Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus impor 12 helikopter oleh Air Transport Services (ATS) menerbitkan polemik. Sejumlah helikopter itu disegel Bea dan Cukai lantaran tak membayar bea masuk dan tidak punya izin terbang.
Tindakan itu disesali Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas), karena helikopter itu amat diperlukan untuk menangani bencana nasional. ”Helikopter itu diperlukan karena keadaan darurat memadamkan kebakaran,” kata Budi Atmadi Adiputro, pelaksana tugas Sekretaris Utama Bakornas.
Berikut petikan wawancara Arif Kuswardono dan I G.G. Maha Adi dari Tempo dengan mantan pejabat Departemen Pekerjaan Umum itu di kantor Bakornas beberapa waktu lalu.
Bagaimana awal cerita pengadaan helikopter ini?
Helikopter itu rencananya dibeli Bakornas pada 2006. Tapi permintaan ke Departemen Keuangan ditolak karena tidak ada uang. Kemudian datanglah sejumlah helikopter itu, yang diimpor oleh Air Transport Services (ATS) yang dimiliki keluarga Kalla.
Mengapa helikopter itu sudah dipakai padahal izin impornya belum selesai?
Saat itu asap sudah mengganggu kepentingan nasional dan negara tetangga. Ketika Presiden menghadiri Sidang Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), dan Konferensi Tingkat Tinggi Asean, sejumlah negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand protes soal asap. Pemerintah dalam posisi serba sulit. Memang ada beberapa cara memadamkan api, misalnya dengan hujan buatan. Kita juga bisa mengerahkan tentara setempat untuk pemadaman di lapangan. Sedangkan untuk pemadaman dari udara, ternyata di seluruh Indonesia tidak ada perusahaan yang punya helikopter untuk memadamkan api. Satusatunya yang ada, ya, helikopter milik ATS itu.
Bukankah sejumlah perusahaan pengelola hutan punya heli untuk mengatasi kebakaran?
Tidak ada perusahaan di Indonesia yang punya helikopter lebih dari lima buah dan punya jaminan asuransi. Helikopter untuk memadamkan api sama dengan heli untuk perang. Saya punya pengalaman saat menangani bencana Aceh. Jalan dari Banda Aceh ke Meulaboh putus total. Helikopter kita sedikit. TNI saya tahu hanya punya empat. Departemen Kehutanan punya 30 heli, tapi jongkok semua. Saat itu kami meminta helikopter dari Armada Ketujuh Amerika Serikat. Risiko pembelian heli oleh ATS itu besar. Karena heli itu hanya bisa digunakan untuk bencana. Jadi, kalau tidak ada bencana, heli itu menganggur dan perusahaan rugi.
Mengapa harus menyewa dari ATS untuk pemadaman kebakaran itu. Apa tidak ada perusahaan lain?
Saat itu kami berupaya dengan berbagai cara. Kami coba sewa dari Rusia dan Singapura. Tapi helikopter mereka tidak punya kantong air. Kami dihadapkan pada situasi mendesak. Lebaran tinggal seminggu. Upaya pemadaman api tidak bisa ditunggutunggu lagi. Saya orang yang paling lama menangani bencana. Saya penanggung jawab bencana di Aceh dan Yogyakarta. Kalau sudah menyangkut nyawa, segala cara akan kita tempuh. Bekerja dalam keadaan darurat itu harus berani bergerak cepat, tepat, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Helikopter itu kemudian disegel Bea dan Cukai. Bakornas tidak berkoordinasi?
Memang ada problem dari sisi pengadaan. Ketika sedang melakukan pemadaman, helikopter disegel. Bea Cukai mengatakan heli itu belum bisa terbang. Sebagai penanggung jawab kedaruratan bencana, kami sangat menyayangkan. Sebab, dalam keadaan darurat, aturan bisa dibikin kemudian. Kita harus berani. Tapi saya kan tidak bisa memaksa Bea Cukai atau instansi lain supaya mengikuti kehendak kami. Ketika badai Katrina melanda Amerika Serikat, yang berlaku adalah undangundang FEMA (Badan Penanggulangan Keadaan Darurat Federal—Red). FEMA itu langsung di bawah Presiden. UndangUndang Bea Cukai dan lainlain harus tunduk karena darurat. Harusnya seperti itu.
Setelah soal asap selesai, apa heli itu pernah disewa Bakornas lagi?
Kita masih memakai helikopter itu. Misalnya dalam pencarian Adam Air dan penanggulangan banjir di Aceh Tamiang.
Kepala Pelaksana Harian Bakornas Syamsul Ma’arif menerbitkan surat yang meminta Bea Cukai mengeluarkan helikopter itu. Mengapa?
Karena kita berkepentingan helikopter itu harus beroperasi di Palembang untuk memadamkan api. Masak, untuk harga diri bangsa kalah sama segel Bea Cukai. Logis nggak?
ATS punya tunggakan bea masuk dan pajak impor Rp 2,1 miliar?
Itu urusan dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo