Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulaiman tak pernah bermimpi jadi saksi di pengadilan. Apalagi untuk kasus korupsi yang nilainya tak mungkin dibayangkannya. Tapi, Agustus enam tahun silam, pria 39 tahun ini bersama delapan orang lain dipanggil bersaksi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia mesti bersaksi dalam kasus perusahaan fiktif dengan terdakwa Bambang Sutrisno, Direktur Utama Bank Surya.
Hakim ketua Rukmini meminta mereka menjelaskan posisi mereka di perusahaan fiktif tersebut. Sulaiman memang layak ditanya karena ia direktur di perusahaan itu. Di sidang itu akhirnya terungkap bahwa mereka korban akal-akalan Bambang. Aslinya, Sulaiman hanyalah pegawai toko swalayan Golden Truly di Tomang, Jakarta Barat. Delapan yang lain sami mawon. ”Pejabat perusahaan” itu ternyata cuma satpam, petugas kebersihan, atau pedagang daging.
Menurut Sulaiman, sewaktu disuruh meneken akta pendirian perusahaan ia dijanjikan gaji Rp 15 juta sebulan. ”Uang itu tak pernah ada,” katanya. Tapi, dengan perusahaan itu, Bambang bisa mengalirkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebesar Rp 4-15 miliar. Dana itu mestinya untuk menyehatkan Bank Surya yang tengah menghadapi kesulitan akibat krisis.
Bekas Direktur Kredit Bank Surya, Ina Debora, dan bagian pemasaran Bank Surya, Grace Kristiani, dalam sidang mengungkapkan bahwa proses kredit selalu disetir atasan. Proposal pinjaman yang sudah disetujui, ia mengisahkan, uangnya langsung digelontorkan ke rekening kantor pusat Golden Truly di Tomang atas nama Bambang Sutrisno. Bambang memang pernah memiliki saham di kedua perusahaan itu.
Berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Surya merupakan salah satu dari 48 bank yang menyimpang dalam menyalurkan BLBI. Ketika itu, Bambang menolak tuduhan. Menurut dia, BLBI disalurkan ke Bank Surya ketika dia sudah tidak aktif. Bambang sendiri tak pernah hadir dalam sidang hingga pengadilan menjatuhkan vonis penjara seumur hidup dan dia harus membayar Rp 1,5 triliun.
David Nusa Widjaya, pemilik Bank Servitia, setali tiga uang. Pembobol BLBI Rp 1,29 triliun itu, antara lain, menyalurkan kreditnya Rp 988 miliar ke Bank Sanho. Caranya, Bank Servitia menerbitkan lebih dari tiga lusin nota kredit. Belakangan diketahui Ganda Eka Hendria, bos Bank Sanho, tak lain adalah Komisaris Bank Servitia. Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis David satu tahun penjara.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, lalu memperberat hukuman David menjadi empat tahun. Pada 23 Juli 2003, Mahkamah Agung menambah hukuman David menjadi delapan tahun penjara. Ia pernah kabur, namun berkat bantuan Polisi Federal Amerika Serikat (FBI), pada akhir 2006 pria 47 tahun itu ditangkap di San Francisco. ”Pak David ditahan di Cipinang,” kata Hermawan Pamungkas, kuasa hukum David.
Menurut Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Bidang Monitoring Peradilan, Emerson Juntho, sedikitnya ada sembilan obligor BLBI yang kabur ke luar negeri. Mereka sulit ditangkap karena pemerintah tak serius mengejar mereka. Meski pemerintahan sudah berganti empat presiden, dari B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, kasus BLBI tak kunjung selesai.
Kondisi ini juga tecermin dari cara pemerintah menangani 65 orang yang tersangkut BLBI. Menurut Emerson, hanya 16 yang diproses ke pengadilan. Itu pun, penyidikan 11 tersangka dihentikan kejaksaan. Mau tahu berapa yang dijebloskan ke penjara? ”Cuma dua orang, yaitu Hendrawan Haryono dan David,” kata Emerson. Bos Bank Aspac itu dihukum satu tahun penjara.
Kejaksaan bukannya tidak serius mengejar. Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Bonaventura Daulat Nainggolan, tim pemburu koruptor sudah melacak ke mana-mana. Selain mengendus keberadaan mereka di sejumlah negara, juga mencari aset-asetnya yang ditimbun di Hong Kong, Swiss, Singapura, dan Filipina.
Hasilnya, diakui Bona, belum sedahsyat yang diharap masyarakat. Tim baru menemukan aset koruptor di Swiss. ”Salah satunya milik Irawan Salim senilai US$ 9,9 juta,” katanya kepada Tempo. Pemerintah Swiss, kata Bona, bersedia membantu dengan cara memblokir beberapa rekening milik koruptor.
Kejaksaan juga mendesak pemerintah Australia mengekstradisi dua koruptor, yakni Adrian Kiki Ariawan (Bank Surya) dan Eko Edi Putranto (Bank BHS) ke Indonesia. Namun, permintaan yang diajukan sejak September tahun lalu itu, belum terealisasi.
Elik Susanto
Mereka yang Melarikan Diri | |||
---|---|---|---|
Nama | Kasus | Kerugian | Tempat |
Sjamsul Nursalim *) | BDNI | Rp 28,4 triliun | Singapura |
Samadikun Hartono | Bank Modern | Rp 169 miliar | Tak terlacak |
Hendra Rahardja | Bank BHS | Rp 2,659 triliun | Meninggal |
Eko Adi Putranto | Bank BHS | Rp 2,659 triliun | Australia |
Sherny Konjongiang | Bank BHS | Rp2,659 triliun | Tak terlacak |
Agus Anwar | Bank Pelita | Rp 1,9 triliun | Singapura |
Bambang Sutrisno | Bank Surya | Rp 1,5 triliun | Singapura |
Andrian Kiki Ariawan | Bank Surya | Rp 1,5 triliun | Australia |
*) Kasusnya kini di-SP3. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo