Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANJI makan malam itu tidak pernah kesampaian. Keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan dari Jaksa Agung M.A. Rachman terhadap bos Gajah Tunggal, Sjamsul Nursalim, membuat perjamuan itu tak lagi penting.
Semula, dalam surat pribadinya kepada Rachman pada 13 Juli 2004, pengacara senior Adnan Buyung Nasution bermaksud mengundang orang nomor satu di Kejaksaan Agung itu untuk ”makan malam segitiga” dengan Syafruddin Temenggung, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Sambil bersantap, Buyung berencana membicarakan soal jaminan kepastian hukum bagi Nursalim, kliennya yang terbelit utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 28,4 triliun. ”Abang sudah janjikan agar kita bertiga bisa bertemu sambil makan malam minggu depan,” kata Buyung dalam surat keduanya ini—surat pertama tertanggal 28 Juni 2004.
Tapi—entah kebetulan atau tidak—di hari yang sama, Rachman memberikan ”kado spesial” SP3 itu buat Nursalim. ”Kedua surat ini selisipan,” kata Eri Hertiawan, partner kantor hukum Adnan Buyung Nasution & Partners. Itu sebabnya, pertemuan pun urung terlaksana.
Cerita rupanya belum betul-betul ”happy ending”. Hanya berselang enam bulan, Abdul Rahman Saleh yang menggantikan M.A. Rachman punya kebijakan lain: kasus lawas itu kembali dibuka. Gebrakan pun dibuat pengganti Abdul Rahman Saleh, Hendarman Supandji. Sebuah tim khusus investigasi kasus BLBI dibentuknya pertengahan tahun lalu.
Yang bikin ketar-ketir para konglomerat, penyelidikan tidak hanya tertuju pada para pengutang bandel, tapi juga para debitor yang sudah mengantongi surat lunas. Fokus pemeriksaan yaitu pertimbangan di balik pemberian surat lunas itu. Jika ditemukan ada aset bodong yang diserahkan ke negara, jerat hukum bakal kembali melilit para bekas pengutang. Di titik ini, dua pengutang terbesar BLBI: Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim kembali dibidik.
Namun, kabar baik rupanya masih berpihak pada Anthoni dan Sjamsul. Di penghujung bulan lalu, kejaksaan memutuskan menghentikan penyelidikan kasus BLBI kedua konglomerat itu karena tak ditemukan bukti-bukti pelanggaran hukum. Ketika kasus hampir ditutup, eh terbongkar indikasi suap yang melibatkan Urip Tri Gunawan.
Celakanya, Uriplah ketua tim investigasi kasus BLBI Nursalim. Mendadak keraguan orang terhadap kredibilitas keputusan kejaksaan menyeruak. Karena itu, kata Hendarman, tak tertutup kemungkinan kasus Nursalim akan dibuka kembali.
Jika menelisik prosesnya, pemberian surat lunas oleh pemerintahan Megawati Soekarnoputri kepada Nursalim pada 26 April 2004 memang mengundang sejumlah tanda tanya. Surat lunas itu diteken Ketua BPPN Syafruddin Temenggung di masa-masa akhir hidup lembaga itu (lihat ”Selamat di Babak Akhir”).
Berkat ”tiket” ini, Nursalim mengantongi SP3 Kejaksaan. Surat lunas dikeluarkan lantaran Nursalim dinilai kooperatif. Setoran asetnya senilai Rp 27,4 triliun untuk membayar utang ke negara dipandang cukup. Selain itu, setoran tunai Nursalim Rp 1 triliun yang sempat dipersoalkan negara pun akhirnya bisa diterima.
Penilaian itu berkebalikan dengan berbagai kajian yang pernah dibuat sebelumnya. Setidaknya, ada enam dokumen penting yang mengabarkan bahwa kelompok usaha Nursalim telah melakukan cedera janji atas perjanjian penyelesaian utang Master of Settlement & Acquisition Agreement (MSAA) yang diteken Nursalim pada 1998.
Yang paling telak, dokumen pendapat hukum yang disusun kantor hukum Lubis, Ganie, Surowidjojo pada Mei 2002. Di situ disebutkan closing perjanjian MSAA belum bisa dilakukan karena Nursalim belum memenuhi sebagian besar persyaratan—dari 17, baru tiga yang dipenuhi. ”Tidak seluruh pernyataan dan jaminan dalam MSAA benar, akurat, dan lengkap saat diberikan,” begitu tertulis dalam dokumen itu.
Persoalan nilai aset jaminan yang diserahkan Nursalim itu terungkap dalam surat BPPN Nomor PB-639/BPPN/1999 pada 1 November 1999 yang ditandatangani Kepala BPPN Glenn M.S. Yusuf. Juga dalam surat PT Tunas Sepadan Investama (perusahaan induk penampung aset Nursalim) Nomor 088/Dir/I/X/1999 pada 13 Oktober 1999, yang hanya lima bulan setelah MSAA diteken.
Kedua surat itu intinya menjelaskan nilai aset jaminan yang diserahkan Nursalim merosot drastis dari taksiran awal Rp 27,4 triliun menjadi tinggal Rp 6,3 triliun. Kemerosotan terutama terjadi pada tambak udang Dipasena yang semula ditaksir Rp 20 triliun ternyata cuma Rp 5,2 triliun. Gara-garanya, utang petambak yang dilaporkan lancar ternyata macet. Di luar itu, masih terdapat sejumlah persoalan lain (lihat Cedera Janji dan Indikasi Pidana).
Ake Arief, orang dekat Nursalim, membantah di balik surat lunas itu terkandung sejumlah persoalan. ”Itu sangat clear,” ujarnya. Lagi pula pemeriksaan telah dilakukan berkali-kali dan surat lunas diberikan oleh pemerintah yang sah. ”Ibarat siswa yang mengikuti ujian, begitu lulus kok ijazahnya diragukan. Ini tidak fair,” ujarnya. ”Kalau ijazahnya dianggap palsu, yang diragukan seharusnya pengujinya dong.”
Eri Hertiawan juga menyatakan surat lunas dan SP3 bukan produk BPPN dan kejaksaan semata. Keduanya dikeluarkan setelah melalui proses panjang rapat Komite Kebijakan Sektor Keuangan yang dihadiri para menteri, kepolisian, dan kejaksaan. Masalahnya, tak pernah ada penjelasan transparan soal ini. Padahal, jika benar ada cedera janji, perjanjian MSAA batal dengan sendirinya.
Metta Dharmasaputra, Arti Ekawati
Selamat di Babak Akhir
Di antara para pengutang kakap, Sjamsul Nursalim punya cerita paling ”seru” dalam penyelesaian utangnya ke negara. Lewat tarik-ulur berbilang tahun, ia akhirnya menerima surat keterangan lunas dari pemerintah Megawati Soekarnoputri, setelah sang taipan dinilai kooperatif dan setoran asetnya cukup untuk menambal utang Rp 28,4 triliun. Kado istimewa itu didapatnya di menit-menit akhir masa hidup Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Padahal sebelumnya sederet kajian mencatat cedera janji dan indikasi tindak pidana yang dibuat Grup Gajah Tunggal miliknya.
21 Sept 1998 Perjanjian MSAA diteken.
21 Mei 1999 R&D I & II diteken, Amendemen II MSAA, Transfer Aset Nursalim.
7 Sept 2000 Kajian Kartini Muljadi R&D tidak hapuskan pidana.
23 Okt 2000 Jaksa Agung Marzuki Darusman menetapkan Nursalim sebagai tersangka.
14 Mei 2002 Pendapat Hukum Lubis, Ganie, Surowidjojo: Closing MSAA belum dilakukan. Sebagian besar syarat belum dipenuhi Nursalim. Juga melanggar pernyataan dan jaminan MSAA.
30 Des 2002 Inpres Megawati tentang Surat Keterangan Lunas.
Feb 2004 BPPN ditutup. Kasus Nursalim masih dikaji TPBH.
April 2004 Surat Lunas Nursalim keluar. Dinyatakan kooperatif & nilai aset cukup.
13 Juli 2004 Jaksa Agung M.A. Rachman SP3 kasus Nursalim.
28 Jan 2005 Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tinjau ulang SP3.
29 Feb 2008 Tim investigasi Kejakgung hentikan penyelidikan kasus Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim.
Cedera Janji
Surat PT Tunas Sepadan Investama (perusahaan induk penampung aset Nursalim) 13 Oktober 1999 (5 bulan setelah MSAA diteken)
Surat Ketua BPPN Glen Jusuf 1 Nov 1999 (dinyatakan dalam kajian LGS)
Kajian Kartini Muljadi 7 September 2000
Surat Oversight Committee BPPN 4 September 2001
Pendapat hukum Lubis, GaniE, Surowidjojo—14 Mei 2002
Audit PricewaterhouseCoopers/Arthur Andersen (dinyatakan dalam LGS)
Indikasi Pidana
Kajian BPK—31 Desember 1999
Temuan tim Forsat BPPN dan Business Fraud Solutions—2000
Keputusan KKSK No. 12/2000—2000 (dimuat dalam kajian LGS)
Surat Kejaksaan ke Departemen Kehakiman AS—September 2000
Kajian BPKP—30 Juli 2001
Surat Oversight Committee BPPN—4 September 2001
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo