Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI lapangan Istana Kesultanan Langkat, Binjai, dua kali seminggu pada sore hari berkumpul 20-an pemuda. Tanpa alat musik, para pemuda yang dipimpin Amir Hamzah ini diajak menyanyikan sajak. "Ayah yang bikin lagunya. Yang menyiapkan sajaknya Pak Amir," kata Trisutji Djuliati Kamal, 81 tahun, putri Djulham Surjowidjojo, dokter keluarga Kesultanan Langkat era Sultan Mahmud, awal Agustus lalu.
Latihan menyanyikan sajak itulah yang paling diingat Trisutji tentang penyair pujangga baru tersebut. Kala itu, usia Trisutji masih sekitar 8 tahun. Saban hari, ia bersama sang ibu bertandang ke Istana untuk sarapan. Siang hingga sore hari, ibunya mengajar anak-anak Sultan. Pada saat-saat itulah Trisutji diam-diam memperhatikan kegiatan ayahnya bersama Amir. "Beliau itu kan pujangga, penyair. Sering menulis juga," ujarnya.
Menurut dia, kegemaran Amir menulis sajak dan kesusastraan Melayu tak pernah padam meski sudah berumah tangga dengan putri sulung Sultan Mahmud, Tengku Kamaliah. Namun ia tak ingat sajak-sajak yang dimusikalisasi pujangga itu bersama para pemuda.
Amir kembali ke Langkat pada 1935 atas perintah pamannya, Sultan Mahmud. Sebagai kepanjangan tangan Belanda, pemimpin Kesultanan Langkat itu harus mengontrol kegiatan keponakannya yang semakin aktif dalam pergerakan politik ketika menempuh pendidikan di Jawa. Setelah berada di Langkat, Amir ditugasi sebagai pembantu sekretaris kesultanan.
Beberapa bulan bekerja dan memahami tentang siasat, Amir dinikahkan dengan Tengku Kamaliah. Seusai pernikahan, pria kelahiran 28 Februari 1911 itu diangkat menjadi Kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjung Pura, kemudian pindah ke Binjai menjadi Kepala Luhak Hulu. Luhak bertugas membawahkan kejuruhan dan kedatukan. Di Langkat, ada delapan kedatukan dan lima kejuruhan.
Meski bekerja sebagai luhak untuk Kerajaan Belanda, Amir tetap setia kepada Republik. Tokoh budaya Melayu, Tengku Mira Rozanna Sinar, mengatakan kiprah Amir di Langkat sering membangkitkan semangat perjuangan. Bahkan Amir pernah melatih Tentara Keamanan Rakyat di Binjai, yang diberi nama Batalion Pertama Divisi Gajah. Menurut dia, keberpihakan Amir kepada Republik juga tecermin dari surat kepada kakaknya, Abdullah Hod, yang mengambil studi kedokteran di Belanda. Isinya, Amir meminta kakaknya segera pulang ke tanah air mengabdikan diri kepada bangsa. "Kalau dia berpihak kepada Belanda, logikanya dia sudah menyelamatkan diri ke Belanda," kata Mira.
Lah Husny dalam buku Biografi Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional menyebutkan rasa kebangsaan Amir tampak dalam tindakannya. Perhatiannya terhadap rakyat biasa cukup besar. Misalnya, ketika rakyat datang menghadap, Amir selalu bertanya tentang kondisi mereka di kampung. Ketika pulang, mereka selalu dibekali uang. "Karena itu, tidaklah mengherankan jika orang-orang kampung sangat cinta kepadanya," tulis La Husny. Contoh lain, ketika memeriksa perkara orang yang bersalah dan dijatuhi hukuman denda, Amir yang membayar denda itu. Sebab, dia iba lantaran orang itu tak punya uang dan banyak tanggungan.
Cita-cita Amir mengembangkan bahasa Indonesia juga tetap menggelora. Kesempatan itu semakin terbuka lebar pada zaman pendudukan Jepang. Sagimun S.D. dalam buku berjudul Amir Hamzah Pahlawan Nasional menyatakan sang penyair masih aktif menulis di majalah Poedjangga Baroe serta sering memberikan ceramah bahasa dan sastra Indonesia di Radio Hoso Kyoku Medan ataupun di hadapan pengarang muda.
Sagimun menyebutkan pengarang beken Dada Mauraxa tertarik pada ceramah Amir karena pengetahuannya mengenai seluk-beluk sastra Melayu Lama yang diuraikan dalam buku khusus Sastra Melayu Lama dan Raja-rajanya. Buku ini diterbitkan pada 1942.
Dada diperkenalkan kepada Amir oleh penyair Ghazali Hasan ketika tiga bulan tinggal di Tanjung Pura. Dalam perkenalan singkat itu, Dada melihat Amir merupakan pribadi rendah hati. Gelarnya sebagai tengku tak pernah ditonjolkan. "Sewaktu-waktu dapat bertukar pikiran dengan pujangga ini. Terutama yang selalu kami perkatakan keindahan sastra Melayu," ujarnya.
Buku Sastra Melayu Lama dan Raja-rajanya rampung ditulis Amir pada Oktober 1941. Dalam pendahuluannya, ia menegaskan bahwa perpustakaan Melayu adalah bagian dari perpustakaan Indonesia. Ia pun membaginya dalam tiga bagian: zaman klasik, pertengahan, dan baru. Zaman klasik dan pertengahan berbuahkan hikayat dan pantun. Sedangkan zaman baru berbuah roman dan sajak.
Dalam kata pembuka, Amir juga mencantumkan syairnya sebagai pengharapan atas buku yang ditulis itu:
Semoga
Kitab kecil ini,
sebagai selampai melambai,
di puncak mercu gunung tersepsi,
di lembah puspa melati murni,
selaku menyeru bertalu-talu,
akan adikku-tuan datang memetik,
kuntum kencana sastera lama.
Ihwal kegiatan Amir di Radio Hoso Kyoku, Djohar Arifin Husin dalam buku Tengku Amir Hamzah: Tokoh Pergerakan Nasional, Konseptor Sumpah Pemuda, Pangeran Pembela Rakyat menyebutkan Amir mengisi ceramah kesusastraan di radio sekali sepekan. "Di depan corong, Amir menyampaikan ilmunya yang sangat luas tentang kesusastraan," tulisnya. Dalam kesempatan tertentu, Amir juga menyampaikan semangat berjuang untuk hidup lebih baik.
Penulis biografi Amir Hamzah, Nurhayati Sri Hardini, mengatakan ceramah Amir di radio itu bagian dari propaganda sastra dan bahasa Melayu. Isinya mengarah ke patriotisme. "Ini yang cerita pamannya, kemudian beberapa orang tua waktu itu sudah berorganisasi mengatakan: iya, bekerja di radio juga," kata perempuan yang dikenal dengan nama Nh. Dini itu.
Sayangnya, Hoso Kyoku yang kini menjadi Radio Republik Indonesia Medan itu tak mempunyai arsip ceramah sang pujangga. Sebab, stasiun radio yang kini bermarkas di Jalan Gatot Subroto 214, Kota Medan, itu beberapa kali pindah karena dibom tentara Jepang. "Kami tidak bisa memastikan Amir Hamzah pernah memberikan ceramah di sini," ujar Kepala Subbagian Sumber Daya Manusia RRI Medan Armansyah Putra. Namun ia membenarkan kabar bahwa RRI Medan dulu bernama Radio Hoso Kyoku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo