekaligus galak. Semasa menjadi gubernur, ia pernah melabrak sebuah pabrik yang menggelar acara besar agar tendanya dibongkar karena sampai memakan badan jalan raya.
Di masa tuanya, Solihin, yang menyukai masakan Sunda seperti sambal terasi, ikan asin, dan lalap, menjaga kebugaran tubuh lewat gerakan silat Merpati Putih dan latihan fisik gaya militer. Hobi lainnya adalah mengoleksi dan memakai mobil antik, seperti Mercedes-Benz dan Morris keluaran lawas. Sebagian mobil koleksinya itu diparkir di garasi belakang rumah.
Solihin juga seperti tak pernah berhenti berkegiatan. Setelah pensiun sebagai pejabat, dia berkiprah di bidang lingkungan hidup. Pada 10 September 2001, ia bersama aktivis lingkungan mendeklarasikan pembentukan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) di Padepokan Tadjimalela, kaki Gunung Manglayang, Jawa Barat. Kiprahnya itu menjadi bagian dari upayanya mengendalikan dan memulihkan hutan dari kerusakan alam.
Koordinator Dewan Pakar DPKLTS Supardiyono Sobirin mengatakan Solihin adalah tokoh yang kontroversial tapi konsisten. Dia bisa bersinergi dengan siapa pun yang mencintai lingkungan dan rakyat, tapi tidak berkompromi dengan pihak yang merusak alam. Bagi Solihin, no forest, no water, no future.
Supardiyono pernah merasakan sikap tegas Solihin yang ketika itu sedang berbicara dalam rapat. “Saya pernah didamprat karena mengobrol dengan orang di sebelah saat rapat,” katanya, Selasa, 5 Maret 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seorang Perwira Pencinta Lingkungan"