Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 17 Agustus 1950. Di Jakarta, sejumlah tokoh masa itu, dari politikus, seniman, hingga politikus-seniman, mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat. maksud pendiriannya SEPERTI TERTULIS DALAM paragraf pertama mukadimah lembaga ini: "Menjadari bahwa Rakjat adalah satu-satunja pentjipta kebudajaan, dan bahwa pembangunan kebudajaan Indonesia-baru hanja dapat dilakukan oleh Rakjat, maka pada hari 17 Agustus 1950 didirikan Lembaga Kebudajaan Rakjat, disingkat Lekra." Kita semua tahu akhir ceritanya. Tak bisa di-PKI-kan oleh salah satu pendirinya, D.N. Aidit, Lekra justru di-PKI-kan di zaman Soeharto. Inilah sepenggal sejarah gagasan Indonesia, ketika seni amat digelorakan sekaligus sangat dikerangkeng.
Para Pendiri Lekra
D.N. Aidit
Ketua Central Comite PKI. Ia terus berusaha membawa Lekra menjadi onderbouw PKI.
M.H. Lukman Njoto
Wakil Ketua Central Comite PKI. Ia yang memperluas wacana "Politik adalah Panglima", tapi menolak keras menjadikan Lekra sebagai onderbouw PKI.
Adi Sidharta (A.S. Dharta)
Seniman yang menjadi sekretaris umum pertama Lekra. Ia pernah memimpin Serikat Buruh Kendaraan Bermotor, Serikat Buruh Batik, dan Serikat Buruh Pelabuhan, termasuk di lembaga induknya, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia.
Joebaar Ajoeb
Lulusan Akademi Jurnalistik Jakarta ini pernah menjadi anggota Dewan Penasihat Siaran Radio, anggota Dewan Pertimbangan Pemuda, dan anggota Dewan Film. Ia menjabat Sekretaris Umum Lekra setelah A.S. Dharta.
Hendrik Hermanus Joel Ngantung (Henk Ngantung)
Gubernur DKI Jakarta ke-7. Ia dikenal sebagai pelukis tanpa pendidikan formal. Sebelum mendirikan Lekra, ia ikut mencetuskan Gelanggang bersama Chairil Anwar dan Asrul Sani.
Sudharnoto
Lulusan Kedokteran Universitas Indonesia ini pencipta lagu Garuda Pancasila dan dikenal pula sebagai ilustrator film. Ia pernah menjabat Kepala Seksi Musik RRI Jakarta, Ketua Lembaga Musik, dan pemimpin Lekra bidang musik.
M.S. Ashar
Anggota Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), partai yang menjadi peserta Pemilihan Umum 1955.
Herman Arjuno
"Lekra adalah organisasi seniman-seniman pejuang atau pejuang-pejuang seniman. Sesuai dengan isi ini, Lekra selalu berlawan, berlawan terhadap ketidakadilan, berlawan terhadap kepalsuan. Berlawan terhadap yang lama adalah syarat untuk membangun yang baru. Untuk memakai istilah Manipolis, Lekra selalu menjebol dan membangun."
--Harian Rakjat, 8 Maret 1962
"Ada kawan-kawan kita ahli sejarah yang banyak tahu tentang zaman dahulu, tapi hampir tidak tahu tentang zaman sekarang. Ada kawan kita yang ahli ini-itu, yang banyak tahu tentang hukum alam, tetapi hampir tidak tahu tentang hukum masyarakat. Ada lagi kawan seniman yang pandai mencerita raja, tetapi tidak pandai mencerita kaum imperialis dan tuan tanah."
--Njoto, Harian Rakjat, 7 Februari 1959
Konsep Unggulan 1-5-1
1. Politik adalah Panglima. Politik sebagai cara dan orientasi berpikir, bukan organisasi dan bukan orang.
- Memadukan kreativitas individu dengan kearifan massa. Agar karya tidak bertentangan dengan tradisi baik, adat, dan cita-cita rakyat.
- Meluas dan meninggi. Sebaran karya melebar dan kualitasnya tetap unggul.
- Tinggi mutu artistik dan ideologi. Isi dan bentuk seni agar terpadu harmonis.
- Memadukan tradisi baik dengan kekinian revolusioner. Tradisi yang positif dipadukan dengan cita-cita modern.
- Memadukan realisme revolusioner dengan romantisme revolusioner. Realitas yang mengarah ke pembaruan yang lebih baik dalam seni yang diungkapkan dengan estetika yang romantis, indah, dan penuh harapan.
1. Turun ke bawah. Melalui wawancara, investigasi mendalam terkait dengan kondisi dan harapan masyarakat.
Lekra (1950-1965)
17 Agustus 1950
Lekra berdiri.
6 Oktober 1951
Di Kongres Kebudayaan di Bandung, Lekra mencetuskan Konsepsi Kebudayaan Rakyat. Isinya: perjuangan kebudayaan rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat, yaitu kelas buruh dan tani.
28 Oktober 1957
Konferensi Lekra memunculkan pandangan-pandangan baru setelah banyak kritik bahwa Mukadimah sudah tidak sesuai lagi.
27 Januari 1959
Kongres Nasional pertama di Solo. Lekra memperkuat struktur organisasi. Pandangan baru dalam konferensi disahkan menjadi perubahan Mukadimah Lekra. Wacana "Politik sebagai Panglima" mencuat.
28 Januari 1959
Rapat Pleno I, menyusun kepengurusan Sekretariat Pimpinan Pusat dan menyerahkan tugas yang paling mendesak: mendirikan lembaga-lembaga kreatif.
31 Agustus 1960
Rapat Pleno II, menegaskan kembali kebulatan tekad untuk melaksanakan Mukadimah.
Juli 1961
Sidang Pleno Pimpinan Pusat, menyepakati "Politik sebagai Panglima" sebagai asas kerja kreatif bersama dengan lima tuntutan lain. Kemudian menjadi Prinsip 1-5-1.
25 Februari 1962
Konferensi Nasional II, memunculkan resolusi yang mendukung amanat Presiden Sukarno bertajuk "Tavip" yang meneruskan pemboikotan total film-film imperialis dan perlawanan terhadap Amerika di Asia Tenggara.
17 Agustus 1963
Lahirnya Manifes Kebudayaan. Para seniman merasa konsepsi-konsepsi kebudayaan sudah tidak berfungsi dan muncul liberalisme yang mengabdi kepada politik.
Sepanjang 1964
Pimpinan Pusat Partai Komunis Indonesia berusaha mem-PKI-kan Lekra. Namun upaya ini ditolak mentah-mentah anggota Lekra, salah satunya Njoto.
2 September 1964
PKI menggelar Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner. Langkah ini diambil setelah gagal menggaet Lekra menjadi onderbouw PKI.
1 Oktober 1965
Setelah peristiwa G-30-S, PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang dan dibubarkan. Lekra, yang dianggap sebagai onderbouw PKI terkena imbasnya. Pelaku kebudayaan Lekra—termasuk pelukis, pematung, dan pegrafis pembuat poster yang pernah bergabung dalam sanggar-sanggar seni rupa beraroma Lekra—ditangkapi, disiksa, serta dijebloskan ke bui.
30 November 1965
Pemerintah melarang peredaran karya-karya Lekra dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1381 Tahun 1965. Mereka dilarang menulis dan berkreasi.
Ilustrasi: Imam Yunni
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo