Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJUMLAH keganjilan melingkupi pembelian 12 unit helikopter BO 105 bekas pakai dari Jerman itu. Heliheli itu ditengarai menyelinap ke Indonesia tanpa prosedur yang semestinya. Inilah sejumlah tokoh yang berperan dalam pengadaan heli yang kini disegel aparat Bea dan Cukai Bandara SoekarnoHatta.
M. Jusuf Kalla
SEBAGAI Ketua Badan Koordinasi Nasional (Bakornas), Jusuf Kalla merupakan penanggung jawab utama proyek pembelian heli BO 105. Dia orang pertama yang memerintahkan Iwan Hardja, pemilik PT Air Transport Services, mencari dan membeli ”heli murah tapi bermanfaat”. Alasan Kalla masuk akal: dengan heli milik sendiri kita tak perlu lagi menyewa pesawat asing, seperti ketika menangani bencana tsunami di Aceh dan Nias, yang ongkosnya selangit. Kalla juga mengaku malu jika terusmenerus meminjam heli dari negara lain.
Kalla mestinya tahu semua proses pengadaan heli yang dibeli dari Vebeg, perusahaan pelelangan barangbarang bekas milik pemerintah Jerman. Sekretaris Wakil Presiden, yang juga menjabat sekretaris Bakornas kala itu, Gembong Priyono, melaporkan semua perkembangan pembelian heli kepada Kalla, baik secara lisan maupun melalui surat. Pada 23 Oktober 2005, Jusuf Kalla juga sempat meninjau heliheli yang dibeli itu di Cengkareng. Mengenai pembelian heli ini Kalla mengatakan, ”Niat kita baik, yang penting kita sudah berusaha. Terserah bagaimana orang melihatnya.”
Gembong Priyono
SEKRETARIS Bakornas dan Sekretaris Wakil Presiden Jusuf Kalla ini beberapa kali mengirim surat ke Menteri Keuangan, meminta dana untuk pengadaan heli BO 105. Pada 18 November 2005, misalnya, Gembong mengirim surat kepada Menteri Keuangan Jusuf Anwar, meminta pengadaan dana Rp 84 miliar untuk pembelian 28 heli. Gembong meminta dana itu dialokasikan ke anggaran Bakornas 2006 dalam pos Sekretariat Wakil Presiden.
Namun, dana itu tak pernah cair, bahkan sampai datangnya dua heli lagi pada Desember 2005, yang kemudian ditahan Bea dan Cukai. Penahanan heli ini juga membuat Gembong turun tangan. Ia mengirim surat kepada Direktur Jenderal BeaCukai, meminta heli itu dibebaskan dan dipindahkan ke Cengkareng. Semua surat kepada Menteri Keuangan dikirim Gembong setelah 12 heli itu tiba di Indonesia. ”Saya minta barangnya didatangkan dulu, supaya tahu,” kata Gembong.
Karena belum mendapat tanggapan dari Menteri Keuangan sebelumnya, pada 10 Oktober 2006 Gembong kembali mengirim surat ke Menteri Keuangan yang baru, Sri Mulyani. Surat itu juga ditembuskan ke Panitia Anggaran DPR. Dalam surat kedua itu, jumlah dana yang diminta turun dari Rp 84 miliar menjadi Rp 60 miliar.
Iwan Hardja
DIA salah satu tokoh penting di balik pembelian 12 helikopter BO 105 ini. Pada 22 Juni 2005, Jusuf Kalla menunjuk Iwan sebagai ”utusan khusus” pengadaan helikopter yang akan dipakai memperlancar penanganan bencana pascatsunami di Aceh dan Nias. Iwan, 55 tahun, bukan orang baru di lingkungan Jusuf Kalla. Selama 25 tahun ia bekerja di PT Bukaka Teknik Utama, perusahaan milik keluarga Kalla.
Pada 2003 ia keluar dari perusahaan itu dan bersama Achmad Kalla mendirikan PT Air Transport Services. Perusahaan ini bergerak di bidang penyewaan helikopter dan pesawat terbang. Perusahaan ini juga berpengalaman membeli pesawat bekas pakai. Air Transport, misalnya, pernah membeli sejumlah pesawat Fokker bekas yang salah satunya dipakai Jusuf Kalla untuk kampanye pemilihan presiden 2004.
Dalam pembelian heli buatan 1981–1987 itu, Iwan meminjam bendera PT Bukaka. ”Saya pinjam nama karena mereka sudah punya website,” katanya. ”Jadi, dari Jerman bisa langsung dibuka.” Untuk pendanaan, ia menggandeng Konsorsium Urban Sky Corporation yang bermarkas di British Virgin Island. Pembelian itu menghabiskan dana US$ 2,5 juta atau sekitar Rp 22,5 miliar.
Pada 26 September 2005, Iwan berhasil mendatangkan 10 unit heli yang diangkut dari pelabuhan Rotterdam, Belanda, ke Tanjung Priok, Jakarta. Pada 6 November 2005, Iwan mendatangkan lagi dua unit heli. Semua heli itu dirakit dan diparkir di Garuda Maintenance Facility, Cengkareng, Banten.
Syamsul Ma’arif
PADA 10 Oktober 2006, Syamsul Ma’arif ditunjuk sebagai Kepala Pelaksana Harian Bakornas. Sepekan kemudian ia membatalkan pembelian heli BO 105. Pembatalan ini juga diinformasikan Syamsul kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui suratnya tertanggal 17 Oktober 2006. Namun, dalam surat yang sama, Syamsul meminta BeaCukai mengeluarkan heli itu karena akan disewa untuk memadamkan api di hutan Sumatera dan Kalimantan.
Bakornas menyewa 10 heli dari PT Air Transport Services dengan tarif sewa US$ 1.500 (sekitar Rp 13,5 juta) per jam per unit heli. Bakornas, kata Syamsul, menyewa dari Air Transport karena kesulitan mencari heli dari perusahaan lain. ”Kami sudah menghubungi perusahaan dari Malaysia dan Singapura, tetapi mereka mundurmundur terus,” kata mantan Asisten Teritorial Tentara Nasional Indonesia itu.
Alwi Hamu
NAMANYA tertera sebagai komisaris PT Asuransi Indo Trisaka. Pria 63 tahun yang juga staf ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla ini memang salah satu pemegang saham perusahaan asuransi tersebut. Dokumen yang diperoleh Tempo menunjukkan, Asuransi Indo Trisaka dijadikan jaminan (custom bond) pembayaran bea masuk, cukai, denda administrasi, dan pajak heliheli itu, yang nilainya sekitar Rp 9 miliar. Custom bond tersebut dikeluarkan pada 4 Desember 2006 dan berlaku hingga 4 Maret 2007.
Belakangan, custom bond itu ternyata tidak dapat dicairkan. Dihubungi Kamis pekan lalu, Alwi menyatakan tidak tahumenahu perihal penjaminan itu. Ia juga membantah ada perintah Jusuf Kalla kepadanya untuk menggunakan Indo Trisaka sebagai jaminan. ”Tidak pernah ada pembicaraan saya dengan JK soal heli,” katanya.
Sunariah, Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo