Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ruang kendali pengamatan peringatan dini tsunami terbengkalai di masa BRIN.
BPK menemukan potensi bahaya akibat mandeknya program penguatan sistem peringatan dini tsunami.
Kepala BRIN berdalih Ina-TEWS baru tahap riset dan percobaan.
SUDAH lebih dari setahun, ruang kendali Indonesia Tsunami Observation Center (Ina-TOC) di Gedung Soedjono Djoened Poesponegoro lantai 20, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, mati suri. Ketika Tempo menyambanginya pada jam kerja, Jumat, 27 Januari lalu, ruangan seukuran lapangan badminton itu terkunci, gelap gulita, tak satu pun petugas yang terlihat di dalamnya. Sepuluh monitor besar yang berbanjar di pusat ruangan memang masih menyala. Namun tak ada data yang berarti di layar-layar itu. Sebagian hanya memampangkan website Ina-TOC serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semestinya, berbagai perangkat elektronik di bekas gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang telah menjadi kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, itu bekerja 24 jam sehari tanpa jeda. Layar-layar tadi seharusnya memantau data yang dikirim alat pendeteksi tsunami di tengah laut, baik yang berbasis alat apung (Ina-Buoy), kabel optik (Ina-CBT), maupun rambatan gelombang suara (Ina-CAT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Data itu terhubung dengan BMKG sebagai bagian dari sistem peringatan dini tsunami jika terjadi gempa tektonik ataupun vulkanis yang berpusat di perairan,” kata seorang peneliti BRIN yang dulu turut dalam tim Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) pada era BPPT.
Namun, sejak setahun terakhir, Ina-TOC praktis tak beroperasi. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), lembaga baru hasil peleburan BPPT dan sejumlah lembaga riset pemerintah lainnya, menghentikan penganggaran program Ina-TEWS. Padahal program yang dulu diampu oleh BPPT bersama sejumlah lembaga kebencanaan dan geospasial ini merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami.
Suasana lengang di ruang kendali Indonesia Tsunami Observation Center (Ina-TOC) Jakarta, 27 Januari 2023. TEMPO/Avit Hidayat
Perpres yang melahirkan program Ina-TEWS itu dibikin setelah musibah gempa berkekuatan magnitudo 7,4 di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018. Kala itu, selain memicu pencairan tanah atau likuefaksi, gempa itu diikuti tsunami akibat longsornya sedimen dalam laut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat tsunami menerjang sebagian wilayah Kota Palu dan Kabupaten Donggala.
Peneliti BRIN eks BPPT itu mengungkapkan, mandeknya program Ina-TEWS pada era BRIN tak hanya menyebabkan Ina-TOC tak berfungsi. Enam unit Ina-Buoy, yang telah dipasang berjajar di perairan barat Bengkulu, selatan Cilacap, selatan Malang, selatan Bali, dan selatan Sumba, Nusa Tenggara Timur, juga terbengkalai.
Seharusnya alat deteksi tsunami terapung itu dilakukan penggantian baterai dan pemeliharaan sensor secara berkala. “Terakhir yang masih mengirim data baterai adalah di Bengkulu pada Agustus-September 2022,” kata sumber Tempo itu. “Sekarang semua mati, entah di mana, tak lagi mengirim data.”
Website Ina-TOC menunjukkan mandeknya pengiriman data dari seluruh Ina-Buoy yang telah terpasang tersebut. Data terakhir yang diterima dari Ina-Buoy Barat Bengkulu (BKG), misalnya, tercatat pada 23 Agustus 2022. Sedangkan data dari Ina-Buoy Sumba (SMB) terakhir masuk pada 15 April 2022.
Seorang perekayasa BRIN dengan golongan jabatan penata III/c mengungkapkan bahwa sebenarnya masalah dalam program Ina-TEWS tersebut sempat dipertanyakan oleh para peneliti eks BPPT kepada Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam tiga kali rapat berbeda. Selain berpotensi melanggar peraturan presiden, penghentian program Ina-TEWS tanpa tindak lanjut yang jelas dapat menyebabkan aset-aset yang dihasilkan BPPT menggunakan anggaran negara hilang.
“Tapi jawaban pimpinan selalu tidak jelas, ingin agar dilakukan riset lebih dulu terhadap sensor pendeteksi,” kata dia.
Michael Andreas Purwoadi, perekayasa ahli utama di Pusat Elektronika BRIN, menjelaskan bahaya dari tak berfungsinya Ina-TEWS. Menurut Purwoadi, selama ini Indonesia menerapkan tiga lapis sensor deteksi dini tsunami. Lapisan pertama berupa sensor seismik. Inilah yang digunakan oleh BMKG saat mengeluarkan peringatan dini tsunami pertama (PDT-1) saat terjadi gempa dengan magnitudo lebih dari 7 skala Richter dan kedalaman kurang dari 70 kilometer, atau PDT-2 ketika peneliti mendapatkan hasil perhitungan ketinggian dan waktu tiba tsunami.
Adapun lapisan kedua, kata Purwoadi, berupa sensor laut yang dikembangkan melalui teknologi Ina-Buoy dan Ina-CBT. Alat ini bertugas memastikan adanya gelombang tsunami yang melewati sensor. Pada tahap ini, biasanya BMKG akan meningkatkan status peringatan tsunami menjadi level 3 atau PDT-3.
Terakhir, deteksi tsunami lapisan ketiga berupa sensor pasang-surut yang memastikan bahwa tsunami telah tiba di pantai dengan ketinggian tertentu. Di dalamnya juga terdapat alat yang memastikan bahwa peringatan dini tsunami telah usai atau dengan status PDT-4. “Jadi, kalau sistem Ina-TEWS ini tidak berjalan, false alarm tsunami bisa terjadi, yang mengakibatkan kepanikan masyarakat,” kata Purwoadi, yang juga mantan Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT, Senin, 30 Januari 2023.
Tidak hanya itu, mangkraknya sistem Ina-TEWS juga berdampak pada potensi terlalu cepatnya BMKG dalam mengeluarkan status PDT-4 atau status tsunami telah berakhir. Bila keliru, tsunami yang datang bakal mengakibatkan banyak korban jiwa. Menurut Purwoadi, sistem Ina-TEWS sangat diperlukan untuk memastikan gelombang tsunami terjadi dengan akurat. “Bila peringatan tsunami sering salah, kepercayaan masyarakat akan turun dan tidak waspada atas datangnya bahaya,” katanya.
Disorot Badan Pemeriksa Keuangan
Mandeknya program Ina-TEWS menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tengah menggeber pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap kebijakan, belanja pegawai, belanja barang, serta belanja modal BRIN. Audit ini digelar beriringan tatkala BRIN tengah disorot lantaran menganggarkan program diseminasi untuk konstituen Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat.
Seorang auditor BPK mengungkapkan, kebijakan BRIN tak mendukung peralihan tugas penguatan dan pengembangan Ina-TEWS secara optimal. BRIN, misalnya, tidak melaksanakan tugas penyediaan komponen struktur dalam sistem peringatan dini tsunami yang dulu diampu oleh BPPT. Padahal program penguatan sistem peringatan dini tersebut telah diatur dalam beberapa peraturan.
Akibatnya, menurut sumber Tempo di BPK itu, pengintegrasian data deteksi tsunami yang semestinya dimonitor 24 jam secara aktual dan terus-menerus berpotensi diabaikan. Rencana program 2022 berupa pengoperasian dan pemeliharaan alat observasi Ina-Buoy di sembilan lokasi, Ina-CBT di lima lokasi, dan Ina-CAT di dua lokasi juga tak terlaksana. "Ini berpotensi menimbulkan dampak kemanusiaan bila terjadi bencana," kata auditor BPK tersebut.
Sebenarnya, Ina-TEWS hanya satu dari tiga program riset strategis nasional yang mandek pada masa BRIN. Dua proyek riset lainnya yang juga terbengkalai adalah pengembangan pesawat udara nirawak tipe medium altitude long endurance (PUNA-MALE) kombatan dan pengembangan garam industri terintegrasi. Semua proyek strategis nasional itu, kata auditor BPK, “Seharusnya tidak bisa dihentikan, kecuali dengan peraturan presiden.”
Dalam kalkulasi BPK, nilai aset-aset tetap yang mangkrak dalam proyek Ina-TEWS, PUNA MALE, dan pengembangan industri garam nasional itu mencapai Rp 257,23 miliar. Aset terbesar berupa peralatan pada Ina-TEWS senilai Rp 114,89 miliar. Adapun aset PUNA MALE dan proyek industri garam nasional masing-masing senilai Rp 112,46 miliar dan Rp 29,88 miliar.
PUNA MALE elang hitam. Bppt.go.id
Auditor BPK itu juga mengatakan BRIN turut memiliki masalah dalam hal pencatatan aset yang diperoleh dari proyek-proyek mangkrak tersebut. Dalam proyek PUNA MALE, misalnya, komponen pesawat nirawak dicatatkan secara gabungan, tidak memadai untuk dilakukan penelusuran. "Penghentian proyek tidak diikuti pemutakhiran barang milik negara yang statusnya berubah," ujarnya.
BPK juga menemukan persoalan inventarisasi aset-aset yang sebelumnya dikelola oleh BPPT, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), dan beberapa lembaga lain yang dilebur dalam BRIN. Menurut sumber tersebut, Kepala BRIN Laksana Tri Handoko tidak melaporkan neraca penutupan lembaga ke negara.
“Sebelum dilebur ke BRIN, mestinya dia bikin pertanggungjawaban,” ucap sumber tersebut. Akibatnya, aset-aset yang dulu dikelola lembaga riset dan penelitian tak terurus. “Padahal BPK sudah membantu inventarisasi aset, tapi mereka tidak punya kemauan.”
Anggota III BPK yang bertanggung jawab atas audit tersebut, Achsanul Qosasi, belum bersedia berbicara banyak ihwal temuan anak buahnya tentang berbagai masalah pada BRIN. Menurut dia, tim auditor masih berfokus merampungkan laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) tersebut. “Kami akan sampaikan rekomendasi kepada presiden. Kapan? Tunggu, kan pemeriksaan masih berjalan,” ucapnya.
Achsanul mengatakan mekanisme riset nasional sebelum BRIN sebenarnya sudah berjalan dengan baik. Hasil penelitian dari seluruh kampus di Indonesia dikurasi oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Setelah dianggap layak dikembangkan, hasil penelitian kemudian didistribusikan ke BPPT sebagai lembaga inovasi dan pengembangan teknologi.
Penelitian yang memiliki manfaat bagi khalayak bakal didistribusikan ke kementerian dan lembaga, sebagaimana dilakukan dalam program Ina-TEWS. Dalam pembentukan sistem peringatan dini tsunami ini, kata Achsanul, BPPT bekerja sama dengan BMKG serta Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi untuk mitigasi bencana tsunami. Adapun penelitian yang bernilai ekonomis dapat dikembangkan bersama BUMN, seperti halnya pengembangan industri garam.
Dalih BRIN Tak Punya Kewenangan
Adapun Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Laksana Tri Handoko menyatakan lembaganya telah mengevaluasi lima Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Prioritas Riset Nasional (PRN) sejak Mei 2021 hingga Januari 2022. Tiga PSN yang dimaksud berupa pengembangan PUNA MALE kombatan, garam industri, dan teknologi pengemasan makanan. Adapun program Ina-TEWS dan pengembangan pesawat N-219 adalah PRN yang merupakan ranah internal BRIN. “Evaluasi ini penting mengingat konsekuensi pembiayaannya yang besar, juga untuk menjadi dasar perencanaan anggaran BRIN pada 2022,” kata Laksana kepada Tempo.
Laksana mengklaim telah meminta Inspektorat BRIN melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu terhadap proyek garam industri, Ina-TEWS, dan PUNA MALE kombatan pada 2022. Menurut dia, hasil evaluasi menunjukkan adanya potensi kegagalan yang cukup besar akibat lemahnya perencanaan dan kesenjangan kompetensi pada teknologi yang dibutuhkan. “Keputusan ini harus diambil justru untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar,” kata dia.
Laksana mengingatkan, baik PSN maupun PRN di BRIN semestinya merupakan aktivitas riset, bukan sekadar pengadaan barang. Karena itu, evaluasi berkala perlu dilakukan. “Ini juga sesuai dengan arahan Presiden kepada seluruh kementerian/lembaga agar mengevaluasi seluruh program, yang tidak bisa diselesaikan sampai 2024 harus dilakukan penyesuaian atau bila perlu dihentikan,” ujarnya.
Menurut Laksana, penyesuaian terhadap program-program tersebut juga telah dilaporkan dan didiskusikan dengan tim Kementerian Koordinator Perekonomian yang bertanggung jawab atas pelaksanaan PSN. Selain itu, penyesuaian program setiap tahun tecermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, hasil pembahasan antar-kementerian atau lembaga bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan. “Sehingga tidak tepat bahwa penyesuaian membutuhkan keppres, karena APBN setiap tahun bahkan ditetapkan berbasis UU APBN dan diturunkan menjadi Perpres APBN,” katanya.
Khusus soal Ina-TEWS, Laksana menuturkan, teknologi sensor berbasis kabel optik akan disesuaikan untuk tujuan pengawasan lingkungan pada daerah aliran sungai (DAS), danau, pesisir, dan pengawasan laut antarpulau. Penyesuaian pada PRN Ina-TEWS ini, kata dia, dilakukan lantaran secara ilmiah teknologi ini masih jauh dari matang.
Dia menilai, implementasi teknologi ini akan sangat mahal di Indonesia yang memiliki banyak laut. Di sisi lain, Laksana mengatakan, Indonesia juga belum memiliki peta detail sumber potensi pemicu tsunami yang akan menjadi basis penetapan lokasi penggelaran kabel optik dan sensor deteksi dini.
Laksana juga menilai ruang kendali Ina-TEWS, yang kini berada di gedung Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, sama sekali belum diperlukan, baik perangkat maupun operatornya. Menurut dia, BPPT ataupun BRIN saat ini tidak memiliki kewenangan sebagai operator akuisisi data tentang informasi bencana, yang merupakan kewenangan BMKG. "Apalagi program Ina-TEWS sebenarnya masih tahap riset dan percobaan, sehingga kalaupun ada data yang diakuisisi, secara legal belum operasional dan tidak boleh dipakai sebagai basis pengambilan keputusan oleh BMKG,” ujarnya.
Empat Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) atau alat pendeteksi tsunami yang dirancang BPPT di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali, 11 Desember 2019. Bppt.go.id
Seorang peneliti BRIN eks BPPT menampik pernyataan Laksana. Meski dimulai pada 2019, dia mengingatkan bahwa program Ina-TEWS merupakan kelanjutan dari program peringatan dini yang dikembangkan sejak 2006 seusai bencana tsunami Aceh pada 2004. Saat itu, BPPT telah mengembangkan alat deteksi menggunakan platform buoy oceanography yang sudah dimiliki BPPT dalam program Sea-watch. Mereka melahirkan Ina-Buoy Generasi 1 yang terdiri atas komponen Ocean Bottom Unit dan Surface Buoy.
Adapun Ina-Buoy, yang dipasang sejak 2019, merupakan pengembangan generasi ketiga. Bentuknya serupa mainan gasing berdiameter tak lebih dari 3 meter yang mengapung di atas permukaan air laut. Alat berbahan eva-foam itu diberi bandul hingga dasar laut, maksimal di kedalaman 6.000 meter. “Hanya sensornya yang berasal dari luar negeri. Yang lain, dari desain dan baterai, berasal dari pengembangan BPPT,” kata dia.
Dia juga menepis tudingan bahwa program Ina-TEWS dianggap kurang perencanaan. Menurut dia, sebelum akhirnya menghasilkan Ina-Buoy dan Ina-CBT, sedikitnya 14 satuan kerja lintas kementerian serta lembaga dilibatkan dalam studi bersama. “Termasuk BMKG serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM,” ujarnya. “Penempatan lokasi alat deteksinya juga bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum yang punya peta sumber dan bahaya gempa.”
Mantan peneliti BPPT itu mengakui Ina-TEWS belum sempurna. Tapi, di negara mana pun, kata dia, pelaksanaan riset teknologi peringatan dini kebencanaan diiringi dengan perekayasaan alat dan penerapan platform di lapangan. “Tsunami bisa datang kapan saja,” kata dia. “Tidak mungkin bencana itu menunggu kita siap dengan riset di atas meja yang sempurna.”
AVIT HIDAYAT | AGOENG WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo