Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake thole teko-teko mbubuti genjer….
Lagu Genjer-genjer adalah potret Banyuwangi yang miris. Dari daerah yang surplus pangan sejak era Majapahit, Banyuwangi jatuh menjadi daerah kurang pangan saat pendudukan tentara Jepang mulai 1942. Kaum pria harus menjalani kerja paksa, meninggalkan sawah-sawah yang tak tergarap. Untuk bahan pangannya, masyarakat pun mengolah daun genjer (Limnocharis flava), tanaman pengganggu yang sebelumnya hanya untuk pakan ternak.
Kala itu, Muhammad Arief, seniman Banyuwangi, menyuarakan kondisi tersebut dengan menggubah lagu Genjer-genjer dari lagu dolanan setempat. Mengubah lirik sang lagu, dia mengajukan protes terhadap pendudukan Jepang sambil menggambarkan betapa pahitnya Banyuwangi saat itu.
Dalam perkembangannya, lagu yang meminjam melodi dari dolanan Tong Alak Gentak ini diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia. "Lagu Genjer-genjer, lagu rakyat yang diangkat oleh Njoto itu, sangat penting," kata sejarawan Asvi Warman Adam.
Syahdan pada 1962, Njoto, seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat yang juga tokoh PKI, terpikat mendengar Genjer-genjer ketika singgah di Banyuwangi dalam perjalanannya ke Bali. Tak lama kemudian, lagu sederhana ini mencapai popularitas yang mencengangkan: sering diputar di RRI dan ditayangkan di TVRI.
Bahkan, di bawah label Irama Records, penyanyi kondang era itu, Lilis Suryani dan Bing Slamet, merekam lagu ini pada 1965 dalam bentuk album kompilasi Mari Bersuka Ria. Inilah popularitas yang melambungkan nama penggubahnya: Muhammad Arief.
Muhammad Arief adalah petani dan seniman angklung yang pandai mencipta lagu di Banyuwangi. Setelah Indonesia merdeka, ia bergabung dengan Pemuda Sosialis Indonesia, organisasi yang didirikan Amir Sjarifuddin, yang kemudian menjadi Pemuda Rakyat. Pada 1950-an, dia masuk Lekra dan menjabat ketua bidang kesenian. Setelah pemilihan umum pertama 1955, Arief diangkat sebagai anggota legislatif setempat dari perwakilan seniman.
Sejak bergabung dengan Lekra, Arief mendirikan grup angklung Srimuda—kependekan dari Seni Rakyat Indonesia Muda. Anggotanya 30 orang, terdiri atas pemain angklung, pesinden, dan penari. Srimuda berlatih setiap hari di rumah Arief, kala itu, di Jalan Kyai Saleh Nomor 47, Kelurahan Temenggungan.
"Kalau latihan mulai sore sampai malam," ujar Sinar Syamsi, 60 tahun, anak Arief, kepada Tempo, awal September lalu, di rumahnya di Jalan Basuki Rahmat, Banyuwangi.
Srimuda cukup terkenal dan sering mengisi acara politik PKI di Surabaya, Jakarta, dan Semarang—dengan "lagu wajib" Genjer-genjer. Dalam perhelatan-perhelatan PKI, syair lagu ini acap kali disesuaikan dengan propaganda partai.
Andang Chatib Yusuf, 79 tahun, bekas Ketua Bidang Sastra Lekra, menyebut Arief sebagai pembaru musik tradisional Banyuwangi. Sebelum hadirnya karya-karya Arief, kata Andang, lagu Banyuwangi masih kental dengan seni tradisional klasik, yang berasal dari gending-gending tarian Gandrung sejak awal abad ke-19.
Arief komponis yang produktif. Dia menggubah sejumlah mars paduan suara, seperti Ganefo, Lekra, Aksi Tani, dan Harian Rakjat. Pada 1940-an, Arief menciptakan lagu-lagu kritik sosial dan memadukannya dengan angklung. Selain Genjer-genjer, dua lagu lain karya Arief yang terkenal adalah Nandur Jagung dan Lerkung. "Ini juga ditulis saat pendudukan Jepang," ucap Andang.
Selain menyumbang lagu, Arief berjasa mempopulerkan seni angklung. Setelah mendirikan Srimuda, ia membentuk kelompok kesenian angklung di hampir semua desa. Saat itu, antusiasme masyarakat Banyuwangi sangat tinggi. Setiap kali ada tokoh PKI, seperti Njoto dan D.N. Aidit, datang, kata Andang, kelompok Srimuda selalu tampil menjadi penarik massa.
Kesenian angklung pun menjadi semacam alat propaganda dan kunci keberhasilan PKI di Banyuwangi. Jenis seni lain, seperti teater dan sastra, saat itu juga berkembang pesat, "Tapi tak sefenomenal angklung," ujar Andang. Seni angklung baru meredup bersamaan dengan runtuhnya PKI. Para senimannya diburu dan dibunuh, tak terkecuali Arief.
Syamsi ingat benar kejadian itu. Suatu siang pada Oktober 1965, sekelompok orang yang beringas menyerbu rumahnya. Arief, ayahandanya, sempat menyelinap keluar, menyelamatkan diri bersama istrinya, Sayekti, dan Syamsi, yang saat itu berusia 11 tahun. Dua jam berselang, setelah kondisi mereda, mereka pulang dan mendapati rumahnya hancur. Hanya tersisa ratusan buku dan naskah lagu yang tertindih puing-puing.
Sadar bahwa ancaman belum berlalu, Arief berpamitan kepada istrinya, kemudian keluar dari rumah lagi. Istri dan anaknya mengumpulkan buku-buku koleksi. Demi keamanan, mereka membakar buku-buku beraliran kiri. Buku tulis berisi lagu-lagu saja yang tersisa.
Esok harinya, Syamsi mendengar kabar bahwa ayahnya ditangkap tentara dan ditahan di markas polisi militer. Bersama ibunya, dia sempat menjenguk. Rupanya, ini pertemuan keluarga terakhir. "Saat itu, Bapak berpesan supaya saya rajin belajar," kata Syamsi.
Berikutnya, Syamsi mendapat kabar ayahnya ditahan di Kalibaru, perbatasan Banyuwangi dan Jember. Berbekal satu rantang makanan, dia berniat menjenguk ke Kalibaru menggunakan kereta api. Syamsi diminta menemui seorang keturunan Cina bernama Swan, yang kemudian memberi tahu bahwa ayahnya sudah dipindahkan ke Malang dan tak kembali lagi ke Banyuwangi. "Saya langsung menangis histeris," ujar Syamsi.
Arief sempat ditahan di Lowokwaru, Malang, satu sel dengan Andang Chatib Yusuf, sejawatnya di Lekra Banyuwangi. Menurut Andang, Arief tak banyak bicara, lebih sering termenung dengan pandangan kosong. Seperti diungkapkan kepada Andang, Arief ternyata memikirkan nasib anggota grup angklungnya yang tersebar di desa-desa.
Dua bulan mendekam di Lowokwaru, Arief, yang ketika itu berusia 60 tahun, masuk daftar orang yang akan dibawa pergi. Sebelum pergi, Andang mengisahkan, Arief mendekati beberapa orang, termasuk Andang, lalu berkata, "Saya tak ada harapan lagi. Mati mungkin hanya saya rasakan 5 atau 10 detik. Selanjutnya saya serahkan kepada kalian." Semua terdiam, Arief keluar dari sel dan tak pernah kembali.
Arief terbungkam selama-lamanya. Karya-karyanya pun membeku sekian lama. Lagu Genjer-genjer dilarang sejak Orde Baru berkuasa.
Kini jejak Arief dan karyanya masih dijaga keluarga. Awal September lalu, kepada Tempo, Syamsi memperlihatkan peninggalan komponis ini. Dibungkus kantong plastik putih, tiga buku tulis lusuh menguarkan bau debu menyengat. Warna kertasnya mulai memudar kecokelatan, tapi tulisan tangan di dalamnya masih terbaca jelas. Isinya ratusan lirik lagu dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah Using, lengkap dengan notasinya.
Pada salah satu buku, di lembar kesebelas, judul lagu "Gendjer-gendjer" tertulis dengan tinta merah. Di sebelah kanannya tergambar palu-arit—lambang PKI. Ditulis dalam bahasa daerah Using, Genjer-genjer berisi tiga bait, masing-masing terdiri atas empat baris.
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo