Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dinding sepanjang 12 meter di gedung serbaguna Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, itu semarak dengan aneka gambar. Orang, misalnya, bisa mengenali gambar petani, buruh bangunan, hingga bajak laut bergaya Si Buta dari Goa Hantu.
Sederet slogan yang ditempel di tembok ikut meminta perhatian. Misalnya "Bersatu dalam Perbedaan"; "Sehat Semangat Guyub Rukun"; dan "Berdamai dengan Alam". Tentu ada alasan kenapa semua tema itu dipilih oleh para kreatornya yang tergabung dalam sanggar Taring Padi. "Rakyatlah yang menginspirasi kami," kata Muhammad Yusuf, salah seorang pendiri Taring Padi, kepada Tempo, dua pekan lalu.
Taring Padi dibentuk mahasiswa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia pada 21 Desember 1998. Mereka ingin meniupkan kembali napas "budaya kerakyatan" yang disuntik mati Soeharto di era Orde Baru.
Nama Taring Padi dicomot dari bahasa Minang yang merujuk pada duri lembut di ujung bulir gabah. Meski kecil, jika mengenai tubuh, duri itu menyebabkan gatal-gatal. "Taring Padi berarti kerja kecil lewat karya yang bisa bikin gatal," ujar Yusuf.
Bersama penggagas lainnya, seperti Dodi Irwandi, Samsul Bahri, dan Yustoni Voluntero, mereka sepakat mengusung seni kerakyatan. Saat Taring Padi didirikan, jumlah anggotanya 15 orang. Kini seniman yang bergabung sudah berlipat.
Yusuf tak tahu persis berapa jumlah pasti anggota Taring Padi. Maklum, mereka tak punya struktur organisasi. Mereka juga tak perlu kartu anggota.
Namun filosofi mereka jelas: seni bukan barang elite yang hanya bisa dinikmati di ruang-ruang galeri. Seni adalah karya yang membumi dan melibatkan rakyat. Karena itu, seni terutama harus kritis, bukan puitis. Mereka mengkritik para seniman yang mengusung konsep seni semata untuk seni. Konsep ini dinilai mengurung seniman di menara gading yang terpisah dari rakyat. Seni dan rakyat seharusnya satu.
Konsep seni untuk rakyat ini pertama kali mereka terapkan saat menggelar Festival Memedi Sawah di Desa Delanggu, Klaten, pada 1999. Saat itu, mereka "menghasut" petani untuk menolak penggunaan bahan kimia di sawah.
Bersama petani di desa tersebut, mereka membuat bebegig atau orang-orangan sawah, kemudian mengaraknya. Pada salah satu bebegig itu ditempel poster bertulisan "Emoh Bahan Kimia".
Mereka juga melukis sosok puluhan petani mengacungkan tangan pada sebuah poster besar. Di bagian atas poster itu tertera kalimat: "Rebut Kembali Hak Rakyat atas Pengembangan Kebudayaan Rakyat".
Setelah kegiatan itu, karya mereka membanjir di berbagai medium dan di banyak tempat. Ada di baliho-baliho, poster cukil kayu, dan mural-mural di sudut kota. Salah satunya menghiasi gedung serbaguna di Dusun Sembungan itu.
Penulis buku Taring Padi: Seni Membongkar Tirani, Kiswondo, menilai para seniman Taring Padi tak hanya mengkritik seniman penganut paham seni untuk seni, tapi juga menghantam militer. Mereka selalu menggambarkan militer sebagai manusia berkepala anjing, lengkap dengan sepatu lars dan seragam loreng. "Mereka menggunakan ekspresi apa pun untuk menyuarakan ketertindasan," kata Kiswondo.
Heidi Arbuckle dalam buku Taring Padi: Praktik Budaya Radikal di Indonesia menilai sikap kritis seniman-seniman Taring Padi membuat karya mereka sarat nuansa politis. Karya mereka mirip propaganda, meski dalam keseharian jauh dari politik.
Gagasan seni yang diusung Taring Padi ini tentu mengingatkan pada paham yang dianut Lembaga Kebudayaan Rakyat pada 1960-an. Menurut Sutikno W.S., penyair Lekra, setiap ekspresi Lekra pasti bercerita tentang rakyat. Ia mencontohkan, Lembaga Tari Lekra Jawa Tengah pernah menciptakan tari Blonjo Urung pada 1963. Tarian itu mengisahkan rakyat yang susah. "Mereka mau pergi ke pasar tapi tak jadi belanja karena tak punya uang," ujar Sutikno.
Yustoni Volunteero mengakui mereka belajar dari Lekra. Selain gagasan seni untuk rakyat, mereka mengadopsi konsep turun ke bawah atau turba. Dulu para seniman Lekra harus hidup bersama rakyat beberapa waktu, sebelum berkarya. Taring Padi melakukan hal yang sama, tapi menyebutnya Live In.
Meski begitu, Yustoni emoh komunitasnya dianggap sebagai ahli waris Lekra. Alasannya, mereka tak terlibat politik praktis. "Kami independen," katanya.
Komunitas seni lain yang terinspirasi dari Lekra adalah Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat atau biasa disebut Jaker. Salah seorang pendirinya, Moelyono, mengatakan sejumlah pentolan Jaker bahkan sempat belajar langsung dari seniman Lekra.
"Dulu Widji Thukul pernah mengajak saya ketemu Mas Pram (Pramoedya Ananta Toer) di rumahnya. Kami bertanya apa itu Lekra," ucap Moelyono. "Dari situ kami mendapat inspirasi bagaimana menghidupkan jaringan."
Dari Lekra, mereka juga mempelajari gagasan seni untuk rakyat dan konsep turun ke bawah. Namun mereka tak menelan mentah-mentah gagasan tersebut. Moelyono mencontohkan, konsep turba yang dipraktekkan para seniman Lekra masih perlu dikritik. Sebab, mereka hanya turun ke desa, kemudian membuat karya. "Seharusnya seniman juga menghidupkan kesenian di desa dan memfasilitasi rakyat untuk menumbuhkan kesenian mereka sendiri."
Seperti Taring Padi, Jaker enggan disebut ahli waris Lekra. Apalagi, kata Moelyono, Jaker juga belajar dari beberapa forum kesenian lain. "Kami juga terinspirasi Asian Council for People's Culture," ujarnya.
Bertahannya gagasan seni rakyat ala Lekra, menurut Putu Oka Sukanta, salah satu seniman Lekra, merupakan bukti bahwa filosofi Lekra mengenai seni masih terus hidup.
Putu mengaku tak tahu banyak mengenai komunitas seni sekarang, yang mungkin terinspirasi Lekra. Hanya, satu hal ia yakini, "Sebagai organisasi, Lekra mungkin sudah mati. Tapi, sebagai roh, ia tetap hidup."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo