Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT khusus dari Amir Hamzah membuat Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmad Shah, penguasa Langkat, resah. Alih-alih menyelesaikan studi di Sekolah Tinggi Hukum di Batavia yang dimulai pada 1932, Amir malah minta restu ikut pergerakan mendukung kemerdekaan dari penjajah. Menurut Amir, dunia sudah berubah. "Jumlah dan pengetahuan rakyat bertambah, mereka pantas diajak bermusyawarah," katanya.
Sekolah adalah alasan utama Sultan Mahmud membiayai hidup Amir di Jawa sejak ayahnya meninggal pada 1933. Ia tak ingin keponakan tersayangnya itu ikut-ikutan kelompok pergerakan yang menentang pemerintah kolonial. Apalagi kala itu Belanda, yang terus mengawasi Amir dan mengirimkan kabar ke Sultan Mahmud, adalah mitra bisnis Kesultanan Langkat. Lebih dari dua tahun berjalan, Sultan Mahmud masih menerima kabar tak sedap tentang sepak terjang kemenakannya. Laporan soal pergerakan Amir dari para utusan kesultanan makin membuat Sultan Mahmud murka.
Untuk meredam pergerakan Tengku Busu-panggilan Amir-tak ada jalan bagi Sultan Mahmud selain memanggil Amir pulang. Sultan Mahmud bahkan berencana menikahkan Amir dengan putrinya, Tengku Kamaliah. "Waktu kuliahnya terbuang. Di sana, Busu dipengaruhi orang," demikian ditulis Tengku Lah Husny, kerabat Amir, mengenang pemanggilan itu dalam buku Berdarah, Kisah dan Kasih Pudjangga Amir Hamzah yang terbit pada 1971.
Sejak kecil, Amir dikenal cerdas dan sopan. Guru di sekolah dan maktab-tempat belajar agama dan mengaji-kerap menjadikannya teladan saat menegur murid nakal. Tak jarang Amir menjadi pendamai saat kawan-kawannya berkelahi. Senjatanya adalah tutur kata lembut. "Orang menjadi tertarik dan tunduk kepadanya," demikian Saidi Husny, abang Lah Husny dan teman sekolah Amir, menulis dalam buku Kenangan Masa: Mengenang Pribadi Pudjangga Amir Hamzah pada 1969.
Memiliki hubungan darah dengan penguasa Langkat yang kaya-raya tak lantas membuat Amir jemawa. Ayah Amir, Tengku Muhammad Adil, adalah saudara Sultan Mahmud. Menurut cucu Amir, Ameliah Hariana, interaksi Sultan dan para kerabatnya dengan masyarakat sangat baik. "Tidak ada masalah," kata Rina-sapaan Ameliah-putri Tengku Tahura, anak Amir dan Tengku Kamaliah.
PERJALANAN Kesultanan Langkat dimulai dengan pemisahan diri dari Kesultanan Deli pada pertengahan abad ke-16. Sejumlah konflik dengan kesultanan besar, Aceh dan Siak, mewarnai sejarah Langkat. Bahkan Langkat pernah kembali dikuasai Aceh. "Aceh datang karena ingin mengusir Portugis dari pantai timur Sumatera Utara," kata ahli sejarah Universitas Sumatera Utara, Suprayitno, Juli lalu.
Dengan sumber daya alam berlimpah, Langkat tumbuh menjadi kesultanan makmur. Bisnis lada, rotan, lilin, buah hutan, gambir, emas, gading, tembakau, dan beras memutar roda perekonomian Langkat. Menjelang akhir abad ke-19, Belanda membantu memerdekakan Langkat dari Kesultanan Aceh, yang kekuatannya melemah. Sultan Musa al-Khalid al-Mahadiah Muazzam Shah, berkuasa sejak 1870, membangun fondasi Kesultanan Langkat berpusat di Kota Tanjung Pura.
Masa keemasan Langkat muncul ketika anak Sultan Musa, Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmad Shah, naik takhta. Berkuasa sejak 1896, Sultan Aziz memimpin dan membangun Langkat selama sekitar tiga dekade. Di bawah Sultan Aziz, Langkat membuat kontrak penambangan minyak bumi dan bisnis perkebunan tembakau dengan Belanda. "Perkebunan di sana maju, dan Langkat yang paling kaya di antara kesultanan lain," kata Suprayitno.
Sultan Abdul Aziz, juga dikenal sebagai Tengku Montel, sebenarnya bukan pilihan pertama Sultan Musa dalam suksesi takhta Kesultanan Langkat. Sultan Musa sebelumnya menunjuk Tengku Abdul Majid sebagai penerus. Langkat gagal mendapat sultan baru setelah Abdul Majid meninggal pada usia muda karena sakit.
Pemangku Kerapatan Adat Kesultanan Langkat, Tengku Azwar Aziz, mengatakan penentuan ahli waris takhta kerajaan sempat diwarnai sengketa. Apalagi Sultan Musa sempat berbulan-bulan meninggalkan Langkat untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. "Sultan Musa akhirnya memilih Abdul Aziz, yang dikenal cakap," kata Azwar saat ditemui di Jakarta, Juli lalu.
Beberapa kakak Aziz, termasuk Tengku Hamzah, yang merupakan kakek Amir Hamzah, mendukung keputusan Sultan Musa menyerahkan kekuasaan kepada anak ketiganya. Keputusan Sultan Musa ini juga meminimalkan potensi konflik di Langkat setelah ia meninggal. "Dia diganti bukan karena meninggal, melainkan menyerahkan takhta ke anaknya, keputusan yang sangat bergantung pada Sultan," kata Azwar.
Keputusan Sultan Musa menunjuk Abdul Aziz tepat. Langkat makin makmur. Sultan Aziz bahkan membangun Masjid Azizi yang megah. Ia menambah maktab sebagai pusat pendidikan agama dan menjadi tempat tujuan para pencari ilmu dari daerah lain, seperti Riau, Jambi, Tapanuli, serta Malaysia dan Brunei. "Ini gambaran betapa majunya Langkat. Ada istana, lembaga pendidikan, dan pusat ibadah," ucap Suprayitno.
Kesuksesan Sultan Aziz diteruskan anaknya, Sultan Mahmud. Bisnis perkebunan dan minyak meningkat pesat. Sebagai gambaran betapa makmurnya Langkat kala itu, menurut Suprayitno, Sultan Mahmud memiliki belasan mobil mewah, kuda pacu, dan kapal pesiar. "Namun dia tidak melupakan pendidikan dan menambah maktab," ujarnya.
Kerabat kesultanan ikut menikmati kemewahan. Mereka mendapat pemasukan dari hasil perkebunan dan royalti ladang minyak di Langkat. Tapi tak begitu dengan Amir Hamzah. Ia tetap memilih gaya hidup sederhana. "Padahal keluarganya cukup berada saat itu," tutur Azwar.
Kesederhanaan Amir juga tergambar dalam tulisan Achdiat Karta Mihardja, rekannya di Aglemene Middelbare School alias sekolah menengah umum di Solo, Jawa Tengah. Tak seperti teman-temannya, yang menurut Achdiat menjadi "boneka mode", Amir memilih memakai jas tutup dan celana pantalon dari katun biasa. Hanya sekali Amir mengenakan jas dan berdasi, yakni ketika mengikuti resepsi Kongres Indonesia Muda pada 1930.
Tabiat halus dan sederhana Amir tak pernah berubah dan terbawa terus hingga ia menjadi pejabat Republik di Langkat. Sebagai keturunan bangsawan, Amir juga dikenal dekat dengan masyarakat dan para pembantunya. Amir akrab dengan Ijang Widjaja, pelatih kesenian dan silat di istananya di Binjai. Ironisnya, justru Ijanglah yang membunuh Amir di tengah prahara revolusi sosial yang melanda Sumatera Timur pada 1946.
Revolusi sosial di seantero Sumatera menggambarkan penolakan sebagian besar warga pendukung Republik terhadap keluarga kesultanan yang dinilai feodal. Menurut Azwar, Kesultanan Langkat sebenarnya mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Langkat, bersama Kesultanan Yogyakarta, termasuk yang pertama kali ikut urunan mengirim dana untuk menggerakkan Republik yang baru dibentuk. Posisi Amir sebagai wakil Republik di Langkat dinilai berperan besar dalam sumbangan dana itu. "Dia pasti memberi informasi ke mertuanya kalau Republik ini perlu dibantu," kata Azwar.
Kesultanan Langkat boleh jadi berusaha membantu Republik yang masih berusia muda. Tapi banyak pendukung Republik meyakini kesultanan itu dekat dengan pemerintah kolonial. Sejarah Langkat porak-poranda dalam perlawanan yang diusung rakyatnya sendiri.
Azwar mengatakan keluarga Kesultanan Langkat tidak menduga gerakan massa itu akan berujung tragis. "Semua terjadi karena provokasi. Amir Hamzah yakin rakyatnya tidak akan melakukan revolusi," kata Azwar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo