Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEGEL merah tua melilit tubuh lima helikopter BO 105 itu—sebagian persis menutupi engsel pintu. Empat heli berwarna putih dengan ekor dicat warna lembut; yang lain hijau tua. Kelimanya membisu di hanggar bekas bengkel PT Bukaka Trans System, Citeureup, Jawa Barat.
Didera masalah pabean, heliheli eks Jerman itu disegel sejak awal Maret lalu. Ketika itu, sekitar 20 petugas BeaCukai muncul di kandang pesawat yang berada tak jauh dari Sirkuit Sentul. Sempat terjadi ketegangan ketika penyegelan dilakukan: awak PT Air Transport Services, pemilik heli itu, menolak pesawatnya dibeslah. Tapi mereka tak berdaya. Melihat armada helinya ditempeli segel BeaCukai, Iwan Hardja, Presiden Direktur Air Transport Services, tersenyum kecut. ”Kayak rokok saja,” katanya.
Lima capung besi itu tampak terawat. Menurut seorang teknisi Air Transport, anak perusahaan Bukaka yang mengoperasikan heli tersebut, kelimanya siap terbang. Tiap pagi, pesawat itu ditarik dengan kereta dorong ke lapangan di samping hangar, lalu dilap dan dibuka kap depannya untuk pengecekan mesin. Juru bersih Air Transport tentu tak bisa masuk ruang kemudi. Jika tiba saatnya mesin harus dipanaskan, ”Terpaksa kami panggil petugas BeaCukai untuk membuka segel sebentar,” kata si petugas tadi. ”Jika terlalu lama tak dipanaskan, mesin heli bisa rusak.”
Kelimanya adalah sebagian dari 12 heli milik Air Transport yang belum membayar pajak impor Rp 2,1 miliar. Selain di Sentul, menurut Eko Darmanto, Kepala Seksi Penindakan dan Penyidikan BeaCukai Bandara SoekarnoHatta, satu heli berada di hanggar Garuda Maintenance Facilities, Bandara SoekarnoHatta. Yang ini juga diblokir.
Ke mana sisanya? Setelah mencari ke sanakemari, BeaCukai menemukan: satu ada di Poso, Sulawesi Tengah, tiga di Makassar, Sulawesi Selatan, dan dua di Medan, Sumatera Utara. ”(Pencarian) enam yang pertama harus pakai operasi intelijen,” katanya.
Eko sudah meminta bantuan kantor pembantu Bea dan Cukai lokal untuk ikut memantau heli yang sempat raib itu. Ia juga sudah meminta komitmen Air Transport untuk mendatangkan keenam heli ke Jakarta, bergabung dengan enam lainnya yang sudah disegel. ”Suratnya kami kirim 9 Maret lalu,” katanya.
Kepala Kantor Wilayah XI BeaCukai Makassar Jusuf Indarto mengakui tiga heli BO 105 yang ada di wilayahnya disimpan di Bandara Hasanuddin. Tapi BeaCukai Makassar hanya mengawasinya. ”Kendalinya ada di pusat,” kata dia.
Ini bukan pertama kalinya BeaCukai membubuhkan segel kepada heliheli milik Air Transport. November tahun lalu, sepuluh heli sudah pernah disegel oleh BeaCukai di Pangkalan Udara Talang Betutu, Palembang. Alasannya sama: pajak pesawat belum dibayar. Tapi sebuah memo yang melayang dari Istana Merdeka pada 7 Desember membebaskannya dari cekalan BeaCukai untuk sementara waktu.
Saat pertama kali disegel, pasukan heli eks Jerman ini sedang digunakan Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi untuk memadamkan hutan yang terbakar dengan harga sewa US$ 1.500 per jam. ”Di seluruh Indonesia tidak ada perusahaan yang punya heli untuk memadamkan api. Satusatunya yang ada hanya heli Air Transport milik keluarga Jusuf Kalla,” kata Budi Atmadi Adiputro, Penjabat Pelaksana Sekretaris Utama Bakornas.
Budi mengakui banyak prosedur yang diterabas ketika menyewa heliheli ini. Bila menyewa dari Rusia, misalnya, dibutuhkan serentetan dokumen, perjanjian, kontrak, dan segala tetekbengek administrasi. Bakornas mengaku terjepit waktu. ”Yang namanya darurat, aturan dibikin kemudian. Orang harus berani,” kata Budi.
Setelah memo keluar, selusin heli itu kembali beterbangan. Sebagian dilibatkan dalam penanganan banjir di Aceh Tamiang akhir Desember lalu. Bakornas juga menggunakan heliheli itu untuk mencari pesawat Adam Air yang hilang di laut Kabupaten Parepare, Sulawesi Selatan, awal Januari silam. Tapi, karena berutang bea, hap, capungcapung itu ditangkap lagi.
Kurie Suditomo, Arief Kuswardono, Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo