Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mengusulkan kepada pemerintah DKI Jakarta untuk memperpanjang dan memperluas aturan pembatasan kendaraan bermotor menggunakan pola pelat nomor ganjil-genap. Pola ini pernah dilakukan saat perhelatan Asian Games 2018 dan dinilai berhasil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala BPTJ Bambang Prihartono berharap pola pembatasan kendaraan dalam Asian Games 2018 bisa diterapkan kembali. Sebab, pola ganjil-genap yang digunakan saat ini dinilai sudah tidak efektif untuk mengurangi kemacetan. "Akhir-akhir ini kondisi transportasi Jakarta kinerjanya semakin menurun," ujar dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2 Januari lalu, pemerintah DKI memperpanjang kebijakan ganjil-genap melalui Peraturan Gubernur Nomor 155 Tahun 2018 tentang Pembatasan Lalu Lintas dengan Sistem Ganjil-Genap. Peraturan itu menyebutkan ganjil-genap berlaku pada Senin-Jumat pada pukul 06.00–10.00 dan pukul 16.00–20.00. Aturan pembatasan kendaraan bermotor roda empat tidak berlaku pada Sabtu, Ahad, dan hari libur nasional.
Adapun ruas jalan yang menerapkan sistem ganjil-genap ini adalah Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Gatot Subroto, sebagian Jalan Jenderal S. Parman, Jalan M.T. Haryono, Jalan H.R. Rasuna Said, Jalan D.I. Panjaitan, dan Jalan Ahmad Yani.
Pola ganjil-genap yang saat ini diterapkan berbeda dengan aturan serupa dalam perhelatan Asian Games 2018. Saat itu aturan pembatasan diterapkan setiap hari pada pukul 06.00–21.00. Bahkan, aturan itu diperluas hingga Jalan Benyamin Sueb, Jalan Metro Pondok Indah, dan Jalan R.A. Kartini.
Saat ini, kata Bambang, ketidakefektifan ganjil-genap bisa dilihat dari kemacetan di jalan tol Cawang menuju Semanggi yang mengular hingga Cibubur. Padahal, saat Asian Games, ekor kemacetan di jalan tol dalam kota itu hanya sampai Pancoran. Atas dasar itu, BPTJ terpaksa memperpanjang waktu penerapan lawan arus (contraflow). Jika sebelumnya contraflow hanya berlaku pada pukul 06.00–09.00, kini dimulai pukul 06.00 dan berakhir pukul 10.00.
Menurut Bambang, diterapkannya ganjil-genap sepanjang hari juga berfungsi untuk mendorong masyarakat untuk beralih ke angkutan umum. Apalagi, angkutan umum di Ibu Kota sudah jauh lebih baik dengan beroperasinya mass rapid transit (MRT) Jakarta fase I Lebak Bulus–Bundaran Hotel Indonesia.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta, Iskandar Abubakar, mendukung usul dari BPTJ. Dewan Transportasi juga telah bersurat kepada Gubernur Anies untuk kembali memperpanjang waktu penerapan ganjil-genap.
Menurut Iskandar, penerapan ganjil-genap saat ini tak optimal karena masih banyak pengguna mobil pribadi yang menyiasatinya. Mereka rela berangkat kerja lebih pagi dan pulang kerja larut malam untuk menghindari kebijakan itu. "Kalau ganjil-genap diterapkan sepanjang hari, masyarakat terpaksa meninggalkan mobilnya dan pindah ke angkutan umum," ujar dia.
Kebijakan ganjil-genap sepanjang hari, kata Iskandar, juga bisa mengurangi polusi udara akibat emisi kendaraan bermotor. Menurut dia, dengan berkurangnya kemacetan, kualitas udara di Ibu Kota bisa membaik.
Anggota Komisi Bidang Perekonomian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Syarifuddin, juga mendukung usul dari BPTJ untuk menerapkan ganjil-genap sepanjang hari. Namun dia mengusulkan agar kebijakan itu dilakukan sementara saja sampai pemerintah DKI bisa menerapkan electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar.
Menurut Syarifuddin, ganjil-genap memiliki kekurangan karena dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat. "Ada masyarakat yang mengeluh bayar pajak mobilnya setahun, tapi mobilnya cuma bisa digunakan setengah tahun akibat ganjil-genap," kata politikus Hanura itu. JULNIS FIRMANSYAH | GANGSAR PARIKESIT
Dampak Ganjil-Genap
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo